Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Guru Terhormat
26 Februari 2021 2:07 WIB
Tulisan dari Asep Totoh tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
MASIH menjadi persoalan klasik dalam dunia pendidikan yang dirasakan selama bertahun-tahun dan sampai kini, seolah belum dapat terpecahkan, yakni masalah kesejahteraan, khususnya yang menyangkut masalah rendahnya gaji guru. Ragam keluhan tentang rendahnya gaji guru sudah dikemukakan berulang kali pada setiap pembicaraan mengenai pendidikan, namun dirasa belum optimal memperoleh solusi tepat untuk perbaikan.
ADVERTISEMENT
Harus diakui jika keberadaan dan peran guru honorer dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sangat strategis, sebab terdapat banyak wilayah di Indonesia masih mengalami kekurangan guru, dan pemerintah tak punya cukup anggaran untuk menggaji mereka atau mengangkat guru ASN.
Data di sejumlah daerah menunjukkan rasio guru-murid masih di bawah standar yang ditetapkan oleh pemerintah sendiri. Maka solusi daruratnya adalah dengan mempekerjakan guru-guru itu dengan sistem kontrak berjangka dan hal ini sudah berlangsung bertahun-tahun. Bahkan, guru honorer bisa belasan tahun menjadi guru kontrak.
Sampai saat ini pemerintah memang sudah serius memajukan kesejahteraan guru serta mendorong peningkatan mutu pembelajaran. Hal tersebut bisa terlihat dari program PPPK satu juta guru, juga dari kesejahteraan guru berstatus PNS sudah jauh lebih baik melalui pemberian tunjangan profesi guru (TPG). Namun, berbeda dengan guru swasta yang bergantung pada yayasan. Belum lagi, guru honorer yang kesejahteraannya tidak memiliki kepastian, lantaran bergantung pada sekolah tempat penugasan.
ADVERTISEMENT
Senyatanya, sering kali kemampuan pemerintah belum mampu menyentuh semua aspek. Tentunya diperlukan dukungan dan gebrakan yang lebih untuk mempercepat kesejahteraan guru. Saat ini, kiranya pemerintah daerah pun perlu melakukan itu, sekaligus mengampanyekan tentang kesejahteraan guru.
Ada banyak guru honorer di berbagai sekolah negeri yang bertahan dengan gaji kecil, dengan harapan diangkat menjadi PPPK dan kalau beruntung menjadi PNS, atau sekadar menjadi pekerja kontrak pemerintah daerah, seperti terjadi di Provinsi DKI Jakarta dengan istilah KKI (kontrak kerja individu), di mana para guru honorer bersedia digaji seikhlasnya dari kepala sekolah. Misalnya, ada 4 guru honorer di salah satu sekolah negeri yang belum berstatus KKI yang bersedia dibayar hanya Rp 1 juta/bulan. Tujuan mereka bertahan adalah dengan harapan dapat diangkat menjadi KKI dan PPPK.
ADVERTISEMENT
Mampukah jika minimal gaji guru honorer sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan standar gaji UMK di daerah? Sebab masih banyak para guru yang hanya mengandalkan besaran gajinya berdasarkan banyaknya jumlah jam.
Guru-guru yang mengajar di sekolah swasta yang berijazah S1 banyak yang masih jauh dari layak dalam penghasilannya—mereka bahkan masih ada yang dibayar per jam di bawah Rp 50.000,-. Diperparah lagi, mereka dibayar per bulan dengan hitungan jumlah jam dalam satu minggu, artinya tiga minggu mengajar tidak masuk hitungan penggajian.
Ketika ditemukan guru honorer atau guru yayasan yang hanya mendapat honor sekitar Rp 300 ribu perbulan, tentunya penghasilan tersebut jauh dari kata layak. Nominal ini jauh berkali-kali lipat dari gaji para guru PNS, jika dengan konversi Rp 10.000 per hari.
ADVERTISEMENT
Keniscayaannya para guru honorer dituntut untuk memenuhi segala kebutuhannya; dari mulai ongkos ke sekolah hingga kebutuhan di rumah. Kondisi yang tak berimbang dengan harga-harga kebutuhan pokok yang terus naik, dari mulai harga BBM hingga tarif dasar listrik, adanya kenaikan iuran BPJS, tarif cukai rokok, tarif tol, dan tingkat inflasi yang tinggi sebagai akibat perekonomian global. Belum lagi, dampak karena pandemi COVID-19 dalam berbagai aspek kehidupan.
Beberapa waktu lalu kita melihat apa dialami oleh Hervina (34), salah seorang guru honorer yang sudah 16 tahun mengajar di SDN 169 Desa Sadar, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan (Sulsel). Ia dipecat oleh kepala sekolah hanya karena mengunggah kesaksiannya di media sosial bahwa gajinya Rp 700 ribu.
ADVERTISEMENT
Hal ini pun menunjukkan bahwa guru honorer sangat lemah dalam perlindungan profesinya. Bukankah dalam UUGD UURI Nomor 14 Tahun 2005 Pasal 30 Ayat (1), yakni alasan pemberhentian guru dengan hormat yang mungkin dapat dilakukan oleh penyelenggara pendidikan adalah guru mengundurkan diri dan putus kontrak.
Tidak ditampikkan bahwa guru yang mengalami kesulitan ekonomi dan dalam kondisi lapar tentu saja akan sulit berpikir dan bekerja dengan baik. Hal inilah yang akan terus menyulitkan dunia pendidikan kita.
Mengutip pidato saat peringatan di hari guru oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim, yang mengatakan, “Kemuliaan itu tidak boleh hanya diucapkan, perlu terwujud dalam Kesejahteraan.”
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, hari ini masih banyak guru benar-benar tidak diberi tanda jasa yang sesuai secara materil. Apa yang mereka dapatkan tak lebih dari honor yang minim dan sangat jauh dari kata sejahtera.
ADVERTISEMENT
Kesejahteraan para guru dan tenaga pendidik di Indonesia harus terus diperjuangkan menuju Guru sejahtera, Guru berkualitas dan Guru Terhormat.
Alhasil, akan memudahkan mewujudkan Generasi unggul Indonesia maju.
** Asep Totoh - Dosen Ma'soem University, Kepala HRD Yayasan Pendidikan Bakti Nusantara 666 Cileunyi Kab.Bandung