Konten dari Pengguna

Papua Bukan Tanah Kosong : “All Eyes On Papua” Suara Dari Timur Indonesia

Ripaldo Asemki
Mahasiswa Universitas AMIKOM Yogyakar
12 Juni 2024 9:55 WIB
·
waktu baca 5 menit
clock
Diperbarui 17 Oktober 2024 11:38 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ripaldo Asemki tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
hutanPinusPapua_By Ripal_RedmiPro12
zoom-in-whitePerbesar
hutanPinusPapua_By Ripal_RedmiPro12
ADVERTISEMENT
Oleh : Ripal
Tanah Papua terus bercerita tentang tragedi kemanusiaan dan situasi yang buruk dengan persoalan Hak Asasi Manusia. “Papua Bukan Tanah Kosong” merupakan suatu pernyataan yang mengandung makna yang mendalam dan merepresentasikan situasi yang dialami masyarakat Papua. “Papua Bukan Tanah Kosong” bukan hanya sekedar kalimat belaka atau hanya sebatas judul dari sebuah buku, tetapi kalimat itu mengandung arti yang mendalam yakni dilema dan penderitaan masyarakat Papua selama berada di atas tanahnya sendiri yang selama ini tidak dilihat oleh dunia luar. Seolah-olah tanah Papua sebagai tempat/lahan kosong tanpa penghuni yang terus dimanfaatkan dan terus dieksploitasi oleh penguasa demi kepentingan.
ADVERTISEMENT
Fakta bahwa kurang lebih 61 Tahun Papua bersama Indonesia, pemerintah Indonesia telah melakukan eksploitasi sumber daya alam besar-besaran di Papua dengan alasan kepentingan Negara. Selama itupulah pemerintah Indonesia menjanjikan kesejahteraan dan kemandirian ekonomi bagi masyarakat Papua. Namun, kenyataan berbanding terbalik dengan apa yang dijanjikan. Sudah bertahun-tahun eksploitasi sumber daya alam dilakukan seperti tambang emas di Timika, LNJ di Bintuni, Kelapa Sawit di Keerom yang mana perusahaan itu berdiri di tanah Papua sejak lama, akan tetapi masih belum memberikan jaminan hidup yang layak bagi masyarakat Papua.
Hadirnya perusahaan-perusahaan besar yang melakukan eksploitasi sumber daya alam seperti pertambangan atau pun perkebunan sawit sebenarnya tidak diterima oleh masyarakat adat pemilik hak ulayat. Bertahun-tahun aksi penolakan terus disuarakan oleh masyarakat adat Papua, tetapi pemerintah Indonesia tidak pernah memberikan jawaban yang memuaskan (tidak ada kepastian hukum, tidak ada keberpihakan) dan terus memberikan izin eksploitasi kepada perusahaan-perusahaan raksasa.
ADVERTISEMENT
All Eyes On Papua
Baru-baru ini muncul isu All Eyes On Papua sebagai bentuk kepedulian dan protes yang disuarakan untuk yang kesekian kalinya kepada pemerintah Indonesia. Diketahui bahwa akan dibukanya perkebunan kelapa sawit seluas 36.094 hektar. All Eyes On Papua, menjadi viral di media sosial sebagai respons penolakan terhadap pembukaan lahan sawit. Semua itu berlatar dari rencana pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit oleh beberapa perusahaan yang mendapat penolakan keras dari masyarakat adat Papua yaitu dari suku Awyu dan suku Moi. Suku Awyu dari Papua Selatan sedangkan suku Moi dari Papua Barat.
Suku Awyu dan suku Moi sebagai kelompok masyarakat adat di wilayah mereka masing-masing yang akan dibuka proyek besar-besaran. Mereka ini (suku Awyu dan suku Moi) memiliki hubungan yang mendalam dengan hutan mereka masing-masing. Hutan bagi mereka bukan hanya sebatas sumber kehidupan, tetapi juga bagian integral dari identitas budaya (jati diri) dan spiritualitas mereka. Ketika hutan adat mereka diambil alih atau dirusak maka dampaknya sangat besar bagi kesejahteraan dan kelangsungan hidup mereka.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya suku Awyu dan suku Moi saja yang akan kehilangan sumber kehidupan, akan tetapi dampak dari pembabatan hutan yang akan dijadikan lahan kelapa sawit itu akan meluas hingga dapat merusak keseimbangan iklim global.
Konflik Lahan Dan Dampaknya
Masalah utama yang dihadapi adalah izin yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahan untuk membuka hutan adat yang menjadi sumber kehidupan suku Awyu dan Moi. Hutan tersebut tidak hanya menyediakan bahan makanan, air, dan obat-obatan, tetapi juga memiliki nilai budaya, historis dan spiritual yang mendalam. Kehilangan hutan ini berarti kehilangan identitas dan jati diri mereka.
Persoalan ini tidak hanya menyangkut hak atas tanah ,tetapi juga masalah hak asasi manusia, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan. Menurut Asep Komaruddin (juru kampanye Greenpeace), bahwa ada beberapa faktor yang memicu persengketaan ini, termasuk ekspansi industri kelapa sawit dan pertambangan yang seringkali melibatkan perusahaan besar yang didukung oleh kebijakan pemerintah. Proses pengalihan tanah ini sering kali tidak transparan dan melibatkan penipuan, intimidasi, atau bahkan kekerasan terhadap masyarakat adat. Selain itu, banyak masyarakat adat yang tidak memiliki bukti legal formal atas kepemilikan tanah mereka, meskipun mereka telah menempati dan mengolah tanah tersebut secara turun temurun.
ADVERTISEMENT
Hutan adat yang direncanakan untuk ditebang ini diperkirakan seluas 36.094 ribu hektar yang mana luas tersebut setara dengan separuh luas Jakarta. Hilangnya hutan ini tidak hanya mengancam kehidupan masyarakat adat Awyu dan Moi yang bergantung pada hutan sebagai sumber penghidupan, tetapi juga berpotensi menghilangkan emisi 25 juta ton CO2 yang akan berdampak pada krisis global (tirto.id).
Menurut Tigor Hutapea dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, perlindungan terhadap hutan adat ini penting tidak hanya bagi komunitas lokal tetapi juga bagi lingkungan global. Hutan adat tersebut berperan sebagai penyerap karbon dan habitat bagi flora dan fauna endemik Papua (Greenpeace.co).
Dalam konteks yang lebih luas, isu ini menyoroti konflik antara kebutuhan pengembangan ekonomi melalui perkebunan sawit dan hak-hak masyarakat adat untuk melindungi tanah leluhur mereka. Persoalan ini menggarisbawahi pentingnya keseimbangan antara pembangunan dan konservasi lingkungan serta keadilan sosial bagi masyarakat adat di Papua.
ADVERTISEMENT
Aksi dan Petisi
Pada tanggal 27 Mei 2024, masyarakat adat suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan dan Suku Moi dari Papua Barat menggelar aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung di Jakarta. Mereka menuntut pembatalan izin perusahan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL) dan PT Sorong Agro Sawitindo (PT SAS) yang dianggap merusak hutan adat mereka. Aksi ini melibatkan doa dan ritual adat, serta dukungan oleh berbagai organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa Papua. Para peserta aksi mengenakan busana adat masing masing suku dan membawa simbol tanah adat untuk diserahkan kepada Mahkamah Agung.
Melalui aksi ini, masyarakat adat berharap Mahkamah Agung akan mengeluarkan putusan yang adil dan melindungi hak-hak mereka serta lingkungan. Mereka juga mengajak publik untuk mendukung perjuangan ini demi masa depan yang lebih baik bagi semua pihak.
ADVERTISEMENT
Harapan dan Kesimpulan
Masyarakat adat suku Awyu dan Moi berharap agar gugatan mereka yang kini memasuki tahap kasasi di Mahkamah Agung dapat memberikan keadilan dan mengembalikan hak atas tanah adat mereka. Isu ini tidak hanya penting bagi masyarakat Papua, tetapi juga bagi upaya global dalam melestarikan lingkungan dan mengatasi perubahan iklim. Melalui gerakan All Eyes On Papua, masyarakat berharap mendapatkan perhatian serius solidaritas berbagai pihak untuk menghentikan proyek yang mengancam keberlanjutan hidup mereka serta lingkungan. Dengan menyelamatkan hutan Papua maka kita telah menyelamatkan keberlangsungan hidup manusia, serta ekosistem dan juga kita menyelamatkan bumi dari ancaman krisis global.