Konten dari Pengguna

Debat Pilpres dan Isu Korupsi

Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS
15 Januari 2019 16:45 WIB
clock
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Arya Fernandes tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jokowi dan Prabowo (Foto: Bay Ismoyo/AFP)
zoom-in-whitePerbesar
Jokowi dan Prabowo (Foto: Bay Ismoyo/AFP)
ADVERTISEMENT
Debat pertama capres dan cawapres akan digelar pada 17 Januari 2019. Empat isu utama seperti korupsi, hukum, HAM, dan terorisme akan menjadi pembahasan dalam debat itu. Debat ini menjadi strategis karena untuk pertama kalinya para calon diharapkan dapat bertarung gagasan dalam satu panggung. Tanpa menegasikan signifikansi isu lainnya, tulisan ini membahas seberapa pentingkah isu korupsi bagi pemilih dan bagaimana komitmen calon dalam memberantas tindak pidana korupsi?
ADVERTISEMENT
Bagi pemilih, debat perdana penting untuk melihat bagaimana pandangan dan posisi capres dalam agenda pemberantasan korupsi. Apalagi berdasarkan data yang dilansir oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tingkat korupsi politik sangat meresahkan. Setidaknya sekitar 29 kepala daerah ditetapkan sebagai tersangka oleh komisi anti-rasuah selama tahun 2018.
Mayoritas kepala daerah tersebut terpilih dalam hasil pilkada serentak pada tahun 2015 dan 2016. Artinya mereka belum genap memimpin selama tiga tahun. Selain kepala daerah, KPK juga mencokok pelaku korupsi dari anggota legislatif dan swasta.
Performa dan konsep kandidat dalam memberantas korupsi dalam debat nanti, tidak hanya akan memengaruhi tingkat keterpilihan capres dalam pilpres, tetapi juga menentukan arah pemberantasan korupsi ke depan. Survei yang dilakukan oleh Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dalam tiga tahun terakhir menunjukkan faktor integritas dan komitmen pemberantasan korupsi capres menjadi aspek penting yang dipertimbangkan pemilih dalam pemilu.
ADVERTISEMENT
Posisi Indonesia
Ilustrasi korupsi. (Foto: shutterstock, kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi korupsi. (Foto: shutterstock, kumparan)
Data yang dirilis oleh Transparancy International dalam Corruption Perception Index (CPI), menunjukkan terjadi perbaikan posisi Indonesia dalam ranking korupsi di tingkat global. Score CPI Indonesia mengalami tren membaik sejak 2012 sampai 2017--meskipun tidak terjadi kenaikan yang signifikan. Skor Indonesia masih berada di rentang yang mengkhawatirkan sebagai negara yang masih belum bersih. Skor dihitung dari 0 (sangat korup) dan 100 sangat bersih.
Bila dilihat dari rata-rata global di angka 43, Indonesia masih berada di bawah rata-rata dunia. Sejak 2012 sampai 2017 tidak terdapat perbaikan yang signifikan dan masih berada di angka 32 sampai 37. Pada tahun 2012, Indonesia mendapatkan skor 32, tahun 2013 kembali mendapatkan skor 32, 34 (2014), 36 (2015), 37 (2016), dan 37 (2017). 
ADVERTISEMENT
Berdasarkan data statistik penindakan tindak pidana korupsi yang ditangani KPK sejak 2004 sampai 2018, tiga jenis perkara yang paling banyak adalah penyuapan 474 perkara, pengadaan barang dan jasa dengan 180 perkara, dan penyalahgunaan anggaran 46 perkara. Sementara berdasarkan profesi, tiga tindak pidana paling tinggi dilakukan oleh DPR/DPRD (205 kasus), swasta (204 kasus), dan eselon I/II/III (190 kasus).
Survei opini publik yang dilakukan setiap tahun sejak 2016 sampai 2018 oleh tiga lembaga penelitian yang berbeda menunjukkan persepsi terhadap korupsi masih cukup tinggi, namun trennya mengalami penurunan setiap tahunnya. Pada tahun 2016, survei menunjukkan sebesar 70 persen pemilih mempersepsikan angka korupsi di Indonesia, lalu mengalami penurunan menjadi 55 persen pada tahun 2017 dan turun kembali ke angka 52 persen pada 2018.
ADVERTISEMENT
Ketiga survei tersebut menggunakan metodologi yang sama yaitu dilakukan secara nasional proporsional di 34 provinsi di Indonesia dan menggunakan metode multi-stage random sampling. Pada tahun 2016 dilakukan oleh CSIS, 2017 (Polling Center) dan 2018 (Lembaga Survei Indonesia).
Survei tersebut juga menemukan tingkat toleransi publik terhadap korupsi, yang didefinisikan sebagai pemberian berupa barang, uang, dan hadiah untuk memperlancar proses di kantor pemerintahan masih tergolong tinggi. Sebagian besar masyarakat melihat masih wajar pemberian korupsi. Meskipun kabar gembiranya adalah tingkat kewajaran terhadap penerimaan barang dan jasa tersebut mengalami penurunan dari tahun ke tahun. 
Efek Politik
Ilustrasi tahanan KPK. (Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tahanan KPK. (Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Dalam literatur tentang hubungan antara persepsi terhadap korupsi dan faktor petahana, sejumlah tulisan menunjukkan bahwa imej terhadap korupsi akan memengaruhi suara petahana dalam pemilu (Xezonakis, 2012; Chong, 2012). Petahana dihadapkan pada kondisi harus menjelaskan bagaimana posisinya dalam debat nanti untuk menurunkan angka korupsi.
ADVERTISEMENT
Studi lainnya juga menunjukkan adanya hubungan antara kedekatan politik pemilih dengan agenda politik. Korupsi dapat membuat pemilih terpisah dari politik (Chong, dkk 2011). Informasi yang masif terhadap korupsi dikhawatirkan dapat mengganggu citra dan kepercayaan publik terhadap petahana.
Sebagai pemilih, kita berkepentingan agar capres benar-benar menjelaskan programnya terhadap agenda pemberantasan korupsi dan penguatan lembaga anti-rasuah. Karena tingginya angka korupsi, selain akan menggerus kepercayaan publik terhadap pemerintahan, juga akan menggerus kepercayaan publik kepada lembaga-lembaga perwakilan dan partai politik. Hal tersebut dikhawatirkan bisa memengaruhi penurunan partisipasi politik publik dalam pemilu. 
Untuk itu, debat capres nanti bisa jadi momentum bagi publik untuk dapat melihat secara jernih bagaimana visi, program, dan kebijakan calon presiden mendatang. Di tengah jenuhnya masa kampanye, debat harusnya bisa dimanfaatkan para calon untuk bisa menarik perhatian pemilih, terutama pemilih yang masih belum menentukan pilihan atau pemilih yang masih ragu dan bimbang.
ADVERTISEMENT