Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Independensi Seorang Hakim Mahkamah Konstitusi
13 November 2023 6:18 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari arya putra tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Masyarakat mengenal Mahkamah Konstitusi (MK) memiliki peran untuk menegakkan keadilan kepada masyarakat yang hak-nya telah dilanggar oleh konstitusi. Konstitusi telah memberikan amanat kepada MK melalui Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 untuk mengadili tingkat pertama dan terakhir putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa lembaga negara yang diberikan amanat oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, hingga memutus sengketa pemilu.
ADVERTISEMENT
Namun, sayangnya MK sedang mengalami masalah akhir-akhir ini, salah satunya Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 di mana terdapat nuansa konflik kepentingan. Konflik kepentingan itu terjadi setelah Hakim MK memutus Uji materiil syarat usia pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang diatur pada Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017.
Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 justru membuka jalan kepada Gibran selaku Keponakannya untuk dapat mencalonkan diri sebagai cawapres 2024. Seharusnya, Keberadaan MK merupakan penyegar bagi dahaga bangsa ini untuk institusi yang bersih dan kredibel dengan ditopang kewenangan yang besar dan berpengaruh luas. Namun, MK kini bukan lembaga penyegar bagi bangsa ini melainkan sudah dinobatkan sebagai lembaga yang mementingkan kepentingan keluarga atau disebut Mahkamah Keluarga.
ADVERTISEMENT
Konflik Kepentingan
Sebagaimana kita dapat ketahui bahwa dampak konflik kepentingan memberikan suatu dampak buruk terhadap orang lain. Konflik kepentingan bisa terjadi antara kepentingan pribadi dan kepentingan jabatan untuk dirinya sendiri, kepentingan orang lain, kepentingan organisasi dengan motif melindungi atau mencari untung, antara kepentingan pribadi dan atau institusi dengan kepentingan penegakan hukum, atau terhadap subjek hukum (orang) dan atau objek perkara (masalah).
Adanya anggapan di publik Ketua Hakim MK tidak netral dan berpihak dalam memutus pengujian materiil Pasal 169 huruf UU Nomor 7 Tahun 2017 mengenai batas usia capres dan cawapres.
Kedua, Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Jimly Asshiddiqie mengaku menemukan banyak masalah usai memeriksa tiga hakim konstitusi terkait laporan dugaan pelanggaran etik di balik putusan syarat capres-cawapres.
ADVERTISEMENT
Dapat diketahui bahwa Ketua Hakim MK Anwar Usman tidak mengundurkan diri dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). Berdasarkan Pertimbangan Hakim MK Prof. Saldi Isra bahwa “secara faktual perubahan komposisi Hakim yang memutus dari delapan orang dalam Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 menjadi sembilan orang dalam Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 tidak hanya sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan, tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan dari menolak menjadi mengabulkan, meski ditambah dengan embel-embel “Sebagian” sehingga menjadi “mengabulkan sebagian”. Telah terlihat nampak dan jelas bahwa adanya hubungan kepentingan pribadi dalam memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.
Independensi Seorang Hakim Mahkamah Konstitusi
Seorang Hakim wajib dituntut untuk menjaga independensinya dalam melaksanakan tugasnya untuk memutus suatu perkara. Independensi hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman menjamin bahwa Negara bagi independensi Hakim dalam melaksanakan fungsi kekuasaan kehakiman melalui peradilan-peradilan negara untuk mengadili dan memutus perkara demi hukum dan keadilan.
ADVERTISEMENT
Mengacu pada Pasal 2 angka 2 Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 02/PMK/2003 Tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi bahwa “menjauhkan diri dari perbuatan tercela dan menjaga wibawa selaku negarawan pegawai konstitusi, yang bebas dari pengaruh mana pun (independensi), arif dan bijaksana, serta tidak memihak (imparsial) dalam menegakkan hukum dan keadilan”.
Pada faktanya, pada perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 Ketua MK turut hadir dalam RPH dengan hakim MK lainnya. Bahkan, ketika memutus perkara tersebut turut hadirnya Ketua Hakim MK yang sejatinya sudah memperlakukan semua pihak yang berperkara tidak berimbang, diskriminasi dan memihak (parsial).
Indikasi yang menguatkan bahwa Ketua Hakim MK sudah terbukti tidak menjaga independensinya, ketika Hakim MK Saldi Isra mencurahkan rasa kesalnya akibat putusan kontroversial ini. Sudah secara nyata, marwah MK saat ini sudah tidak seperti dulu yang tidak mudah diintervensi oleh kepentingan politik.
ADVERTISEMENT
Rusaknya Kepercayaan Masyarakat
Menurut Bagir Manan Putusan MK memiliki sifat erga omnes yaitu Putusan yang akibat-akibatnya berlaku bagi semua perkara yang mengandung persamaan yang mungkin terjadi dimasa yang akan datang . Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengakibatkan kemarahan di Masyarakat akibat arogansi yang hanya mementingkan pihak tertentu bukan menaikkan kepercayaan Masyarakat.
Marwah MK semakin rusak bahkan buruk di mata Masyarakat pasca adanya putusan kontroversial ini yang sudah berbau aroma kepentingan elit politik. Jelaslah sudah, demokrasi di Indonesia sedang tidak sehat dan peringatan kepada kita untuk dapat memperbaikinya secepat mungkin.
Putusan ini justru meningkatkan tindakan nepotisme yang akan merusak sendi-sendi bangsa dan merugikan Masyarakat dalam jangka waktu kedepan. Tidak salahpun juga Masyarakat tidak percaya kepada MK yang digadang-gadang sebagai the Guardian of constitution untuk menegakkan keadilan konstitusi.
ADVERTISEMENT