Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Berdiri Gagah, Tak Kenal Lelah, Ialah Pak Ogah!
7 November 2024 15:42 WIB
·
waktu baca 7 menitTulisan dari Arif Sodikin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Berdiri tegap nan gagah, sambil mengarahkan sembari mengayunkan tangan, ialah Pak Ogah...
ADVERTISEMENT
Dengan rerata waktu kerja selama empat hingga enam jam dalam satu hari demi bisa menghidupi keluarga yang selalu menanti.
Di tengah keramaian jalanan Yogyakarta, ketika para petugas tidak ada di jalan dan pengendara mulai bingung, ada satu sosok yang muncul seketika. Memakai rompi berwarna hijau yang sudah memudar warnanya, peluit berwarna hitam yang di kalungkan di lehernya, dan tak ketinggalan buff serta topi yangmenjadi penutup kepala serta wajahnya. Ia melangkah ke tengah jalan, mengangkat tangan dan dengan isyarat sederhana mengatur lalu lintas yang mulai semrawut. Nama yang akrab bagi masyarakat Indonesia, dialah Pak Ogah. Ia bukan Polisi maupun petugas Dinas Perhubungan tetapi perannya tak kalah penting.
Pak Ogah adalah sebuah istilah yang diberikan kepada warga yang secara sukarela, meski kerap mengharapkan imbalan. Membantu mengatur lalu lintas di berbagai sudut kota. Mereka seringkali berada di pesimpangan tanpa lampu lalu lintas, jalan-jalan kecil ataupun area rawan kemacetan lainnya. Di balik pekerjaan yang tampak sederhana ini, tersembunyi berbagai kisah-kisah manusiawi tentang perjalanan hidup, keikhlasan dan kerasnya jalanan di Yogyakarta.
ADVERTISEMENT
Bagi Pak Ajin (54), salah satu feature Pak Ogah yang ada di jalan Ringroad Utara tak jauh dari Kampus Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" (UPN Veteran) Yogyakarta, menjadi Pak Ogah memang bukanlah sebuah pilihan hidup yang diidam-idamkan. Sejak 8 tahun terakhir, Pak Ajin mulai rutin berdiri di tempat kendaraan-kendaraan itu putar arah. Ia mengaku penghasilannya itu tidak menentu, tetapi cukup untuk menutupi uang jajan kedua anaknya itu. "Ya enggak mas, kalau ini enggak bisa memenuhi, ya intinya kalau ketimbang waktu luang ya saya cari receh disini, kalau ada yang ngasih ya Alhamdulillah, kalau engak ya gapapa, orang namanya juga cuman jasa penyeberangan," Ujarnya.
Pak Ajin adalah salah satu dari ratusan Pak Ogah yang tersebar di seluruh pelosok Yogyakarta. Ia telah menjalani peran ini selama 8 tahun terpatnya dari tahun 2016 ia mulai berprofesi sebagai Pak Ogah. Setiap hari menjelang sore, sebelum lalu lintas mulai padat karena jam pulang kerja, ia berangkat dari rumahnya yang berada di daerah Godean, Sleman menuju tempat dimana ia bekerja sebagai Pak Ogah-nya. Dengan membawa peluit berwarna hitam serta rompi warna hijau yang sudah memudar warnanya. Pak Ajin biasanya bekerja di jalanan Ringroad Utara, Sleman, DIY yang tak jauh lokasinya dari kampus Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" (UPN Veteran), Sleman, DIY.
Tidak seperti pekerja kantoran yang bisa mengandalkan gaji bulanan, penghasilan Pak Ajin bergantung pada kedermawanan para pengendara di jalanan, meski itu hanyalah sebuah pekerjaan sampingan Pak Ajin. Setiap kali ia membantu mobil atau motor untuk memutar arah kendaraannya ataupun keluar dari kemacetan, mereka memberinya sedikit uang sebagai tanda terima kasih.
ADVERTISEMENT
Pak Ajin bukanlah satu-satunya yang menjalani pekerjaan ini. Di hampir setiap sudut jalanan Yogyakarta, terutama di persimpangan padat tanpa lampu lalu lintas, sosok-sosok seperti Pak Ajin inilah yang selalu ada. Mereka bukan pekerja formal, tapi dalam banyak hal, mereka adalah solusi darurat yang tidak resmi untuk mengurai kemacetan jalanan yang semakin buruk.
Meski pekerjaannya sering dipandang sebelah mata, peran Pak Ogah ternyata sangat signifikan. Mereka membantu mengurai kemacetan di kawasan rawan yang tidak diawasi petugas resmi. Bahkan beberapa pengendara merasa lebih aman dengan kehadiran mereka.
Menjadi Pak Ogah bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah. Meski terlihat sepele, ada banyak risiko dan tantangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah keselamatan di jalan. Tanpa pelatihan khusus, mereka harus mengatur arus lalu lintas yang kerapkali penuh dengan pengendara yang tidak sabaran, bahkan seringkali Pak Ajin hampir ditabrak oleh para pengendara yang tak sabaran itu.
ADVERTISEMENT
Tak hanya pengendara, Pak Ogah juga sering kali harus berhadapan dengan preman atau petugas keamanan yang tidak senang dengan kehadiran mereka. Bahkan Pak Ajin bercerita bahwa dirinya pernah diancam oleh sekelompok orang tak dikenal.
Bagi Pak Ajin, menjadi Pak Ogah adalah pilihan terakhir. Dengan latar belakang pendidikan yang terbatas, ia tidak punya banyak pilihan. Terkadang ia juga harus menghadapi pengendara yang marah, lalu lintas yang berbahaya hingga ancaman–ancaman tak terduga “jarang-jarang orang (pengendara) marah – marah, ya mungkin 1001 lah, ya intinya kebanyakan orang bilang makasih, ya mungkin ada orang marah itu karena dia ada masalah dirumah, entah ada problem dimana gitu kan jadi pelampiasannya di jalan,” Ujar Pak Ajin.
ADVERTISEMENT
Di balik setiap peluit yang ditiup Pak Ajin, ada cerita perjuangan yang tersembunyi. Seperti banyak orang lain di kota besar, ia datang ke Yogyakarta dengan harapan bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun, kenyataan sering kali tidak sesuai harapan. Setelah bertahun–tahun mencari pekerjaan namun tak kunjung ia dapatkan, akhirnya Pak Ajin memilih berprofesi sebagai Pak Ogah “Saya pernah coba cari kerjaan lain mas, tapi ya gimana lagi, jaman sekarang banyak perusahaan yang lebih pilih anak–anak muda,” Ujarnya.
Pak Ajin bukanlah satu–satunya Pak Ogah yang terjebak dalam situasi ini. Banyak dari mereka yang memiliki latar belakang serupa seperti buruh pabrik, pedagang kecil atau tukang bangunan yang kehilangan mata pencahariannya. Pekerjaan menjadi Pak Ogah mungkin bukan pekerjaan impian, tapi bagi banyak dari mereka, ini adalah satu–satunya cara untuk tetap bertahan di tengah kerasnya sebuah kehidupan.
ADVERTISEMENT
Bagi sebagian besar Pak Ogah, Pekerjaan ini bukan semata-mata soal uang, tetapi lebih karena kebutuhan hidup. “enggak, saya cuman nyambi aja kok mas, di rumah ada kerjaan lain, kalau disini saya masuk setengah tiga kan tadi (Pukul 14.30), di rumah ada pekerjaan lain,” ungkap Pak Ajin. Meski demikian, ia mengaku bangga bisa membantu orang lain, walaupun pekerjaannya penuh dengan risiko.
Meski begitu, Pak Ajin tetap bersyukur menjalani profesi sebagai Pak Ogah-nya walaupun banyak dari kalangan para pengendara merasa terganggu atas kehadirannya “saya sih rileks aja mas, ada yang bilang begitu saya santai aja, dan saya kan cuman nyambi disini kan gak mencukupi, kadang–kadang dapat 30 ribu, 40 ribu yo buat jajan anaknya,” Ujar Pak Ajin.
ADVERTISEMENT
Meski hidupnya penuh dengan tantangan, Pak Ajin masih memiliki harapan. Ia tak ingin selamanya menjadi Pak Ogah. “Saya ga mau anak saya tumbuh besar dan melihat bapaknya kerja begini terus. Saya mau mereka sekolah tinggi, biar bisa punya kehidupan yang lebih baik daripada orang tuanya,” Ujarnya dengan penuh harapan dan mata sedikit berkaca–kaca.
Seperti layaknya orang tua pada umumnya, Pak Ajin selalu berusaha menyisihkan sebagian penghasilannya untuk pendidikan anak–anaknya. Ia berharap mereka tidak perlu menjalani hidup yang sama sepertinya “Mungkin saya harus kerja begini sampai tua, tapi kalau anak – anak bisa sukses, itu udah cukup buat saya merasa bangga,” Ujarnya.
Meski sering kali dipandang sebelah mata, keberadaan Pak Ogah sebenarnya memiliki peran penting dalam masyarakat. Mereka bisa membantu mengurai kemacetan di titik – titik rawan yang tidak selalu bisa diawasi oleh petugas resmi. Kalau tidak ada peran Pak Ogah, mungkin jalanan bisa lebih macet, kadang mereka-lah yang membuat para pengendara di jalanan itu bisa lewat dan dengan mudahnya memutar arah kendaraannya jika para pengendara itu ingin memutar arah kendaraan mereka.
ADVERTISEMENT
Sebagai “pahlawan” di ujung jalan, Pak Ogah seperti Pak Ajin ini mungkin tidak pernah mendapatkan pengakuan resmi atau penghargaan, tapi peran mereka dalam menjaga kelancaran lalu lintas, terutama di daerah rawan macet seperti di Jalan Ringroad Utara Yogyakarta ini misalnya, itu tidak bisa diabaikan. Di tengah hiruk–pikuk kehidupan perkotaan, mereka adalah sosok kecil yang tetap berjuang meski di bawah bayang– bayang ketidakpastian hidup.
Kehidupan Pak Ogah manggambarkan kisah perjuangan yang tidak pernah kita perhatikan saat melintas di jalanan. Mereka adalah cerminan dari masyarakat kecil yang terus berusaha bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan kota. Setiap peluit yang mereka tiup, Setiap isyarat tangan yang mereka ayunkan, bukan hanya tentang mengatur lalu lintas. Itu adalah perjuangan mereka untuk mencari penghidupan, untuk meraih harapan dan untuk tetap bertahan di dunia yang terus berkembang, dan bergerak dengan cepat.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana sebuah kutipan yang pernah pembuat dengar sebelumnya yaitu "Hidup itu jangan melulu melihat ke atas, tapi coba sesekali melihat kebawah, supaya kita sadar, kalau di bawah kita itu masih ada yang jauh lebih pedih hidup nya daripada kita,” maka dari itu, kita sebagai manusia sudah seharusnya bersyukur atas apa yang diberikan oleh tuhan, karena sejatinya tuhan adalah sebaik-baiknya pembuat rencana.