Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Mengatasi Polusi Tekstil: Potensi Bunga Lokal sebagai Pewarna Alami
28 Juli 2024 9:47 WIB
·
waktu baca 3 menitTulisan dari Astrid Gultom tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Industri tekstil adalah salah satu sektor terbesar di dunia. Seiring dengan meningkatnya permintaan dari masyarakat, produksi barang tekstil terus bertambah. Hal ini menyebabkan jumlah pabrik tekstil dan limbah air yang dihasilkan juga meningkat, sehingga menciptakan masalah polusi yang serius di banyak negara. Industri ini menyerap sekitar dua pertiga dari total permintaan pewarna, dan sekitar 10-15% dari pewarna yang digunakan berakhir di limbah air selama proses pewarnaan. Dengan lebih dari satu juta jenis pewarna sintetis yang diproduksi setiap tahun, total produksinya mencapai sekitar 700.000 ton. Bank Dunia memperkirakan bahwa sekitar 20% polusi air industri global berasal dari pengolahan limbah dan pewarnaan tekstil. Ini menjadikan industri tekstil sebagai penyebab polusi terbesar kedua di badan air tawar setelah pertanian.
ADVERTISEMENT
Masalahnya, pembuangan limbah sering kali tidak diatur atau diawasi dengan baik, sehingga banyak perusahaan besar dan pemilik pabrik tidak bertanggung jawab. Banyak pewarna sintetis, seperti pewarna dispersi, reaktif, asam, dan azo, digunakan dalam industri tekstil. Pewarna azo, misalnya, populer karena bisa digunakan pada suhu lebih rendah dan menghasilkan warna yang lebih pekat. Namun, beberapa pewarna ini dapat menghasilkan zat berbahaya, seperti amina aromatik, yang berpotensi karsinogenik dan dapat mencemari air serta membahayakan kesehatan manusia.
Belakangan ini, ada gerakan yang semakin kuat untuk menggantikan pewarna sintetis dengan alternatif yang lebih ramah lingkungan. Banyak perusahaan tekstil mulai beralih ke pewarna alami yang lebih aman dan berkelanjutan, seperti indigo, kunyit, dan cochineal. Pewarna alami ini tidak hanya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan, tetapi juga menawarkan variasi warna yang unik dan kaya.
ADVERTISEMENT
ntuk mendukung gerakan ini, mari kita lihat potensi tanaman lokal Indonesia. Dengan keanekaragaman flora dari Sabang hingga Merauke, Indonesia memiliki banyak tanaman yang bisa digunakan sebagai pewarna alami. Salah satunya adalah Bunga Telang (Clitoria ternatea).
Bunga ini, yang dikenal dengan warna birunya yang khas, efektif digunakan sebagai pewarna tekstil.
Bunga ini, yang dikenal dengan warna birunya yang khas, efektif digunakan sebagai pewarna tekstil. Proses ekstraksi dilakukan pada suhu 80℃ selama 180 menit dengan pH 4, dan hasilnya bisa stabil dan cerah, terutama dengan tambahan mordan seperti ekstrak lemon. Bunga Telang mudah tumbuh di berbagai jenis tanah di Indonesia dan juga digunakan dalam makanan dan minuman, seperti pewarna ketan di Malaysia dan bahan makanan di India serta Filipina. Karena aman dan berkelanjutan, Bunga Telang adalah alternatif yang menarik untuk menggantikan pewarna sintetis.
ADVERTISEMENT
Bukan hanya itu, terdapat pula Bunga Hati Ungu (Tradescantia pallida).
Bunga Hati Ungu (Tradescantia pallida) memiliki antosianin yang memberikan warna ungu. Namun, warna ini kurang stabil selama pengolahan dan penyimpanan. Untuk meningkatkan kestabilan warna, teknik kopigmentasi digunakan. Teknik ini melibatkan pencampuran antosianin dengan bahan lain, seperti katekol, untuk melindungi dan memperkuat warna. Penelitian menunjukkan bahwa rasio kopigmen yang optimal dapat meningkatkan efektivitas pewarnaan, menjadikan Bunga Hati Ungu sebagai pilihan potensial untuk pewarna alami yang tahan lama. Dengan memanfaatkan kedua tanaman ini, kita dapat mengurangi ketergantungan pada pewarna sintetis dan mendukung praktik industri yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.