Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Media dan Populisme Islam
31 Agustus 2018 14:43 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:06 WIB
Tulisan dari Arjuna Putra Aldino tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dinamika pemilihan presiden yang akan datang sangat berbeda dengan pemilihan presiden sebelumnya. Pasalnya, dinamika pilpres kali ini lebih terlihat nuansa perebutan “citarasa” islam yang pastinya bertujuan merebut simpati pemilih muslim yang jumlahnya tentu mayoritas dibanding pemilih yang lain.
ADVERTISEMENT
Hal ini terjadi, kemungkinan sejumlah elit politik mempertimbangkan hasil Pilkada DKI yang menurut analisa pengamat dan rilis sejumlah lembaga survei setelah Pilkada DKI, preferensi politik masyarakat lekat dengan faktor agama .
Sehingga kemungkinan perubahan preferensi politik masyarakat ini mempengaruhi pilihan formasi Capres dan Cawapres hingga wacana politik yang diusung. Sejumlah wacana politik dari Capres dan Cawapres pun sarat dengan kemasan-kemasan bercitarasa islam.
Narasi yang bernada “umat”, “santri”, dan “kepemimpinan islam” bertebaran di media massa. Kubu Jokowi-MA misalnya, banyak mengusung tema “ekonomi umat ” sebagai upaya mengemas bahan kampanye mereka agar bercitarasa islam. Sedangkan kubu Prabowo-Sandiaga, mewacanakan Sandiaga Uno sebagai “santri post-islamisme ”, untuk menunjuk representasi santri di era milenial.
Bahkan dinamika politik menjelang pengusungan Capres-Cawapres sempat digaduhkan dengan hasil Ijtima Ulama yang memberi rekomendasi tentang kriteria hingga komposisi nama capres-cawapres yang diklaim mewakili suara umat islam; mewakili Habaib dan Ulama serta bela santri dan pesantren.
ADVERTISEMENT
Jika dihitung mundur, sejatinya perebutan citarasa islam mulai gencar di media massa ketika penyataan kontroversial Amien Rais tentang Partai Setan dan Partai Allah. Alih-alih ingin menguak maksud pernyataan tersebut, media justru membuat pernyataan tersebut semakin kontroversi.
Seperti artikel yang dilansir viva.co.id dan detik.com misalnya, tidak memuat hasil konfirmasi langsung dari narasumber utama terkait pernyataannya, namun justru memuat pandangan politisi dan tokoh lain yang menampilkan tafsir yang sangat beragam. Sehingga media bukan mengarahkan diskursus yang rasional malah justru menyulut sentimen dua kubu.
Perebutan citarasa islam dalam politik nasional akan semakin menonjol akibat peran media yang bukan malah menjernihkan diskursus politik yang ada melainkan ikut mengkonstruksi wacana yang mengarah pada framing dan tren wacana populisme islam.
ADVERTISEMENT
Berbagai liputan media seolah luput bahwa mereka ikut membesarkan narasi populis yang melandasi menguatnya politik identitas. Sehingga narasi tentang identitas agama jauh lebih menguasai ruang perdebatan publik daripada hal-hal yang seharusnya lebih penting dibahas: tentang kesejahteraan warga, perampasan hak masyarakat, penciptaan keadilan sosial bagi semua warga, serta infrastruktur ramah lingkungan.
Media dan Populisme Islam
Peran media dalam mengkonstruksi narasi populisme islam terlihat dari beberapa pemberitaan sejumlah isu dan peristiwa yang berkaitan dengan islam dan umat islam. Dalam artikel yang dilansir Republika.co.id, pemberitaannya berisi pernyataan tokoh nasional yang mengkaitkan persoalan kesenjangan ekonomi di Indonesia dengan perbedaan agama.
Dengan memuat pernyataan tokoh nasional yang menyatakan; “sebagian besar orang yang kaya adalah warga keturunan yang beragama Khonghuchu maupun Kristen. Sedangkan orang yang miskin sebagian besar Islam dan ada juga yang kristen”, tanpa penjelasan yang memadai dan konfirmasi yang lengkap rawan memicu ketersinggungan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Wacana tersebut diperkuat oleh retorika populis dari tokoh politik yang dilansir oleh sejumlah media. Berita yang termuat di situs detik.com dan tribunnews.com, memuat begitu saja retorika populis dari tokoh politik tanpa mengecek kebenaran isi pernyataan tersebut. Bahkan berita yang dimuat cenderung memiliki struktur yang sama, yang kemungkinan hasil copy-paste dari satu berita ke berita yang lain.
Pemberitaan yang paling berkontribusi menguatkan wacana populisme islam adalah pemberitaan yang massif tentang persekusi ulama. Pemberitaan yang dilansir oleh okezone.com mengangkat satu kasus penyerangan ulama di Kediri yang hanya bersandar pada laporan seorang “tamu” di Pondok Pesantren Al Falah, Desa Ploso, Kecamatan Mojo, Kabupaten Kediri.
Akan tetapi, berita tersebut ditulis dengan judul yang seakan meyakinkan. Ketika kepolisian setempat melakukan pemeriksaan yang intensif , ternyata si “tamu” tersebut mengaku telah mengarang cerita bohong kepada pihak keamanan pondok dan polisi. Tanpa penulisan yang jeli, media ikut menyebarkan kebohongan.
ADVERTISEMENT
Hasil pemeriksaan Polri menyebutkan dari 45 laporan tentang kabar persekusi ulama, hanya 3 yang benar-benar terjadi. Artinya, 42 sisanya adalah kabar bohong alias hoax. Media bukan mencoba menelisik lebih jauh tentang kebenaran kabar persekusi ulama, malah justru sibuk memberi ruang kepada para politisi untuk berasumsi atas kasus persekusi ulama.
Artikel yang dimuat republika.co.id, memuat pandangan politisi yang justru sangat tendensi ke arah bahwa umat islam didzalimi dan diperlakukan tidak adil. Sehingga tak memberi kejernihan dalam diskursus persekusi ulama, melainkan justru menambah lapisan-lapisan asumsi politis yang melingkupi kasus persekusi ulama. Hal ini membuat diskursus persekusi ulama menggelembung tanpa dasar yang valid, sehingga mudah dikapitalisasi dan dipolitisir oleh sejumlah pihak serta mengkonstruksi rasa saling curiga diantara kelompok masyarakat.
ADVERTISEMENT
Selain pemberitaan tentang kasus persekusi ulama, pemberitaan tentang kasus penistaan agama juga turut memperkuat tren populisme islam. Dalam kasus Meiliana, hasil investigasi PUSAD (Pusat Studi Agama dan Demokrasi Paramadina) menemukan penuturan si Meiliana sendiri bahwa ia hanya bertanya tentang suara masjid dengan kalimat: “Ka Uo, dulu kan suara masjid kita tidak begitu besar, sekarang kok agak besar,” kata Meiliana kepada ka Uo.
Namun media berulang-ulang memproduksi kronologi versi tertentu bahwa Meiliana mengeluhkan suara adzan dengan kalimat: “Oh kak, bilang sama uwak itu, tolong kecilkan suara masjid, bising kupingku ribut kali”.
Bahkan sejumlah media menyuguhkan berita yang provokatif dengan menyuguhkan judul yang boombastis: “Warga Tionghoa Ngamuk Dengar Suara Adzan di Masjid ”, “Etnis Cina Protes Suara Adzan ”, “Warga Cina Ngamuk dan Larang Adzan Berkumandang ”. Disini media bukan berupaya mencari kebenaran secara komprehensif, justru malah ikut “mengipas-ngipas” sentimen dan kebencian kepada kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Bahkan kasus Meiliana ini berujung pada pembakan sejumlah Vihara, karena penyebaran informasi yang cenderung tereduksi bahkan dipelintir (hate spin). Dan media sangat berperan dalam peristiwa pemilintiran informasi tersebut. Dengan sibuk memproduksi judul-judul yang bombastis dan menonjolkan sisi yang sensasional dari pemberitaan tanpa memperhatikan akurasi dan kredibilitas pemberitaan, media ikut membakar kesadaran massa dan memantik kemarahan warga.
Mungkin inilah salah satu akibat penyakit yang diidap oleh Jurnalisme Klik dimana media kini lebih mengedepankan prinsip kerja umpan klik (click bait) yang cenderung mengeksplorasi sensasi dari pemberitaan, namun seringkali mengabaikan keakuratan dan kualitas informasi, demi memperoleh statistik klik dan share sebanyak mungkin untuk mempertahankan eksistensinya di tengah perkembangan masif digitalisasi. Dengan pola kerja semacam ini, media ikut memompa laju populisme islam dan merebaknya politik identitas.
ADVERTISEMENT
Dan pola kerja Jurnalisme Klik ini pula ikut memperkokoh fenomena politik di era Post-Truth dimana keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik dibandingkan fakta-fakta yang obyektif. Sehingga tak ada lagi dialog rasional dan pertukaran pendapat dalam diskursus di ruang publik, yang ada justru menyemai semangat partisan dan fanatisme kelompok. Akhirnya, seseorang menolak atau menerima kebenaran berita berdasarkan selera. Dan media turut berkontribusi dalam perkembangan ini.
Arjuna Putra Aldino,
Mahasiswa Pascasarjana, Program Studi Ketahanan Nasional, Universitas Indonesia