Konten dari Pengguna

Anyer dan Jejak Historis di Balik Pesona Wisata

Asep Abdullah
Sejarawan amatir
16 Mei 2021 18:39 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Asep Abdullah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret Pantai Anyer tahun 1880, berjudul “Vuurtoren Anjer” karya O.G.H. Heldring (Kredit Foto: digitalcollections.universiteitleiden.nl / Creative Commons CC BY License)
zoom-in-whitePerbesar
Potret Pantai Anyer tahun 1880, berjudul “Vuurtoren Anjer” karya O.G.H. Heldring (Kredit Foto: digitalcollections.universiteitleiden.nl / Creative Commons CC BY License)
ADVERTISEMENT
Siapa yang tidak mengenal Anyer? Pantai ini berjarak 120 km atau kurang lebih 3 jam dari ibukota Jakarta, sedangkan dari Kota Serang, hanya berjarak 38 km. Dibalik ramainya kawasan wisata Pantai Anyer, jejak historis ternyata menunjukkan bahwa Anyer merupakan kota pantai strategis yang diincar Belanda sejak datang ke Nusantara dan terbukti pada masa Kolonialisme.
ADVERTISEMENT
Mercusuar Cikoneng yang dibangun sejak tahun 1885 menjadi bukti pentingnya Anyer. Kota ini juga menjadi ujung penghubung titik nol Jalan Raya Pos, De Grote Postweg, yang dibangun pada abad ke-19 oleh Belanda. De Grote Postweg atau Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan adalah jalan yang menembus ujung Jawa bagian Barat hingga Timur Pulau Jawa.
Sebelum dikuasai Kolonial Belanda, Anyer sudah menjadi pelabuhan internasional yang berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten. Khususnya, sejak tahun 1511 saat Malaka jatuh ke tangan Portugis, menyebabkan pedagang muslim yang berasal dari daerah Arab, Persia dan Gujarat enggan untuk berlabuh di Malaka dan memilih Banten sebagai persinggahan. Pelabuhan Karangantu yang merupakan Pelabuhan Besar Banten Lama, termasuk pelabuhan terbesar setelah Pelabuhan Sunda Kelapa, kali pertama didatangi Belanda tahun 1596. Ikot Sholehat, dalam tesisnya Perdagangan Internasional Kesultanan Banten Akhir Abad XVI-XVII, menyebutkan bahwa pelabuhan Banten memiliki sarana yang baik, dengan didukung oleh Banten yang strategis sehingga menjadi daya tarik bagi para pedagang internasional.
ADVERTISEMENT
Kedatangan Herman Willem Daendels tahun 1808, mendorongnya untuk menjadikan Anyer sebagai potensi ekonomi dan politik, yang perlu dikuasai Belanda. Kelak setelahnya, Daendels melebarkan dan mengeraskan jalan untuk membangun “pos penjagaan” dengan fasilitas jalan besar selebar tujuh meter yang mengubungkan Anyer sampai Panarukan. Sebelumnya jika menempuh Anyer ke Batavia (Jakarta) membutuhkan waktu 4 hari, dan setelahnya cukup ditempuh dengan 1 hari.
Dalam catatan Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, Anyer merupakan wilayah yang strategis karena berada di Selat Sunda, di mana kapal-kapal layer yang datang dari Eropa dengan tujuan ke Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku, serta China, Jepang, dan Manila, dapat melaporkan atau menerima pesanan dari pedagang lain, serta memiliki fasilitas yang menyediakan berbagai minuman serta air minum dengan pipa air sepanjang 4,5 kilometer.
Potret Pantai Anyer tahun 1880, berjudul “Vuurtoren Anjer” karya O.G.H. Heldring (Kredit Foto: digitalcollections.universiteitleiden.nl / Creative Commons CC BY License
Namun Pantai Anyer yang merupakan pelabuhan besar dan pernah menjadi tempat mendaratnya Deandles tersebut, ternyata bukan Anyer yang kita kenal sekarang. Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, menyebutkan bahwa pelabuhan pantai dan desa di sekitarnya habis oleh gelombang pasang (tsunami) akibat letusan Gunung Krakatau tahun 1883. Erlita Tantri, peneliti dari LIPI, menyebutkan bahwa letusan Gunung Krakatau yang terjadi pada 26-27 Agustus 1883, mengeluarkan jutaan ton batu, debu dan magma, materialnya menutupi wilayah dunia seluas 827.000 km2. Pasca meletusnya Krakatau, muncullah istilah yang orang Belanda sebut sebagai Anyer Lor (Utara) yang bertempat di Merak sekarang, yang membedakannya dengan Anyer Kidul (Selatan) yang berada di situs lama.
ADVERTISEMENT
Pada awal abad 20, berdasarkan catatan kolonial dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, disebutkan bahwa tahun 1906, Anyer memiliki penduduk dengan jumlah 40.000 jiwa yang didominasi bumiputera, dengan sedikit orang asing yaitu 20 orang Eropa dan 30 orang Cina. Saat itu, Anyer memiliki luas 293 km2 dengan berada di bawah afdeeling Serang, residentie Banten. Anyer mulai mengalami penurunan komersial pasca pembangunan Terusan Suez dan ditemukannya kereta uap.
Dibandingkan tahun 1909, kini populasi di Anyer mencapai lebih dari sepuluh kali lipat menjadi 400.000 jiwa dan menjadi lokasi wisata. Kini Anyer adalah pantai yang landai dan tenang bahkan sekarang ramai dengan aktivitas wisata karena potensi panoramanya yang indah serta diramaikan dengan menjamurnya bangunan fasilitas akomodasi pariwisata sepanjang bibir pantai. Berbeda dengan masa lalu, kini tidak ada lagi aktivitas hilir-mudiknya buruh-buruh pelabuhan yang sibuk mengangkat komoditi sebagai rutinitas bongkar muatan dan kapal-kapal besar asing sebagai pelabuhan internasional.
ADVERTISEMENT
Inilah sejarah Anyer dalam catatan pada masa kolonial Belanda. Di dalamnya menuai banyak kejadian dan sejarah yang tertulis dalam memori. Jauh dari aktivitas sebagai pelabuhan internasional, kini bahkan di tengah pandemi dan larangan mudik, Pantai Anyer tetap menjadi komoditas wisata. Kompas.com mencatat, sampai pada Sabtu (15/5/2021), bahkan jalur akses menuju Pantai Anyer ditutup oleh petugas kepolisian karena kapasitas pantai yang sudah penuh dan wajib memenuhi kapasitas 50% protokol kesehatan. Semoga pandemi cepat berlalu!
Referensi:
J. Paulus, D.G. Stibbe, & S. de Graaff, 1917, Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië, Eerste deel A-G, Nijhoff-Brill.
Ikot Sholehat, 2019, Perdagangan Internasional Kesultanan Banten Akhir Abad XVI-XVII, tesis pada Program Studi Sejarah dan Kebudayaan Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ADVERTISEMENT
Erlita Tantri, 2014, Letusan Krakatau 1883: Pengaruhnya Terhadap Gerakan Sosial Banten 1888, Jurnal Masyarakat dan Budaya.
https://regional.kompas.com/read/2021/05/15/140034578/wisatawan-pantai-anyer-membludak-akses-jalan-ditutup-kendaraan-diputar