Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menjaga Kewarasan di Negara yang Menjunjung Ketidakadilan
4 Maret 2017 11:07 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:18 WIB
Tulisan dari Asmara Dewo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Foto credit: Istockfoto
Dalam menyampaikan pendapat melalui tulisan, ucapan, memang dilindungi dalam Undang-undang. Hanya saja terkadang keterusan, akibatnya tulisan atau ucapan berujung jadi hujatan. Hujatan ini pula dinilai ujaran kebencian alias hate speech. Jika sudah mengarah ke situ, bisa berujung pidana. Apalagi saat ini penegak hukum lagi galak-galaknya mengurusi soal yang seperti ini.
ADVERTISEMENT
Nah, di media sosial juga banyak ditemukan akun-akun penyebar kebencian, yang paling digemari adalah Facebook. Pelaku pada umumnya hanya tidak senang atau tidak terima ketidakadilan. Misalnya kasus penistaan agama yang terjadi. Sebagai orang kecil (awam) dan mungkin tidak memiliki pendidikan tinggi, ia pun menyampaikan pendapatnya dengan cara yang keliru.
Bisa jadi niatnya hanya mengkritik pemerintah dan penegak hukum yang tidak adil, tapi tidak tahu caranya yang benar. Akibatnya pelaku tadi berkomentar kebablasan. Atau juga yang sering beredar di media sosial berupa meme yang memancing kemarahan. Cara seperti ini memang tidak baik, jauh dari budaya timur yang menjunjung tinggi kesopanan dan menjaga kerukunan.
Orang-orang di media sosial saat ini memang sudah keterlaluan. Tidak bisa dibendung lagi. Upaya penangkapan yang dilakukan pihak kepolisian tampaknya tidak membuat jera, apalagi masalah hate speech selesai. Bahkan semakin tumbuh dan berkembang, bak cendawan di musim penghujan. Ibaratnya mati satu tumbuh seribu.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimana solusinya?
Hukuman terkadang hanya bisa membuat jera pelakunya saja, tapi tidak orang lain. Coba bayangkan ada berapa juta pengguna internet di Indonesia ini yang mungkin juga khilaf telah melakukan hate speech, atau melanggar UU ITE? Bisa jadi 80 persen dijebloskan ke penjara semua. Ini jika merunut hukum yang berlaku sekarang.
Jadi harus mencari dulu akar permasalahannya, masalah apa di negeri ini yang membuat geram netizen. Misalnya kasus penistaan agama. Nah, pemerintah dan penegak hukum harus berfungsi dalam menegakkan keadilan. Jangan pula hanya mengurusi akibatnya (netizen yang melakukan hate speech), tapi juga sumber masalahnya (oknum yang diistimewakan pemerintah dan penegak hukum).
Dengan begitu netizen pun tidak rewel, yang berujung kerugian pada dirinya sendiri. Kasihanlah orang-orang yang tidak paham masalah cara mengkritik yang baik dan benar. Kasus belakangan ini sebaiknya benar-benar jadi pelajaran bagi netizen. Agar lebih berhati-hati lagi dalam berkomentar, memposting sesuatu, baik gambar, teks, maupun video.
ADVERTISEMENT
Jika ada yang tidak setuju atau ingin menyampaikan pendapat, sampaikan dengan cara elegan, mungkin dengan tulisan. Tulisan adalah salah satu cara untuk mencapaikan pendapat atau kritikan terhadap pemerintah yang cukup baik. Jangan membabibuta komentar dengan emosi sesaat! Dangkal sekali cara bersikap demikian!
Siapa saja yang masih punya pikiran waras tentu tidak suka dengan ketidakadilan, pembodohan, dan penyesatan. Tapi apa mungkin dilawan dengan cara bodoh juga? Kan, tidak, begitu, toh? Lawanlah dengan kecerdasan! Bekali diri dulu dengan wawasan, pemahaman, dan kecerdasan untuk bertindak.
ADVERTISEMENT
Negara demokrasi Indonesia sungguh menerima kritikan, pendapat, dan keinginan dari masyarakatnya sendiri. Tidak ada negara demokrasi yang malah memenjarakan masyarakatnya kalau cuma soal kritikan. Kalau ada negara seperti itu, berarti oknumnya tidak waras. Jangan ikut-ikutan tidak waras! Jaga kesehatan jiwa dan cara berpikir dengan kritikan sehat.
Note: Note: Artikel berupa opini ini dilindungi oleh UUD 1945 Pasal 28 ayat (3) dan Undang-undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di muka umum pasal 1 ayat (1).