Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Dilarang Mencintai Bunga-Bunga: Kesenangan yang Tak Pernah Sampai
8 Juni 2024 20:44 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Ariska Avrillyani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Cerpen "Dilarang mencintai bunga-bunga" karya Kuntowijoyo, menceritakan seorang anak yang dinamai Buyung, tidak diperbolehkan menyukai bunga oleh ayahnya, sebab Buyung adalah laki-laki. Laki-laki harus bekerja. Buyung mencintai bunga-bunga sejak bertemu dengan seorang kakek yang tinggal di rumah tua, sekaligus menjabat sebagai tetangga sebelah rumahnya. Ia terus mencuri kesempatan untuk bisa datang ke rumah tua tersebut, menikmati hamparan bunga-bunga bersama sahabat tuanya, mencari ketenangan jiwa. Tak pernah gentar meski hiasan bunga dikamarnya dihancurkan oleh ayahnya. Hingga di penghujung cerpen, Buyung memilih kerja, karena bagaimanapun Buyung adalah anak dari ayah dan bundanya, ia tak mau berdosa.
ADVERTISEMENT
Banyak anak yang relevan dengan kasus ini, seakan-akan hobi dan minat milik kaum tertentu, “Kau perempuan, hobi itu bahaya” atau “Kau laki-laki, itu terlalu feminis”. Padahal setiap manusia memiliki kegemaran yang berbeda dan akhirnya anak-anak mengubur mimpi yang telah didambakan, karena ia sadar lingkungannya tidak mendukungnya sama sekali.
Pada dasarnya, karya sastra memang refleksi kehidupan manusia yang terjadi dalam dunia nyata. Kemudian diolah dan dikaji penulis dalam sebuah teks bahasa, dengan menyelipkan amanat untuk pembaca baik secara tersirat atau tersurat. Ada salah satu pendekatan yang sejalan dengan pengertian ini, yaitu mimetik. Yang dikemukakan oleh Abrams. Mimetik berasal dari bahasa Yunani, memiliki arti "meniru" atau "tiruan". Maka pendekatan mimetik adalah pandangan terhadap karya sastra sebagai bentuk tiruan kehidupan nyata.
ADVERTISEMENT
Dalam cerpen "Dilarang Mencintai Bunga-Bunga" ada beberapa isu yang disinggung oleh Kuntowijoyo selain sosial, artikel ini akan menelaah lebih rinci terkait isu-isu yang tertera melalui pendekatan mimetik.
A. Sosial
Ayahku tampak lebih segar, sekarang. Badannya tinggi besar dan kukuh, tidak terlelahkan oleh kerja apa pun. Bukan main senang hati ayah mendapatkan pekerjaan di kota. Ayah sibuk dengan pekerjaan, karena malas adalah musuh terbesar laki-laki, kata ayah. Benar, di desa kita banyak tetangga tetapi membuat pikiran banci. Dan itu ayah tidak suka. Kesibukan ayah membuatnya tidak mengenal tetangga, hanya ibu sudah mulai banyak kawan, seperti biasanya ibuku di mana pun kami ditempatkan. Ayahku mengangguk saja pada orang sekitar bila kebetulan berpapasan, lalu buru-buru masuk rumah. Ibu sudah sering mendesak agar ayah suka bergaul dengan masyarakat. Kita hidup bersama orang-orang lain, kata ibuku. Namun, kami sekeluarga belum juga mengenal tetangga kami yang terdekat.
ADVERTISEMENT
Kuntowijoyo mencoba menyinggung isu sosial yang sering terjadi belakangan ini. Digambarkan pada tokoh ayah yang enggan bergaul karena sibuk bekerja. Hingga akhirnya tokoh tersebut tidak mengenal tetangganya. Zaman sekarang banyak orang yang memilih untuk berdiam diri di bilik kamar, berlagak tidak membutuhkan orang lain. Padahal manusia adalah makhluk sosial, yang bergantung terhadap sesamanya, yang masih membutuhkan validasi dari lingkungan sekitar. Ada banyak alasan mengapa seseorang memutuskan untuk mengurung diri, boleh jadi karena lingkungan toxic, lebih suka sendiri, lelah, atau yang lebih parah merasa tetangganya tak sebanding dengan dirinya. Hal ini memicu terjadinya superior complex, keadaan seseorang merasa lebih tinggi dari orang lain. Lagi-lagi Kuntowijoyo menggambarkannya pada tokoh ayah, tokoh ini memiliki sifat rajin karena baginya malas adalah musuh terbesar laki-laki, yang akan membuat pikiran kita menjadi banci.
ADVERTISEMENT
Keinginanku untuk mengenal kakek itu tidak pernah padam. Kau lihatlah, lubang-lubang pada pagar anyaman bambu itu ialah akibat perbuatanku. Aku mengerjakannya di siang hari sepulang dari sekolah. Pernah ketika aku mengintip-intip pintu pagar dari bambu itu, kawanku menegur, “Sedang apa kau ini? Hati-hati dengan dia. Sebentar lagi tanganmu sakit. Tunggu sajalah!”
Ketakutan menyerang aku. Apakah aku akan sakit karena mencoba membuka pintu pagar rumah ini?
“Siapa bilang?” kataku berani.
“Semua orang!” dijawabnya. “Kau kualat. Dia keramat!”
Penyakit manusia bukan sekedar jasmani, melainkan rohani. Manusia sering membuat berita tanpa ditelusuri lebih jauh, hanya berdasarkan naluri semata. Oknum-oknum tidak bertanggung jawab akan terus menyebar berita bohong, kemudian akan banyak orang terdoktrin. Seperti kasus dalam cerpen ini, para tetangga memberi watak pada kakek sebagai sosok yang tak boleh didekati. Jika kau bertemu kakek itu, kau akan celaka.
ADVERTISEMENT
Namun, Buyung selalu mempunyai rasa ingin tahu yang menggebu-gebu, di usia yang tengah mencari jati diri, ia hempaskan semua pandangan buruk tersebut. Akhirnya, Buyung bertemu dengan kakek, diajarkannya merawat bunga-bunga, hingga Buyung jatuh cinta kepada bunga-bunga. Ternyata kakek tidak seperti yang diperkirakan para tetangga. Kakek sangat ramah, baik hati, dan penyayang. Tutur kata yang lembut membuat Buyung senang berbincang dengan kakek dalam kurun waktu lama.
B. Kebebasan
“Untuk apa teriak-teriak, heh!” kata ayah menyambutku. Ia mengamati aku dari atas ke bawah. Ia berdiri dan menjangkau tangan kananku, katanya pula: “Untuk apa bunga ini, heh!”
Aku tidak tahu karena apa, telah mencintai bunga di tanganku ini. Ayah meraih merenggutnya dari tanganku. Kulihat bungkah otot tangan ayah menggengam bunga kecil itu. Aku menahan supaya tidak berteriak.
ADVERTISEMENT
“Laki-laki tidak perlu bunga, Buyung. Kalau kau perempuan, bolehlah. Tetapi engkau laki-laki!”
Ayah melemparkan bunga itu. Aku menjerit. Ayah pergi. Ibu masih berdiri. Aku membungkuk, mengambil bunga itu, membawanya ke kamar. Tangkai bunga itu patah-patah. Selembar daun bunganya luka. Aku menciumnya. Lama. Lama sekali.
Setiap manusia dari yang muda hingga tua, memiliki kebebasan dalam berpendapat dan ekspresif. Bebas menentukan hal disuka dan hal tidak disuka. Meski bebas, nyatanya banyak manusia yang terjerembap dalam aturan-aturan yang dibuat oleh golongan di atasnya, seperti tokoh Buyung. Ia tidak mempunyai kebebasan, sebab bunga-bunga yang dikumpulkan, mempunyai nasib malang. Berulang kali ke rumah kakek, membawa bunga, menjadi hiasan kamar, akhirnya dirusak kembali oleh ayahnya. Hal ini mendorong Buyung untuk berbohong, tekanan peraturan dari ayahnya menjadi pemicu. Buyung berbohong menemukan bunga itu di sungai, supaya kakek dan kebun bunganya tetap tumbuh dengan baik.
ADVERTISEMENT
“Kau pergi mencari bunga-bunga itu. Untuk apa, heh!?”
Tenggorokanku tersumbat. Aku diam. Diam. Tidak berani menatap wajah ayah.
“Di mana carinya?”
Tetapi aku harus menyembunyikan dari mana asal bunga-bunga-ku itu. “Di sungai, yah,” kataku membohong.
Ayah merampas bungaku. Dan membuangnya ke sampah. Perasaan yang kemarin datang lagi. Aku ingin mengambilnya kembali.
“Engkau mulai cengeng, Buyung. Boleh ke sungai, untuk berenang. Bukan mencari bunga, begitu!”
C. Keluarga
Sampai di pintu ayahku telah berdiri di sana. Aku tersadar. Hari sudah sore dan lupa mengaji.
“Engkau harus mengaji, tahu. Dari mana?” ayah menegur dengan suara berat dan dingin. Aku berdiri saja. Ingin aku menyembunyikan setelitinya bunga-bunga di tanganku. Ayah terlanjur melihat. Aku diam. Ayah tidak suka dibantah.
ADVERTISEMENT
Aku teringat harus ke sekolah. Cepat aku minta diri. Pulang sekolah ayah menyuruhku kerja di bengkel. Ia tidak membiarkan aku berhenti sekejap pun. Ia akan menegur setiap kali melihatku berhenti. “Bekerjalah. Jangan biarkan tanganmu menganggur, buyung.”
Selain masalah ekonomi yang sering muncul dalam kehidupan berkeluarga, masalah pendidikan juga sering muncul. Lingkungan dan orang tua menjadi pendidikan pertama bagi seorang anak. Maka dari itu, kita perlu memberikan hal terbaik untuk masa depan anak. Keluarga Buyung sangat menjujung tinggi pendidikan. Seimbang antara dunia dan akhirat. Inilah yang membuat ayah Buyung membenci apabila Buyung menyukai bunga-bunga. Ayah Buyung takut jika anaknya menjadi kemayu, karena bagi ayahnya laki-laki itu tangguh dan gagah. Padahal bunga-bunga itu menggambarkan ketenangan jiwa yang jauh dari hiruk-pikuk. Tidak ada yang salah apabila mencintai bunga-bunga, melihat tumbuhan dapat meredakan stress.
ADVERTISEMENT
Malam itu aku tidak mau makan. Ibu masuk kamar dan membujuk. “Tentu saja kau boleh memelihara bunga,” kata ibu. “Bagus sekali bungamu itu. Itu berwarna violet. Bunga ini anggrek namanya. Aku suka bunga. Ku ambil vas, engkau boleh mengisinya dengan air. Dan taruh bunga itu di dalamnya. Kamar ini akan berubah jadi kamar yang indah! Setuju?”
Kuntowijoyo membagi dua tipe manusia dalam mendidik seorang anak. Ayah cenderung lebih tegas, kasar, dan menakutkan. Sedangkan ibu sosok yang lemah lembut, seperti penolong jika dimarahi ayah. Jika ayah Buyung melarang untuk mencintai bunga-bunga, ibu Buyung sebaliknya. Perempuan itu justru mendukungnya.
“Cup, cup, diamlah,” katanya. “Harap tidak lagi menangis, kau. Kalau nafsu mengalahkan budi, orang tidak mendapatkan ketenangan jiwa. Perbuatannya menjadi kasar, karena dorongan nafsu. Perbuatan itu menimbulkan kesengsaraan. Dunia rusak oleh nafsu. Tenanglah.” Aku mulai meredakan tangisku. “Menangis adalah cara yang sesat untuk meredakan kesengsaraan. Kenapa tidak tersenyum saja, cucu? Tersenyumlah. Bahkan sesaat sebelum orang membunuh kita. Ketenangan jiwa dan keteguhan batin mengalahkan penderitaan. Mengalahkan, bahkan kematian pun!”
ADVERTISEMENT
Aku sadar, menangis ialah kesia-siaan. Aku tersenyum. Kakek menghapus airmata dari kulit-kulit mukaku. Saputanganku semerbak wangi bunga. Aku menghirup sekuatnya wewangi itu. Dan habislah penderitaan.
“Kalau jiwamu tenang, perbuatanmu sopan. Kalau jiwamu gelisah, perbuatanmu kasar,” kakek mencium ubun-ubunku.
Ada salah satu tamparan keras yang ingin disampaikan oleh Kuntowijoyo dalam dialog kakek dan Buyung. Orang-orang sering mendahulukan nafsu mereka agar rasa dendam dapat tersalurkan. Itu adalah hal yang salah. Tidak ada yang mengajarkan kejahatan dibalas dengan kejahatan. Lantas mengapa masih banyak orang jahat di dunia ini? Jawabannya simple. Seperti kata kakek, mereka gelisah maka dari itu perbuatannya kasar. Mereka tak bisa mengontrol emosi. Sifat ini merugikan manusia sekitar, tanpa sadar ego kita juga akan muncul, yang membuat kita dibenci. Lagipula hidup dalam kegelisahan sungguh tidak enak, ada perasaan mengganjal di hati yang tak terselesaikan, panic attack, dan pikiran bercabang. Kuntowijoyo memberi arahan kepada pembaca, bahwa kita perlu seimbang, antara kesenangan diri dan kesenangan batin.
ADVERTISEMENT
Pendekatan mimetik pada cerpen "Dilarang mencintai bunga-bunga" sepenuhnya membahas permasalahan yang sering dijumpai oleh manusia. Bahwa tak semua orang suka bergaul, tak semua mendapatkan hak kebebasannya, dan ada banyak tipe orang tua dalam mendidik anak.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, M. H. (1971). The mirror and the lamp: Romantic theory and the critical tradition. New York: Oxford University Press.
Kuntowijoyo. (1992). Dilarang Mencintai Bunga-bunga. Jakarta: Noura Books.
Rahmawan, B. F., Ramadhan, S., & Saproji, S. (2022). Analisis Cerpen "Lara Lana" Karya Dee Lestari Menggunakan Pendeketan Objektif dan Mimetik. Populer: Jurnal Penelitian Mahasiswa.