Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ketika 'Setan Gepeng' di Era Digital Mengusik Ibadah dan Wilayah Sakral
7 Juli 2024 11:46 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari asep k nur zaman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Di era digital ini, teknologi telah menyusup ke setiap aspek kehidupan kita, bahkan ke tempat-tempat yang dulunya dianggap sakral dan suci. Ada yang menyebut smartphone sebagai "setan gepeng".
ADVERTISEMENT
Sebuah julukan yang menggelitik sekaligus mencerminkan realitas maraknya telepon pintar mengganggu aktivitas yang seharusnya khusyuk dan penuh makna, termasuk beribadah di lingkungan Ka'bah — sentral ibadah haji dan kiblat salat Umat Islam.
Bayangkan, ketika kita berada di tempat ibadah, seharusnya fokus pada komunikasi dengan Tuhan. Namun, suara notifikasi yang nyaring, getaran tak berkesudahan, atau godaan untuk memeriksa media sosial, bisa merusak konsentrasi dan mengalihkan perhatian kita. Setan gepeng ini, meski tidak terlihat menyeramkan, mampu merusak momen yang seharusnya khidmat dan penuh kekhusyukan.
Saat berada di masjid, gereja, kuil, atau pura, ada kalanya kita melihat orang-orang sibuk dengan gadget mereka. Mungkin ada yang berniat baik, seperti membaca Al-Quran atau kitab suci lainnya melalui aplikasi, namun tak jarang, godaan untuk sekadar mengecek pesan atau notifikasi media sosial terlalu kuat untuk ditolak. Dengan demikian, setan gepeng ini berhasil mengalihkan fokus kita dari Tuhan ke layar kecil yang memancarkan cahaya biru.
ADVERTISEMENT
Tidak jarang pula, di tengah-tengah ibadah yang khusyuk, terdengar dering telepon yang memecah kesunyian. Situasi ini seringkali membuat jemaat lain terganggu dan suasana menjadi ricuh. Bagaimana tidak, ketika seseorang sedang merenungkan dosa dan mencari kedamaian, tiba-tiba suara ringtone berirama dangdut atau notifikasi game berbunyi nyaring, menghapus seketika suasana sakral yang ada.
Selfi di Depan Ka'bah
Di masa lalu, jemaah haji yang berziarah ke Masjidil Haram mungkin hanya membawa kenangan spiritual yang mendalam. Kamera dilarang masuk ke lingkungan suci ini, menjaga kekhidmatan dan kesakralan tempat yang di tengah-tengahnya terdapat bangunan Ka'bah. Namun, di era smartphone, aturan ini mulai sulit diterapkan. "Setan gepeng" telah menyusup ke dalam kantong-kantong jemaah, siap merekam setiap momen, mengabadikan setiap langkah, dan tentu saja, ber-selfie ria dengan latar belakang Ka'bah.
ADVERTISEMENT
Mengapa fenomena ini terjadi? Apakah ada yang salah dengan mengabadikan momen? Mungkin tidak sepenuhnya. Tetapi, ketika tujuan utama dari ibadah haji – yang seharusnya adalah mendekatkan diri kepada Allah dan merenungkan makna spiritual – tergeser oleh keinginan untuk memotret dan memamerkan diri di media sosial, kita perlu merenung kembali.
Lihatlah, betapa mudahnya kita menemukan jemaah yang berpose di depan Ka'bah, tersenyum lebar, mengangkat tangan dengan gaya peace, atau bahkan mencoba berbagai filter agar hasil foto terlihat lebih menarik. Bukan berarti foto-foto tersebut salah, tetapi apakah ini yang benar-benar kita harapkan dari perjalanan spiritual yang seharusnya penuh makna dan kekhidmatan?
Tidak dapat dipungkiri, teknologi telah membawa banyak manfaat. Kemudahan untuk berbagi pengalaman dengan keluarga dan teman-teman di rumah adalah salah satunya. Namun, mari kita jujur, berapa banyak dari kita yang lebih fokus pada angle terbaik untuk selfie daripada pada doa dan zikir yang seharusnya kita lantunkan?
ADVERTISEMENT
Ka'bah, yang berdiri megah di tengah Masjidil Haram, bukanlah latar belakang untuk memperindah galeri foto kita. Ia adalah pusat dari ibadah yang penuh makna, tempat jutaan umat Islam berdoa, menangis, dan memohon ampunan. Kesakralan tempat ini tidak seharusnya ternodai oleh keinginan duniawi untuk eksis di media sosial.
Mungkin, sudah saatnya kita mempertimbangkan kembali bagaimana kita menggunakan teknologi ini. Apakah benar-benar perlu memotret setiap momen? Apakah benar-benar penting mendapatkan likes dan komentar di media sosial ketika kita sedang dalam perjalanan spiritual yang seharusnya menghubungkan kita dengan Sang Pencipta?
Mari kita ingat, tujuan utama kita pergi haji bukanlah untuk memotret dan membagikan setiap momen, tetapi untuk mendekatkan diri kepada Allah, merenungkan dosa-dosa kita, dan memperbaiki diri. Semoga kita bisa menempatkan smartphone pada tempatnya, tidak membiarkan "setan gepeng" ini merusak kekhidmatan dan kesakralan ibadah kita.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, kita bisa kembali kepada esensi haji yang sebenarnya: sebuah perjalanan spiritual yang membawa kita lebih dekat kepada Allah, bukan sekadar sebuah perjalanan yang dipenuhi dengan foto-foto dan selfie di media sosial.
Merasa Telanjang tanpa HP
Memang kian ironis. Smartphone ini bukan hanya sekadar perangkat teknologi, melainkan sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan, bahkan bagaikan organ vital dalam tubuh kita. Kita merasa telanjang tanpa HP, merasa tidak lengkap, dan tentu saja mati gaya. Bahkan dalam momen paling khusyuk sekalipun, setan gepeng ini berhasil menyusup dan mencuri perhatian kita.
Mungkin sudah saatnya kita merenungkan kembali bagaimana kita menggunakan teknologi ini. Mungkin kita perlu menyadari bahwa ada saatnya kita harus meletakkan smartphone kita dan kembali fokus pada hal-hal yang lebih penting dan bermakna. Beribadah, misalnya, adalah waktu untuk mengosongkan pikiran dari hiruk-pikuk duniawi dan benar-benar menyambung kembali dengan yang Maha Kuasa.
ADVERTISEMENT
Jadi, apakah kita akan terus membiarkan setan gepeng ini merusak momen-momen sakral kita? Atau, kita akan belajar untuk menempatkan teknologi pada tempatnya dan mengambil kembali kendali atas hidup kita?
Pilihan ada di tangan kita. Mari kita jadikan smartphone sebagai alat yang membantu kita, bukan sebaliknya. Jangan biarkan setan gepeng ini menguasai hidup kita dan mengganggu kekhusyukan kita berkomunikasi dengan Tuhan.