Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Arti Kemenangan Tsai Ing-wen bagi Reunifikasi Taiwan dan China
18 Januari 2020 11:08 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:17 WIB
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pemilihan Presiden Taiwan telah mengantarkan kemenangan yang begitu gemilang bagi Tsai Ing-wen dari Partai Demokrasi Progresif (Democratic Progressive Party) dengan perolehan suara 57.1% (setara dengan delapan juta pemilih) melawan Han Kou-yu dari Partai Kuomintang (KMT) yang hanya berhasil mendapat dukungan 38.6%, serta James Soong dari Partai People First Party (PFP) dengan perolehan suara 4.3%.
Dengan selisih suara yang begitu besar, sudah bisa dipastikan Tsai Ing-wen berhasil terpilih untuk kedua kalinya menjadi Presiden wanita pertama di Taiwan setelah sebelumnya juga memenangkan pemilu di 2016.
ADVERTISEMENT
Kemenangan Tsai memperjelas posisi tawar dan hubungan Taipei dengan Beijing di mana mereka jelas menolak proposal model pemerintahan ‘one country two system ’ atau satu negara dengan dua sistem pemerintahan. Model pemerintahan yang sama juga ditawarkan pada Hong Kong namun ditolak mentah-mentah oleh masyarakat Hong Kong.
Sementara itu, Beijing di bawah pemerintahan Xi JinPing menegaskan bahwa Hong Kong dan Taiwan adalah harga mati buat Cina, dan akan terus berada dalam kekuasaan Cina, meskipun harus melalui jalan paksa atau perang. Ancaman Xi tidak serta merta membuat Tsai gentar. Ia menegaskan segala macam bentuk intimidasi dan agresi akan dibayar dengan harga yang sangat mahal oleh Beijing.
Tsai secara jelas menyatakan bahwa masyarakat Taiwan memiliki hak untuk menentukan nasib mereka dan memilih sistem pemerintahan yang demokratis yang sudah barang tentu sangat jauh dengan model pemerintahan yang ditawarkan oleh Beijing.
ADVERTISEMENT
Strategi Politik Beijing
Strategi Beijing untuk menguasai Taiwan melalui perpanjangan tangan mereka Han Kou-yu dari Partai Kuomintang (KMT) gagal untuk meraih simpati pemilih. Meskipun pada awal Februari 2019, hasil poling menunjukkan performa Tsai tidak begitu cemerlang sedangkan Han menunjukkan popularitas yang semakin menanjak.
Meningkatnya popularitas Han ini tidak terlepas dari usaha Beijing membombardir media dengan pemberitaan yang sangat populis. Strategi yang sangat mirip dengan model yang diterapkan oleh Vladimir Putin di Rusia. Selain itu Beijing juga menuduh Tsai menggunakan taktik yang sangat kotor untuk memenangkan pemilu.
Pergerakan strategi politik dari Beijing bisa dirunut semenjak Han Kou-yu berhasil memenangkan pemilihan wali kota di Kaohsiung di 2018. Ia berusaha merebut simpati masyarakat dengan mengangkat penderitaan rakyat biasa. Pendekatan Han kadang kerap disandingkan dengan istilah ‘Taiwanese Trump ’.
ADVERTISEMENT
Namun segala upaya yang dilancarkan Han untuk memenangkan pemilihan umum gagal karena sentimen antireunifikasi China yang dimulai dari Hong Kong menyebabkan ketakutan bagi masyarakat Taiwan. Terlebih lagi posisi tawar Taiwan dalam dunia ekonomi internasional lebih besar secara diplomasi dibanding dengan China.
Ini terbukti, Taiwan tidak membutuhkan visa untuk mengunjungi sebagian besar negara di dunia yang sudah barang tentu sangat berbeda dengan China. Selain itu dari faktor produk domestik bruto kalau dihitung berdasarkan PDB per kapita perorangan tiga kali lebih besar dari China.
Terlebih lagi kondisi China dan Amerika Serikat yang sekarang terlibat perang dagang akan memukul sektor ekspor Taiwan secara besar-besaran apabila bergabung dengan Beijing.
Faktor-faktor ini yang menyebabkan Taiwan enggan bergabung dengan Beijing. Selain itu masyarakat Taiwan takut represi kebebasan berpendapat dalam lingkup berdemokrasi akan dibatasi oleh Beijing seperti yang mulai terlihat gejalanya di Hong Kong.
ADVERTISEMENT
Posisi Tawar Taiwan
Kemenangan Tsai sudah jelas menjadi preseden buruk untuk karier politik Xi Jinping. Kegagalannya untuk mempersatukan Taiwan dan Hong Kong dalam bendera yang sama memiliki kemungkinan sangat besar mengeruk citra politik Presiden Xi di depan Partai Komunis China (Communist Party of China). Akan sangat tidak mudah menggoyahkan posisi Tsai mengingat dukungan Presiden Trump yang cukup besar terhadap Taiwan.
Kemenangan Tsai memperkuat posisi kekuatan supremasi Amerika Serikat di Asia Pasifik. Dalam sejarah hubungan diplomasi Amerika Serikat dan Taiwan mengalami penguatan yang sangat besar ketika Presiden Tsai mengucapkan lewat selamat untuk Presiden Trump melalui jaringan telepon ketika terpilih di 2016 dan disambut dengan gembira oleh Potus.
Sejak pemerintahan Donald Trump, armada kapal perang Amerika Serikat kerap melakukan pelayaran di selat Taiwan. Ini jauh berbeda dibandingkan dengan pemerintahan Presiden Barack Obama dan George W Bush yang hanya satu sampai tiga kali melakukan patroli militer dalam setahun di perairan selat Taiwan.
ADVERTISEMENT
Dukungan Trump terhadap Tsai bisa menguatkan posisi tawar Taiwan terhadap China. Ini juga yang membedakan posisi politis Taiwan dengan Hong Kong.
Kendati demikian, Beijing tidak akan tinggal diam. Posisi Tsai yang sekarang yang terus-menerus mendengungkan kebebasan berdemokrasi menjadi ancaman untuk kelanggengan politik di China daratan.
Kemungkinan besar Beijing akan melakukan pendekatan yang represif terutama di bidang ekonomi dengan memblokade beberapa jalur perdagangan dengan Taiwan.
Taiwan sendiri tercatat sebagai salah satu investor terbesar di China dengan perkiraan total investasi USD 180 juta dolar dan China sendiri merupakan negara tujuan ekspor terbesar setelah Amerika Serikat dan Hong Kong dengan nilai perdagangan tercatat sebesar USD 138.4 juta di 2018.
ADVERTISEMENT
Dengan menekan Taiwan dari sektor ekonomi bisa saja memberikan beban yang sangat besar untuk sektor ekonomi.
Taiwan dalam hal ini sepertinya sudah melakukan diversifikasi perdagangan ke beberapa negara termasuk peningkatan volume ekspor ke Amerika serta pengembangan jalur perdagangan dengan negara-negara ASEAN, sehingga ketika ancaman tekanan ekonomi dari China benar-benar terjadi mereka punya posisi ekonomi yang bisa menunjang terutama dalam segi ekspor barang-barang elektronik.
Ini jelas memberikan isyarat yang sangat kuat untuk Presiden Xi Jinping untuk mengubah strategi politiknya terhadap Taiwan di masa depan.