Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Tsunami Utang: How Much Is Too Much?
31 Januari 2021 13:58 WIB
Tulisan dari Asmiati Malik PhD tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Utang pemerintah Indonesia per November 2020, sudah mencapai Rp5.910,64 triliun. Dengan demikian rasio utang pemerintah setara dengan 38,13 persen terhadap GDP. Secara sederhana kita sudah meminjam 38 persen dari keseluruhan pendapatan kita. Dari total utang tersebut 83,9 persen berupa Surat Berharga Negara (SBN) yang setara dengan Rp5.085,04 triliun dan 16.1 persen atau Rp85,59 triliun dari pinjaman.
ADVERTISEMENT
Untuk mengatasi disrupsi ekonomi akibat pandemi COVID-19, pemerintah mengambil langkah upsizing penerbitan SBN selama tahun 2020.
Dari angka tersebut memang terkesan sangat besar, bahkan mungkin muncul di benak kita, "itu uang semua yak!" Namun demikian, sebenarnya angka tersebut biasa-biasa saja, kalau kita bandingkan dengan perolehan utang dari negara-negara lain di dunia.
Malah kalau kita bandingkan dengan negara maju seperti misalnya Jepang rasio utangnya sudah melebihi dari 238 persen dari GDP, Singapura 112 persen, USA 106 persen, China 50.5 persen dan Korea Selatan 37.7 persen. Sementara untuk negara berkembang seperti Malaysia rasio utangnya bahkan lebih besar yaitu 51,2 persen. Ini berarti bahwa utang pemerintah merupakan hal yang biasa saja.
Utang menjadi salah satu topik yang tabu sekaligus tidak nyaman untuk diperbincangkan baik itu dari segi persepsi sosial sampai pandangan kaum religius. Masyarakat kerap mempersepsikan utang sebagai beban sosial ekonomi yang menunjukkan yang berutang adalah orang kurang mampu dan tidak jarang menjadi aib. Sedangkan dari persepsi religius kadang diperkarakan dalam kategori riba slash tabu slash menjadi budak dari utang.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, tidak sedikit juga masyarakat yang melihat utang hanya sebagai alat untuk mendongkrak kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mereka, mulai dari cicilan rumah, mobil, sampai cicilan panci dan daster.
Bahkan data tahun 2014 menunjukkan 60 persen dari total penduduk Indonesia memiliki hutang di lembaga perbankan dan nonperbankan. Jadi sebenarnya utang bukanlah hal yang aneh ataupun tabu karena lebih dari setengah penduduk Indonesia berutang. Begitupun kondisinya dengan negara-negara di dunia yang hampir sebagian besar berhutang untuk memenuhi dan meningkatkan kemampuan perekonomian mereka.
Tentu saja bebas utang memang merupakan salah satu konsep ideal suatu negara. Namun konsep ideal itu tidak dialami oleh satu negara pun di dunia. Bahkan negara yang kaya sumber daya alam pun seperti Brunei Darussalam masih memiliki utang. Jadi saya berkeyakinan bahwa negara yang zero persen utang merupakan hal yang utopis.
ADVERTISEMENT
Tsunami Utang
Institute for International Finance mengemukakan fakta bahwa pandemi Covid telah memaksa banyak negara untuk menaikan level utang mereka. Tercatat utang global sudah mencapai US$272 triliun pada kuartal ketiga tahun 2020. Mereka mengasosiasikan ini dengan ‘Tsunami Utang’. Angka ini diprediksi mencapai US$277 pada akhir tahun 2020. Ini merepresentasikan 365 persen dari total rasio GDP dunia. Defisit keuangan dunia diperkirakan mencapai 8.5 persen dari total GDP dunia berdasarkan dari proyeksi IMF.
Pemerintah yang tidak memiliki cadangan keuangan cukup terpaksa harus berutang untuk memberikan ruang cukup bagi ekonomi untuk tetap berjalan. Tidak hanya pemerintah yang berhutang, perusahaan juga terpaksa harus berhutang untuk memastikan bisnis mereka tetap bisa berjalan. Sementara itu, 60 persen dari rumah tangga di indonesia juga mengalami masalah keuangan selama pandemi COVID-19. Jadi memang masalah utang selama pandemi COVID-19 menimpa hampir semua aspek baik itu keuangan negara, swasta dan rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Kalau kita belajar dari sejarah, krisis finansial pada selama tahun 2007 telah memaksa pemerintah untung berutang secara besar-besaran. Di negara-negara maju selama krisis finansial telah memaksa utang pemerintah naik dari 74 persen ke 105 persen dan sementara untuk negara berkembang dan pendapatan menengah naik dari 35 persen ke 48 persen selama satu dekade setelah krisis. Kenaikan jumlah utang yang luar biasa ini menyebabkan kegelisahan bagi banyak pihak.
Ini kemudian menyebabkan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan penghematan atau austerity policy. Akademisi yang mendukung pendekatan penghematan biasa lekat dengan ‘Austerians’. Istilah ini pertama kali di munculkan oleh Rob Patenteau dari Levy Economics Institute. Pendekatan Austerians juga kerap dikategorikan dalam mazhab Austrian yang dipioniri oleh Friedrich Hayek dan Ludwig von Mises.
Austerity policy secara sederhana adalah adalah kebijakan fiskal pemerintah untuk mengontrol utang publik. Setidaknya ada tiga model kebijakan penghematan yang bisa ditempuh termasuk meningkatkan pendapatan negara melalui peningkatan pajak, menurunkan pajak dan belanja pemerintah dan model ketiga adalah menaikkan tarif pajak dan melakukan efisiensi pada belanja pemerintah yang tidak terlalu penting. Model ini juga bisa dikenal dengan the Angela Merkel Model. Negara yang kerap dijadikan case untuk menganalisis kebijakan austerity adalah Amerika Serikat, Inggris, Jerman dan Yunani.
Pemenang Nobel Prize dibilang ekonomi Paul Krugman salah satu tokoh yang mengkritik pendekatan austerity untuk memulihkan ekonomi. Krugman melihat kebijakan untuk menekan belanja pemerintah akan menyebabkan naiknya angka pengangguran. Pandangan Krugman sama dengan John Maynard Keynes yang melihat untuk memperbaiki perekonomian sebaiknya jangan dilakukan dengan mengurangi belanja pemerintah, namun, sebaliknya dengan menaikkan belanja pemerintah untuk menjaga perputaran ekonomi tetap berjalan bahkan di percepat akselerasinya. Tapi dengan mengandalkan kebijakan ini, berpotensi untuk menaikkan batas utang pemerintah.
ADVERTISEMENT
Dalam kondisi ekonomi yang sulit seperti ini, pemerintah akan dihadapkan pada kerumitan kebijakan untuk pemulihan ekonomi. Kita melihat utang kita bertambah selama pandemi COVID-19, namun hal yang sama juga terjadi pada negara lain. Oleh karena itu, semangat untuk membangun dan bangkit bersama harusnya menjadi pembeda agar pemulihan ekonomi cepat berjalan. Tentunya dengan menjaga 3M dan 3T agar penyebaran COVID-19 bisa ditekan dan mempercepat ke fase ekonomi normal.
Artikel ini khusus saya tulis untuk menyambut Ulang Tahun kumparan yang ke 4. Semoga selalu sukses berkarya untuk bangsa dan negara.
Jakarta, 31 Januari 2021
Asmiati Malik