Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Perjuangan Melayu Raya
3 Juni 2023 20:42 WIB
·
waktu baca 11 menitTulisan dari Asro Kamal Rokan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Hampir semua petinggi dari Kesultanan dan Kepala Masyarakat Adat Melayu se-Sumatera Timur hadir, di antaranya perwakilan Sultan Deli, Sultan Asahan, Sultan Langkat, Sultan Serdang, Bilah, Panei, Kuwaluh, Kota Pinang, dan Batu Bara. Juga Majelis Adat Budaya Melayu (MABMI), Ikatan Sarjana Melayu Indonesia (ISMI), Himpunan Keluarga Besar Masyarakat Kabupaten Batu Bara (Hikabara), Laskar Hang Tuah, sampai para Guru Besar asal Melayu.
Tentu juga Gubernur Sumatera Utara, Edy Rahmayadi . Gubernur Edy menyebutkan, silaturahim ini menjadi pengingat, bahwa Melayu itu adalah suku yang besar. “Juga sangat bagus untuk evaluasi kita, bahwa suku Melayu itu, suku yang ikut serta memerdekakan republik ini,” ujarnya, (Waspada.id, 29 April 2023).
Silaturahim ini, menurut Ketua panitia kegiatan, Datuk Razuar Yahya, bertujuan mempererat dan membangkitkan kembali semangat kaum Melayu, yang sejak zaman dulu sudah ada. “Namun setelah pembantaian 1946, bangsa Melayu menjadi minder,” ujarnya.
ADVERTISEMENT
Pembantaian 1946
Sisa kejayaan Kesultanan Melayu sebelum Indonesia merdeka, masih dapat dilihat hingga kini, di antaranya Istana Maimoon dan Masjid Raya di Medan, serta berbagai istana dan masjid di Langkat, Asahan, dan sejumlah daerah Sumatera Timur. Bangunan bersejarah tersebut saksi bisu sejarah kebesaran Puak Melayu.
Namun, pada Maret 1946, “Revolusi Sosial”—lebih tepat disebut pembantaian—pecah. Sejumlah Sultan dan keluarganya dibunuh, diperkosa, dan harta mereka dijarah. Pujangga Baru Tengku Amir Hamzah—nama lengkapnya Tengku Amir Hamzah Pangeran Indra Putra—dan keluarganya dari Kesultanan Langkat, diculik dan dibunuh, 20 Maret 1946. Kepala dan tubuh penyair besar itu ditemukan terpisah. Pembantaian keji dilakukan faksi PKI.
Tragedi kemanusiaan juga terjadi di Kesultanan Asahan. Keluarga kesultanan dibunuh. Seratus lima puluh jiwa bangsawan Asahan hilang, Jasad mereka dibenam secara massal di Sungai Lendir-Asahan. Sedangkan lima orang bangsawan Batu Bara hilang dan tak dapat ditelusuri jenazahnya. Pembantaian disusul di tempat-tempat lain di Kota Pinang, Bilah Kuwaluh, Labuhan Bilik, Simalungun, dan Tanah Karo.
ADVERTISEMENT
Para peneliti Cornell University, AS, George McTurnan Kahin dari dalam buku Nationalism and Revolution in Indonesia, menyebutkan “Revolusi Sosial” ini dipicu oleh gerakan kaum komunis, yang hendak menghapuskan sistem Kesultanan dengan alasan antifeodalisme.
Sejak itu, Kesultanan di Sumatera Timur, pelan-pelan berakhir.
Nasionalisasi Kebablasan
Pembantaian keluarga Kesultanan Melayu pada Maret 1946, tidak saja menghilangkan hegemoni kekuaasan Kesultanan Melayu, tetapi juga diikuti penjarahan dan pengambilalihan aset kekayaan Kesultanan Melayu. “Penjarahan aset-aset Kesultanan tidak berhenti saat tragedi Maret 1946, tapi berlanjut dengan nasionalisasi melalui UU No. 86 Tahun 1958,” ujar Prof OK Saidin SH. MHum di Medan, Ahad (21/5).
Menurut Guru Besar Fakultas Hukum USU ini, nasionalisasi dapat dipahami, namun untuk Kesultanan Melayu, justru kebablasan. Nasionalisasi seharusnya dilakukan pada aset-aset perusahaan Belanda, tidak termasuk tanah, karena tanah-tanah tersebut milik pribumi yang dikontrak melalui Akta Konsessi. Tanah-tanah eks perkebunan Belanda itu kemudian oleh pemerintah dijadikan perkebunan, yang kini milik BUMN. Sebagian lain berpidah tangan menjadi milik perkebunan swasta, hotel, pusat perbelanjaan, dan perumahan mewah.
ADVERTISEMENT
Pada 1998-2005, OK Saidin dan OK Edy Ikhsan—ketika itu keduanya dosen Fakultas Hukum USU—menelusuri dokumen sejarah kepemilikan tanah-tanah eks konsesi perkebunan Belanda yang berasal dari Kesultanan Melayu Sumatera Timur. Hasil penelusuran membuktikan, tanah-tanah yang kini berpidah tangan tersebut adalah tanah milik Kesultanan Melayu di Sumatera Timur, berdasarkan Acte van Concessie.
Dalam Acte van Concessie itu disebutkan bahwa tanah-tanah tersebut dikontrakkan oleh Sultan pada Onderneming (Perkebunan) Belanda dan sebagian lain dikontrakkan pada perkebunan asing di antaranya perusahaan Inggris, Swiss, Belgia, Jerman dan Amerika, juga kepada pribadi-pribadi warga Jerman, Belgia dan Belanda.
“Kami memiliki dokumen bukti kepemilikan tanah para Sultan di Sumatera Timur dari National Archief di Den Haag dan sebagai dari Arsip yang tersimpan di Koninklijk Instituut voor Taal, Land-en Volkenkunde (KITLV) di Leiden,” ujar OK Saidin, yang kini Kaprodi Magister Ilmu Hukum USU.
ADVERTISEMENT
Meski bukti-bukti legal sudah dimiliki, namun persoalan tanah eks konsesi belum selesai, belum kembali pada pemiliknya Kesultanan Sumatera Timur. Bahkan, situasi semakin rumit setelah Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan BUMN berakhir pada 2000. Rakyat penggarap mengeklaim tanah-tanah tersebut merupakan miliknya. Penggarapan ini berujung kerusuhan berdarah.
Menurut catatan Kontras Sumatera Utara (Kontras, dalam Adnin, Herdensi, Lahan Eks HGU PTPN II dan Masalah Konflik Agraria di Sumatera Utara, Sintesa, 20 Januari 2012 ), selama kurun waktu 2011-2014 terdapat 33 kasus konflik di atas lahan PTPN 2, yang menewaskan enam orang dan 173 mengalami luka-luka. Kontras juga mencatat selama kurun waktu itu terdapat 64 kali peristiwa kriminalisasi.
Pada 6 Maret 2001, terjadi bentrok penggarap dengan pihak PTPN 2 di Batang Kuwis. Bangunan, gubuk, tananaman palawija milik penggarap, musnah dibakar. Dua orang mengalami luka bacok. Surat kabar-surat kabar terbitan Medan, pada 10 Maret 2001, memberitakan bentrok, yang melibatkan aparat keamanan.
ADVERTISEMENT
Beberapa anggota Forum Pembebasan Tanah Ulayat Masyarakat Melayu Sumatera Timur (Forum Peta Umat) ditahan di Polres Deli Serdang dengan tuduhan kerusuhan dan pembakaran bangsal. Tengku Nurdin—ayahanda Gubsu Tengku Rizal Nurdin) yang saat itu Kasdam I Bukit Barisan—dan OK Saidin, menemui Kapolri di Jakarta menyoal aksi penahanan itu. Selanjutnya, atas bantuan hukum Pengacara Prof Mariam Darus di Jakarta, masyarakat Melayu yang sudah ditahan lebih satu minggu itu dibebaskan.
Forum Peta Umat didirikan tokoh-tokoh Melayu, di antaranya Tengku Luckman Sinar, pada 1999. Ketuanya saat itu Bachtiar Djafar, sekretarisnya, OK Saidin. Forum Peta Umat lahir bertolak dari terbitnya Surat Keputusan Menteri Agraria/Kepala BPN No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
ADVERTISEMENT
Untuk menuntut hak-haknya, Peta Umat dan tokoh-tokoh Melayu Sumatera Timur berkumpul. Mereka antara lain berasal dari Kesultanan Deli, Bilah, Panai, Kuwaluh, Asahan, Batu Bara, Kerajaan Negeri Padang, Bedagei, Serdang, dan Asahan. Pertemuan sepakat melakukan tuntutan pemulihan hak-hak atas tanah mereka yang hilang atas kebijakan negara yang keliru menasionalisasikan tanah-tanah milik pribumi, milik Puak Melayu.
Pada Kamis (22 Juni 2000) Forum Peta Umat melakukan aksi damai, diikuti lebih dari 200 tokoh Masyarakat Melayu dari Kesultanan Melayu Sumatera Timur. Aksi jalan kaki dengan pengikat kepala berpita warna putih, bergerak dari Istana Maimoon, Kantor DPRD Tk I Sumatera Utara, dan berakhir di Kantor Gubernur. Mereka diterima oleh Wakil Gubernur Sumatera Utara, Wahab Dalimunthe, SH. Ada beberapa tuntutan yang mereka sampaikan, antara lain Pemerintah memberikan pengakuan, kompensasi, dan penghargaan terhadap keberadaan hak ulayat masyarakat Melayu Sumatera Timur.
ADVERTISEMENT
Tuntutan itu direspons baik Pemerintah Provinsi Sumut dengan membentuk Tim Penyelesai tanah yang dikenal dengan Tim-B Plus. Setelah itu terbitlah SK BPN No.42/43/44 Tahun 2002 dan SK BPN No.10 Tahun 2004. Dari SK tersebut, total lahan-lahan eks HGU PTPN 2 yang tidak diperpanjang 5.873,06 hektare, termasuk di dalamnya persetujuan pemberian penghargaan kepada masyarakat Melayu Sumatera Timur seluas 450 Ha di Wilayah Kabupaten Deli Serdang, Kota Binjai, dan Kabupaten Langkat.
Lahirnya Yayasan Melayu Raya
Ketika tanah eks HGU PTPN 2 itu akan diberikan kepada Forum Peta Umat, terdapat kesulitan untuk menentukan subjek hukumnya. Muncul usulan agar badan yang menerima itu bukan organisasi Peta Umat atau organisasi kemasyarakatan seperti MABMI, ISMI, dan Kelompok Masyarakat Adat lainnya. Atas usul Prof. Maryam Darus, dibentuk suatu lembaga yang berbadan hukum. Lalu disepakati, badan hukumnya berbentuk Yayasan. Maka lahirlah Yayasan Melayu Raya di hadapan Notaris Wilfrid Panggabean, SH, SpN dengan Akte Nomor 03 pada 20 Maret 2003.
ADVERTISEMENT
Dewan Pembina Yayasan sebagai representatif dari pemilik adalah para Sultan yang yang masih eksis di Sumatera Timur, yaitu Sultan Deli, Sultan Langkat, Sultan Asahan, dan Sultan Serdang. Kepala Masyarakat Adat lainnya ditempatkan dalam struktur Pengurus dan Pangawas. Awal didirikan, yayasan ini diketuai Tengku Yose Rizal. Saat ini Ketua Yayasan Melayu Raya adalah Prof OK Saidin.
Dewan Pembina—yang sekaligus pemilik—adalah Tuanku Ahmad Thala’a (Sultan Serdang), Sultan Serdang Drs. Tuanku Ahmad Tala'a, Pemangku Sultan Deli Tengku Hamdy Osman Delikhan Alhaj Gelar Tengku Raja Muda Deli, Sultan Langkat Tengku Azwar Azis Abdul Djalil Rahmatsyah, dan Sultan Asahan Tengku Abraham Abdul Djalil Rahmatsyah. Sultan Asahan pula yang memberi Gelar Datuk kepada Gubsu Edy.
Jadi, Yayasan Melayu Raya tidak tiba-tiba berdiri dalam memperjuangkan hak-hak puak Melayu. Ini perlu diketahui Gubernur Edy Rahmayadi. Sebab, menurut OK Saidin, dalam berbagai kesempatan Gubsu mempersoalkan Yayasan Melayu Raya. “Jika Gubsu tidak mengenal Melayu Raya, dapat diartikan Gubsu tidak mengenal Melayu Sumatera Timur,” ujar OK Saidin dalam nada tinggi.
ADVERTISEMENT
Ketua Yayasan Melayu Raya itu menduga, ketidaktahuan Gubsu tentang Melayu Raya mungkin karena Gubsu tidak membaca sejarah panjang gerakan tokoh-tokoh Melayu, termasuk kelahiran Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) pada 1953 di Istana Maimoon, yang diketuai Ustaz Abdul Kadir.
“BPRPI lahir sebagai perlawanan terhadap pengambilalihan hak-hak atas tanah suku Melayu di atas lahan-lahan perkebunan yang berasal dari Konsesi Kesultanan Deli, Langkat dan Serdang,” ujar OK Saidin.
Begitu pula sejarah berdirinya Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia MABMI) yang diprakarsai Jenderal Achmad Tahir, Tengku Amin Ridwan, Tuanku Sultan Azmi Perkasa Alam, Tengku Nurdin, Prof.Bahauddin Darus, dan lain-lain.
“Ada tiga peristiwa besar perlawanan Puak Melayu, yang saling terkait pasca Revolusi Sosial 1946 dan nasionalisasi kebablasan, yakni pembentukan MABMI, berdirinya Yayasan Universitas Tengku Amir Hamzah, dan berdirinya Yayasan Melayu Raya,” tegas OK Saidin. Kelahiran Yayasan Melayu Raya bahkan ditandatangani semua Kesultanan Melayu Sumatera Timur.
ADVERTISEMENT
Menurut OK Saidin, sangat naif jika Gubsu Edy ingin mempersatukan Melayu dan membangun peradaban Melayu—seperti yang disampaikannya dalam acara forum Halal bihalal—tanpa mengetahui perjalanan sejarah dan perjuangan Yayasan Melayu Raya.
Perjuangan Puak Melayu untuk mendapatkan haknya, sempat memperlihatkan titik cerah ketika Badan Pertanahan Nasional (BPN) menerbitkan SK No.42/HGU/BPN/2002 dan SK No.10/HGU/BPN/2004. BPN mengalokasikan seluas 5.873 Ha, juga mengalokasikan lahan, antara lain kepada masyarakat, pensiunan karyawan, rencana tata ruang, pengembangan wilayah kabupaten/kota, dan pengembangan Universitas Sumatera Utara.
Masyarakat Adat Melayu, melalui Yayasan Melayu Raya—yayasan yang dibentuk para Sultan Sumatera Timur, yang secara mutatis mutandis adalah pemilik tanah—memperoleh lahan seluas 450 ha. Jumlah ini tentu kecil dibanding seluruh luas tanah Kesultanan yang dikontrak perusahaan Belanda berdasarkan Akta Konsesi. Namun Yayasan Melayu Raya dapat menerima dengan ikhlas.
ADVERTISEMENT
Selesai? Belum. Menurut OK Saidin, hingga saat saat ini pendistribusian kepada Yayasan Melayu Raya tidak juga direalisasikan. Gubernur Edy Rahmayadi, justru membatalkan Keputusan Gubernur Ery Nurhadi, Nomor 181.1/13294/0017 perihal Daftar Nominatif Usul Penghapusbukuan Tanah Bekas HGU PTPN 2 pada 21 Desember 2017.
Menurut OK Saidin, pembatalan ini bermula dari gugatan PT Surya Mas Deli Kencana di PTUN terhadap 200 ha tanah di Desa Sena Kecamatan Batang Kuis, Deliserdang, Januari 2019. PT Surya Mas Deli menang. Sampai di sini, tidak ada masalah karena lahan yang diperuntukkan pada Masyarakat Melayu dan pihak-pihak yang berada dalam daftar nominatif, tidak termasuk dalam gugatan tersebut.
“Seharusnya, Gubsu mengeluarkan 200 hektare lahan yang dimenangkan PT Surya Mas Kencana, setelah itu buat SK pengganti meneruskan SK Gubernur sebelumnya. Ini malah aneh, Gubsu tidak mengeluarkan SK pengganti hingga kini. Saya tidak tahu penyebabnya,” ujar OK Saidin.
ADVERTISEMENT
Setelah pembatalan Surat Keputusan itu, lanjut OK Saidin, Gubsu membentuk Tim Verikasi dan Identifkasi untuk penerbitan SK nominatif baru. Sejak Desember 2020 sampai Desember 2021, tercatat sudah 502,3 Ha diterbitkan SK Nominatif. Jumlah kelompok yang mendapatkan lahan eks HGU, semakin panjang, di antaranya sejumlah lembaga dan perorangan. Anehnya tidak termasuk Yayasan Melayu Raya.
“Nasib lahan untuk Yayasan Melayu Raya sebagai representatif Masyarakat Melayu, tidak jelas hingga kini,” tegas OK Saidin, yang menambahkan, “Yayasan Melayu Raya itu didirikan oleh Sultan Deli, Sultan Langkat, Sultan Asahan, dan Sultan Serdang, pemilik sebagaian lahan-lahan Perkebunan yang dikuasai oleh BUMN yang ada di Sumatera Utara.”
Persoalan tidak berhenti di sini. OK Saidin dalam tulisannya di kumparan,com, 9 April 2023, berjudul “Antan Patah Lesung pun Hilang (Bagian 2), menyebutkan, untuk mendapatkan haknya atas lahan 450 ha eks HGU, PTPN 2 mensyaratkan Masyarakat Adat Melayu membayar uang penghapusbukuan yang nilainya tidak tanggung-tanggung.
ADVERTISEMENT
“Masyarakat Adat Melayu diwajibkan melakukan pembayaran pada PTPN2. Butuh sekitar Rp 450 miliar . Ini tentu aneh, HGU kan sudah berakhir lebih 20 tahun lalu. Tak jelas lagi antara Hak Milik dengan HGU, aktiva tetap dengan aktiva lancar. Ini tidak saja bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria, terkait jangka waktu Hak Guna Usaha, tapi juga termasuk pada dugaan penyalahgunaan kewenangan,” tulis OK Saidin.
Menurutnya, HGU yang sudah berakhir tak menimbulkan kewajiban bagi pemohon hak berikutnya untuk melakukan pembayaran kepada pemegang hak sebelumnya. “Jika mereka tidak mengubah, kebijakan ini berpotensi korupsi, memperkaya perusahaan dengan mengambil dana pihak ketiga secara tanpa hak. Soal alasan penghapusbukuan, itu adalah urusan internal pihak PTPN 2, tidak boleh mengikat pihak ketiga,” tulis OK Saidin.
ADVERTISEMENT
Bagi Masyarakat Melayu, tulis OK Saidin, seharusnya tak ada lagi penilaian apa pun, sebab lahan yang akan diberikan itu sejak awal sudah disepakati bersih dari garapan rakyat. Subjeknya juga clear yakni yayasan yang dibentuk seluruh Sultan se Sumatera Timur.
Saat Halal bihalal 1444 H di Aula Tengku Rizal Nurdin, Medan, Sabtu (29/4), Gubsu Edy Rahmayadi, dengan sangat baik menjelaskan peran kerajaan atau kesultanan Melayu Sumatera Timur dalam kemerdekaan Indonesia dan perkembangan peradaban masyarakat. “Saya ingin semua Kesultanan Melayu ini, mulai dari Langkat sampai ke Labuhan bersatu dan saling menguatkan,” ujar Gubernur.
Gubsu Edy juga telah merencanakan pakaian khas Melayu, Teluk Belanga dan Baju Kurung bisa dijadikan seragam bagi pegawai setiap satu hari dalam sepekan. Sehingga budaya Melayu tetap lestari hingga masa mendatang, (Waspada.id, 29 April 2023).
ADVERTISEMENT
Tentu saja niat Gubsu ini baik. Tapi akan lebih terhormat apabila Gubsu Edy menyelesaikan hak-hak Puak Melayu yang sudah lebih 20 tahun terhambat dan tanpa kejelasan. Tidakkah, dengan menyelesaikan hak-hak sah Puak Melayu Sumatera Timur itu, Gubsu akan dihormati sebagai tokoh yang memuliakan Kesultanan Melayu Sumatera Timur.
Gubernur hanya melanjutkan keputusan Gubsu sebelumnya. Jadi, di mana susahnya?