Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Heterogenitas dan Dinamika Kepemimpinan Jokowi
14 September 2021 12:23 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Seorang peneliti dari Australia yang sekaligus mantan jurnalis Financial Times menggambarkan sosok Joko Widodo sebagai seorang pemimpin kontroversial dalam bukunya Man of Contradictions: Joko Widodo and the struggle to remake Indonesia.
ADVERTISEMENT
Bland mengklaimnya sebagai buku biografi politik pertama Jokowi dalam versi bahasa Inggris. Bukunya ditulis dengan gaya popular dan diulas dibeberapa media internasional, sekaligus dikritik habis-habisan oleh beberapa Indonesianis termasuk Thomas Pepinsky dari Cornell University, Marcus Mietzner dan Liam Gammon yang keduanya berasal dari Australia National University.
Para Indonesianis menilai Buku Bland terlalu sederhana, bahkan cenderung menyederhanakan perjalanan Jokowi sebagai pemimpin sebuah negara besar. Dilain sisi mereka juga beranggapan bahwa bukunya Bland cukup mengupas kisi-kisi politik di Indonesia, tetapi analisanya tidak mendalam serta kurang didukung oleh teori dan data empiris yang padat.
Kita bisa memahami alur pikir Bland dan bagaimana ia membangun konstruksi argumentasi pada gaya awal kepemimpinan Jokowi yang berubah-ubah seiring perjalanan karier politiknya. Perubahan itu ia konotasikan dengan sebutan ‘kontroversi’ yang membuka interpretasi beragam bagi pembaca.
ADVERTISEMENT
Saya berpendapat bahwa ‘kontroversi’ yang digambarkan oleh Bland, pada esensinya bukan hal baru untuk seorang pemimpin negara besar dan majemuk.
Heterogenitas
Negara kita dibentuk atas dasar kesatuan yang majemuk. Bentang luas wilayah dari timur ke barat yang dipisahkan oleh lautan mendukung kuatnya sekat-sekat identitas. Terdapat banyak suku, adat istiadat, budaya, bahasa lokal dan agama yang melahirkan kebinekaan serta keragaman kepentingan.
Heterogenitas tersebut kemudian dikelola dengan sistem demokrasi sehingga muncul kompleksitas di berbagai aspek. Saya mencatat ada dua hal utama yang harus kita cermati dalam melihat hubungan heterogenitas dan demokrasi.
Pertama, heterogenitas kepentingan yang tinggi membutuhkan biaya transaksi besar untuk mencapai dan mengimplementasikan kesepakatan. Selain itu, prinsip efisiensi dalam negara demokrasi majemuk memang susah untuk diterapkan.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh kalau kita menalar pembangunan infrastruktur di Papua dari kacamata ekonomi, maka kita akan menemukan ketidakefisienan (inefficient) terhadap besaran alokasi anggaran yang hanya peruntukkan untuk 4,3 juta jiwa. Namun dalam hal ini, pemerintah mendasarkan kebijakannya pada asas keadilan (equity) dan keberpihakan.
Kedua, tingginya heterogenitas kepentingan berpengaruh pada rendahnya aksi kolektif pada masyarakat. Aksi kolektif secara sempit kerap diasosiasikan dengan gotong royong antar masyarakat yang kemudian menjadi modal intangible. Sedangkan secara luas, aksi kolektif merujuk pada cita-cita dan tujuan kita sebagai satu negara kesatuan. Ini membutuhkan kerja sama dari seluruh stakeholder yang terlibat baik di tingkat daerah dan pusat, dari level elite, pelaku usaha sampai akar rumput.
Kerja sama yang rendah dalam pengartian luas antar pemangku kepentingan berdampak pada rendahnya aksi kolektif pada masyarakat. Penyebab utamanya terletak pada rendahnya tingkat kepercayaan pada pengambil kebijakan. Disinilah pentingnya pembentukan kelembagaan inklusif berkualitas di pusat dan daerah, seperti yang digambarkan oleh ekonom Daron Acemoglu dan James Robinson.
ADVERTISEMENT
Dinamika Politik
Usaha untuk mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam bernegara yang melibatkan semua pihak berpengaruh pada peliknya situasi politik. Kompleksitas tersebut mewarnai dinamika politik di Indonesia.
Menurut saya, inilah yang hilang dari penggambaran Bland terhadap gaya kepemimpinan Jokowi.
Ia melewatkan aspek heterogenitas yang berhubungan erat dengan keragaman dan dinamika politik di Indonesia.
Untuk memahami hal tersebut, mari kita lihat politik di Indonesia dari perspektif teori permainan (game theory).
Menurut Guillermo Owen dalam bukunya Game Theory, Teori Permainan sering digunakan untuk menganalisasi strategi interaksi antar pemain, dimana satu keputusan akan mempengaruhi aksi dari aktor lain dan begitu pun sebaliknya.
Dalam konteks keputusan politik, satu kebijakan publik bisa saja menciptakan dinamika politik dan satu dinamika politik bisa menghasilkan kebijakan publik. Contohnya adalah kebijakan pemerintah tentang Omnibus law yang pada awalnya mengiring ke beragamnya reaksi politik namun kemudian mencapai arah kesepakatan.
ADVERTISEMENT
Contoh lain adalah pandemi Covid-19 di awal bulan Maret 2020, membentuk polarisasi politik baik dalam skala nasional dan internasional. Secara nasional pemerintah memutuskan untuk membuat kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Dan untuk skala internasional, pemerintah harus membatasi kunjungan dari beberapa negara untuk mencegah penyebaran Covid-19. Keputusan-keputusan tersebut tidak diambil secara sepihak oleh presiden, namun melalui pertimbangan dan kesepakatan politik dengan aktor lainnya.
Kesepakatan politik juga berkaitan dengan dukungan suara di parlemen. Jadi pemerintah (Jokowi) tidak hanya membutuhkan sokongan dari masyarakat tetapi juga dukungan kekuasaan dari partai politik.
Hubungan dukungan kekuasaan ini kerap dimaknai negatif sebagai politik akomodasi. Kendati, demikian ketika kita memahami politik dari sudut pandang teori permainan, maka tujuan utama yang ingin dicapai adalah kekuasaan dan kemenangan.
ADVERTISEMENT
Kemenangan tersebut bisa bertahan apabila riak konflik bisa diredam, karena hampir tidak mungkin melakukan pembangunan tanpa stabilitas politik. Ini menyebabkan para pemain/stakeholder mengikuti aturan main dengan strategi berbeda untuk mencapai titik kesepakatan.
Dinamika politik ini kemudian di orkestrakan oleh para pemain politik statis namun dalam ruang lingkup yang dinamis. Kondisi ini kerap menyebabkan perubahan kebijakan yang di interpretasikan oleh sebagian orang sebagai sebuah ‘kontradiksi’.
Kontradiksi ini bisa dimaknai dalam artian negatif (tidak konsisten) atau positif (menjaga stabilitas).
Bland sendiri berpendapat bahwa ‘kontradiksi Jokowi’ tidak selalu merujuk pada sesuatu yang negatif.
Semua itu tergantung dari sudut padang individu itu sendiri. Kalau kita menganalisis dari beberapa pemimpin besar dunia, mulai dari Donald Trump, Pangeran Muhammad bin Salman, sampai Borish Johnson, mereka tidak terlepas dari keputusan politik kontradiktif. Ini membuktikan bahwa kontradiksi itu merupakan hal yang lumlah dalam politik.
ADVERTISEMENT