Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Bersama Menjadi (Mahkamah) Agung
25 Desember 2022 5:44 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Asep Saefuddin tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Gagasan trias politica yang membagi cabang kekuasaan menjadi tiga ranah: eksekutif, legislatif, dan yudikatif, saat ini seakan-akan tidak bisa dipisahkan. Kekuasan itu sepertinya berhasil ‘disatukan’ kembali oleh aktor-aktor yang melakukan tindakan korupsi .
ADVERTISEMENT
Seperti sudah menjadi kesepakatan bersama jika harapan hadirnya lembaga legislatif yang diharapkan bisa mengawasi jalannya roda eksekutif tidak bisa diharapkan lagi. Semakin sirna.
Publik semakin sepakat menilai hubungan keduanya hanya sebatas transaksi politik yang berbuah bagi-bagi jabatan. Pengawasan tidak hanya menjadi lemah, parahnya lagi kuasa legislatif seperti berada dalam bayang-bayang pengawasan eksekutif. Kemudian saling membayang-bayangi.
Sebagai wilayah kekuasaan yang bebas dari wilayah-wilayah kekuasaan lainnya, satu-satunya harapan ada pada lembaga yudikatif. Namun, semakin kesini para hakim mulai terjebak atas permainan para koruptor. Sudah puluhan hakim yang akhirnya terjerat dalam berbagai kasus korupsi di Indonesia.
Mereka terjebak pada lembar dunia yang semakin menggiurkan. Bila hitung-hitungan penjara masih bisa belum mengalahkan hitung-hitungan rupiah, mereka berani ambil resiko. Urat malu dan harga diri juga kalah oleh rupiah, dolar Singapura, dan dolar Amerika.
ADVERTISEMENT
Mirisnya lagi, daftar ‘Yang Mulia’ terjerat kasus korupsi sudah menyentuh lembaga peradilan tertinggi. Jika sebelumnya kita didera nestapa dengan tertangkapnya hakim Mahkamah Konstitusi (MK), tahun ini kepiluan itu semakin memuncak dengan hadirnya oknum hakim agung yang ikut terlibat dalam perkara korupsi di tanah air. Tetapi hal ini seakan menjadi berita biasa. Tidak membuat orang umumnya kaget.
Padahal tragedi ini menjadi kabar duka yang akbar bagi penegakan hukum di tanah air. Duka mendalam itu tidak hanya melanda hakim yang tertangkap atau keluarganya. Bukan juga pada institusi penegakan hukum di Indonesia. Lebih dari itu, yang lebih mengkhawatirkan itu adalah adalah potensi semakin hilangnya rasa kepercayaan ratusan juta rakyat Indonesia atas terwujudnya keadilan bagi kehidupan mereka. Bila sudah demikian, sulit sekali upaya pembenahannya dilakukan.
ADVERTISEMENT
Krisis kepercayaan publik kepada bangsanya yang sedang diikhtiarkan kembali pulih melalui gerakan reformasi pada seperempat abad yang lalu, menjadi semakin berat upaya pemulihannya. Tidak hanya berseliwerannya postingan-postingan di media sosial yang berkicau tentang pupusnya harapan ini, kisah-kisah ‘main hakim’ sendiri juga mulai semakin mencuat. Artinya, tubuh bangsa ini semakin bertubi-tubi dihantam kerugian.
Oleh karena itu, supaya tidak terus menerus terjebak dengan kabar duka matinya keadilan pada pribadi-pribadi hakim yang terjerat, masih ada waktu kita untuk bergerak bersama. Keyakinan harus kembali ditumbuhkan pada masyarakat Indonesia. Keyakinan untuk selalu optimis bahwa masih banyak hakim-hakim yang saat ini sedang berjuang untuk menghadirkan keadilan. Komponen bangsa lainnya yang menginginkan Indonesia maju, bermartabat, dan berdaya saing harus mulai bersatu untuk mencapainya.
ADVERTISEMENT
Pastinya optimisme ini tidak akan tumbuh subur ketika daya dorong untuk bebas dari korupsi (termasuk juga kolusi dan nepotisme) justru melemah pada kepribadian kita sendiri. Kejahatan korupsi itu ternyata tidak hadir dalam aktor tunggal. Banyak profesi - profesi lain yang terlibat.
Misalnya, berdasarkan catatan ICW untuk semester I tahun 2022 terdapat 252 kasus korupsi yang terjadi. Adapun yang telah ditetapkan menjadi tersangka menyentuh angka 612 orang. Sekali lagi, siapa saja mereka?
Nah, yang pertama untuk diperkuatkan itu adalah pribadi kita masing-masing. Kalahkan ego hawa nafsu yang cenderung hedonis, kekayaan menjadi kehormatan, bagaimanapun caranya. Kemudian, sebarkan ke lingkaran terdekat, mulai dari lingkungan keluarga, tempat tinggal, lingkungan kerja, dan seterusnya. Hingga akhirnya tumbuh kolaborasi sempurna untuk saling mendukung terciptanya lingkungan yang bebas dari kejahatan korupsi.
ADVERTISEMENT
Di lingkungan keluarga, sejak dini anak-anak haruslah diberikan kebiasaan untuk tidak berbohong atas hal-hal yang remeh - temeh sekalipun. Kelak, ketika kejujuran dalam dirinya mulai tumbuh, akan semakin mudah memperkuat integritas dirinya ketika melanjutkan estafet kehidupan. Baik di lingkungan sekolah atau perkuliahan dan tempat kerjanya.
Cara terbaik menanamkan sifat kejujuran tentulah tidak hanya dengan perintah dan tafsir-tafsir teoritis semata. Keteladanan dari orang tua lebih utama. Sangat naif kalau para orang tua melakukan kutbah-kutbah kebaikan, namun perangainya di lingkungan kerja justru berlawanan dengan isi ceramah yang disampaikan kepada anaknya. Tidak mungkin menghadirkan semangat perilaku kejujuran di dalam rumah, ketika penghasilan yang didapatkan selalu dilumuri oleh praktik rasuah.
Di lingkungan pendidikan juga demikian. Sekolah dan kampus tidak hanya menuntut para anak bangsa itu menjadi cerdas intelektual semata. Intelektualitas harus diperkuat dengan moralitas diri. Kelak, ketika mereka lulus dari perjalanan pendidikan formalnya, tidak hanya lembar ijazah dan gelar yang dikukuhkan. Akan tetapi, profesionalisme dan integritas dirinya juga harus kokoh. Tidak mudah dilemahkan dengan ‘perintah atasan’ atau sekedar tawaran jabatan dan transferan.
ADVERTISEMENT
Memang tidak mudah untuk merealisasikan kepribadian seperti ini, ketika para pendidiknya tidak menjadikan lembaga pendidikan sebagai tempat pengabdian diri. Orientasi mengajar atau mendidik yang hanya berfokus untuk memperkaya diri justru melemahkan pembangunan pondasi karakter peserta didik. Yang terjadi adalah kemunafikan yang tumbuh menjulang. Di dalam kelas bicara dogma pahala, di luar kelas justru pendidiknya bergumul dengan dosa-dosa melalui penyimpangan anggaran dan lain sebagainya. Semoga hal ini tidak terjadi.
Begitu juga harapannya di lingkungan-lingkungan lainnya. Akselerasi semangat untuk menumpaskan korupsi harus terus dipraktikkan. Dengan demikian, perlahan tapi pasti negara ini bisa pulih serta bangkit untuk kemudian mampu menciptakan nuansa keadilan bagi rakyatnya.
Keagungan tidak hanya tumbuh dalam kepribadian para hakim, tapi juga tumbuh pada perilaku anak bangsa. Kata-kata mulia tidak hanya hadir di ruang-ruang sidang, tapi juga selalu bersemayam pada tindak - tanduk kehidupan kita bersama. Dan tidak sekedar retorika, tetapi wujud nyata.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi yang demikian, bukan hanya ratusan triliun kerugian negara yang bisa diselamatkan atas praktik korupsi yang terjadi selama ini. Lebih bahagianya lagi, dengan perilaku agung yang dimiliki, kita mampu menggenapkan kemerdekaan yang telah diraih sejak tahun 1945 silam dengan bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Persis seperti cita-cita bangsa yang diperjuangkan oleh pendiri bangsa ini. Aamiin.