Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Jalan Terjal Koalisi Jokowi
31 Juli 2019 15:08 WIB
ADVERTISEMENT
Oleh: Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial, CSIS
ADVERTISEMENT
Tak mudah bagi Jokowi untuk membentuk koalisinya. Di tengah dua poros koalisi antara Teuku Umar dan Gondangdia, Jokowi seperti tidak memegang kendali penuh koalisi. Padahal, penentuan kabinet adalah hak prerogatif presiden.
Untuk itu, saya kira perlu bagi Jokowi untuk segera mengambil alih kendali operasi dalam penentuan koalisi. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memberikan pesan tegas kepada partai koalisi bahwa kendali operasi dan desain kabinet dikendalikan secara penuh oleh Jokowi.
Jokowi dihadapkan pada pilihan sulit: mencari jalan tengah di antara dua ‘gajah’ yang tengah bertarung atau memilih salah satu di antara dua alternatif yang tersedia. Bila tak hati-hati, ia bisa saja mengambil keputusan yang keliru.
Pertemuan Gondangdia jelas membawa pesan yang keras kepada Jokowi untuk menolak tambahan anggota koalisi baru. Sementara, pertemuan Teuku Umar membawa kabar sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya, pilihan manakah yang akan diambil oleh Jokowi? Apa risiko politik dari pilihan tersebut dan seberapa pentingnya tambahan partai baru dalam kabinet Jokowi mendatang?
Tentu, tidak mudah menerka pilihan Jokowi. Mari kita berusaha memahami cara berpikir Jokowi yang dibesarkan dalam lingkungan dunia usaha dan politik.
Sebagai pengusaha, tentu Jokowi akan berpikir untung dan rugi: apakah tambahan anggota koalisi akan membawa keuntungan atau petaka bagi Jokowi? Bila kebutuhannya adalah soal kekuatan di parlemen, saat ini bila mengacu pada hasil perolehan kursi partai-partai koalisi 01, kekuatan pendukung Jokowi sudah lebih dari 60 persen.
Namun, muncul argumen tandingan: bisa saja partai tersebut membelot dan tak sepenuhnya loyal pada kebijakan pemerintah. Nah, di sinilah dibutuhkan kemampuan dalam mengelola koalisi agar berjalan efektif.
ADVERTISEMENT
Bila mengacu pada koalisi periode pertama, dengan kekuatan lebih dari 60 persen, kinerja pemerintah dalam meloloskan Rancangan Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak terlalu baik dan besarnya jumlah koalisi tak sejalan dengan RUU yang berhasil disahkan menjadi UU. Tidak baiknya kinerja legislasi tersebut tampak dari dua hal, yaitu: rendahnya jumlah RUU yang disahkan oleh DPR dan rendahnya jumlah RUU baru yang diusulkan oleh pemerintah.
Usul RUU dapat diajukan oleh Pemerintah, DPR, DPD, atau kombinasi antara Pemerintah bersama DPR atau DPD. Dalam Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2015-2019, Pemerintah Jokowi secara sendiri hanya mengusulkan 52 RUU. 52 RUU itu terdiri dari 17 RUU baru; 28 RUU yang telah diajukan oleh pemerintahan sebelumnya dan masuk dalam Prolegnas 2010-2014 dan 7 RUU yang merupakan revisi terhadap UU yang lama.
ADVERTISEMENT
Data di atas menunjukkan, usul RUU baru yang diusulkan oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla lebih rendah dari RUU yang diajukan oleh pemerintahan SBY-Boediono. Sementara, dari 52 RUU yang diusulkan, sampai saat ini, DPR baru mengesahkan 6 RUU.
Dan dari 6 RUU yang telah disahkan, 3 RUU telah diajukan sebelumnya oleh pemerintahan SBY-Boediono dan 3 RUU baru yang diusulkan oleh Pemerintahan Jokowi. Artinya, dalam 5 tahun ini, pemerintah hanya mampu melobi DPR untuk mengesahkan 6 RUU.
Sebenarnya tidak ada kebutuhan yang khusus dan mendesak bagi Jokowi untuk membentuk kabinet gemuk, karena tidak ada hubungan antara jumlah koalisi dengan kinerja legislasi pemerintah. Justru, bila tetap mempertahankan skema awal koalisi, Jokowi lebih punya power untuk bernegosiasi dengan partai-partai. Terutama mendesak anggota koalisi untuk mendukung kebijakan pemerintah melalui RUU.
ADVERTISEMENT
Sementara, bila Jokowi tetap memilih menerima tambahan anggota baru, saya kira Jokowi akan menghadapi sejumlah kerumitan dan kerepotan. Di antaranya, tidak mudah bagi Jokowi untuk menyikapi perbedaan platform dan kebijakan ekonomi dengan Prabowo, terutama terkait investasi, utang luar negeri, pengelolaan sumber daya alam, tenaga kerja asing, dan lapangan kerja.
Pada saat yang sama, Jokowi juga akan kesulitan menghindari potensi retak koalisi dari dalam yang didorong karena munculnya dua kendali koalisi, yaitu dari Gondangdia atau Teuku Umar.
Pilihan Jokowi
Jokowi harus membuat pilihan yang sulit di antara alternatif-alternatif yang juga sulit. Memilih anggota kabinet adalah hajat besar bagi presiden, karena ini menyangkut legacy apa yang akan ditinggalkan oleh presiden pada kabinet selanjutnya.
ADVERTISEMENT
Pemilihan anggota kabinet juga menyangkut seberapa besar presiden punya perhatian kepada kebutuhan publik soal kabinet yang profesional. Saya kira, Presiden Jokowi perlu membuat alternatif-alternatif di tengah kerumitan koalisi ini.
Pemilihan anggota kabinet juga menyangkut wibawa lembaga kepresidenan. Di periode kedua ini, harusnya Jokowi mempunyai kepercayaan diri yang besar dalam membuat kebijakan strategis, seperti penentuan kabinet karena Jokowi sudah berpengalaman bagaimana mengelola kabinet dalam periode pertama.
Jokowi juga harusnya lebih santai karena ia sudah berpengalaman dalam bernegosiasi dengan partai politik dan kekuatan politik lainnya. Pengalaman periode pertama memberikan Jokowi pemahaman mengenai psikologi partai-partai dan mengetahui bagaimana performa anggota kabinet. Performa kabinet ini dapat menjadi alat tawar Jokowi saat bernegosiasi dengan partai politik.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Jokowi harusnya lebih percaya diri karena ia berhasil terpilih dalam situasi politik yang keras dan berliku: di tengah arus besar hoaks dan ketidakpercayaan antar-masyarakat. Ia juga terpilih saat kinerja pemerintahan diapresiasi secara positif oleh publik, baik oleh pemilihnya atau pemilih lawan tandingnya.
Lima Agenda
Jokowi punya tugas berat untuk menyelesaikan lima agenda perubahan yang ia usung, seperti infrastruktur, pembangunan SDM, investasi, reformasi birokrasi, dan penggunaan APBN yang tepat sasaran. Tugas berat tersebut hanya mampu dikerjakan oleh calon yang mempunyai kesamaan platform dengannya.
Pemilihan dan desain kabinet akan menentukan kualitas kebijakan publik yang akan dibuat oleh pemerintahan Jokowi. Dengan tantangan ekonomi domestik dan global yang tidak mudah, kabinet ekonomi Jokowi haruslah solid. Reshuffle yang berulang di kementerian bidang ekonomi pada kabinet pertama menunjukkan tidak solidnya performa menteri-menteri di bidang ekonomi.
ADVERTISEMENT
Penentuan anggota kabinet seyogianya adalah agenda prioritas presiden sebelum menjabat. Presiden harus betul-betul menerapkan standar yang tinggi terhadap anggota kabinet yang akan ia pilih. Presiden tidak bisa menerima saja nama-nama yang diajukan oleh partai. Presiden harus membentuk tim seleksi internal yang kuat.
Presiden menurut saya sebaiknya melakukan fit and proper test kepada calon menteri, agar presiden tahu bagaimana visi dan karakter serta kapasitas calon tersebut. Bila perlu, presiden dapat meminta bantuan dari lembaga seperti KPK dan PPATK untuk menelusuri rekam jejak dari calon. Publik telah memilih Jokowi dengan suara 55.5 persen, saatnya Jokowi memilih anggota kabinet yang tepat bagi publik.***