Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Pandemi, Vaksin dan Miskonsepsi
29 November 2021 16:28 WIB
Tulisan dari Asyari Muhammad Fahmi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pandemi bukanlah hal yang baru bagi penduduk dunia. Pandemi dengan waktu lama yang sedang kita lewati ini ternyata pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan data Bagian Mikrobiologi FK UI, pada tahun 1347 hingga 2015 banyak pandemi yang disebabkan oleh virus, rata-rata berjenis virus flu. Tingkat kematiannya pun beragam. Kejadian pandemi yang paling dekat sebelum pandemi COVID-19 adalah pandemi yang disebabkan virus SARS dan MERS. SARS merupakan virus flu yang berasal Tiongkok dan menyebar pada tahun 2002. Virus ini berasal dari kelelawar yang menyebabkan kematian sekitar 770.000 orang. Pada tahun 2015, virus MERS menyebar hingga lebih ke 20 negara dan menyebabkan sekitar 850.000 kematian di seluruh dunia. Namun, Indonesia tidak terlalu terdampak dengan pandemi tersebut.
ADVERTISEMENT
Pemerintahan Hindia Belanda mencatat bahwa Spanish Flu tahun 1918-1920 menyebar hingga Indonesia. Area Jawa Timur termasuk area yang paling banyak terdampak pandemi tersebut sehingga tingkat kematiannya sangat tinggi.
SARS-CoV-2 merupakan virus yang bermateri genetik RNA. Virus golongan ini lebih mudah untuk melakukan mutasi karena RNA polymerase tidak memiliki kemampuan proof reading yang baik. Sejak tahun 2019, SARS-CoV-2 memang sudah banyak mengalami mutasi terutama pada daerah spike-nya.
Untuk lepas dari cengkeraman pandemi, memahami segitiga epidemi merupakan salah satu kunci. Agen pada pandemi COVID-19 ini adalah virus SARS-CoV-2. Sedangkan inangnya adalah manusia atau hewan, dan lingkungannya adalah faktor yang dapat meningkatkan penularan seperti mobilitas dan aktivitas masyarakat. Ketiga rantai ini sangat erat dalam memengaruhi faktor penularan COVID-19. Kemampuan virus untuk berkembang dan bermutasi dipengaruhi strain tiap varian virus. Agar rantai penularan virus terputus dibutuhkan zat yang dapat membentuk kekebalan tubuh yaitu vaksin. Dalam kerjanya, vaksin merupakan zat yang dibuat seperti virus untuk memancing tubuh agar mengenali dan mengingatnya sehingga tubuh mengeluarkan imun dan bisa menetralisir ketika virus yang sebetulnya masuk.
ADVERTISEMENT
Lalu, bagaimanakah proses pengembangan vaksin?
Menurut WHO, pada November 2020 sudah 48 vaksin pada tahap Uji Klinik dan 164 kandidat vaksin pada tahap evaluasi preklinik. Pada mulanya, vaksin yang akan dikembangkan memasuki tahap uji preklinik dengan memberikan dosis ke hewan. Jika berhasil, selanjutnya memasuki fase 1 yaitu uji coba keamanan vaksin pada kelompok kecil manusia. Lalu dilihat bagaimana reaksinya dari dosis yang diberikan. Pada fase 2 yaitu uji vaksin dengan percobaan yang diperluas. Target uji pada fase ini lebih banyak dari fase sebelumnya. Pada fase ini, tidak hanya jumlah orangnya yang diperluas namun juga jumlah dari variasi usianya seperti golongan anak-anak dan lanjut usia. Kemudian dilihat kembali bagaimana reaksi dari vaksin tersebut. Selanjutnya, memasuki fase 3 untuk melihat efikasi vaksin dengan memberikan vaksin dan plasebo pada 2 grup target uji. Vaksin dapat lolos fase ini bila 50%-nya terlindungi dari SARS-CoV-2.
ADVERTISEMENT
Panjangnya proses perkembangan penelitian vaksin membuat banyak negara mengeluarkan izin darurat penggunaan vaksin karena alasan pandemi. Namun, seiring diberikannya vaksin kepada masyarakat, seringkali terdengar kesalah pahaman atau miskonsepsi terhadap vaksin.
Miskonsepsi
Miskonsepsi terhadap vaksin ini terjadi salah satunya karena faktor persebaran hoaks. Fenoma penyebaran hoaks melalui sosial media paling sering kita jumpai. Dilansir internetsworldstats.com per Maret 2021, Indonesia menempati posisi ke 3 pengguna internet terbanyak di Asia dengan mencapai 212,35 jiwa. Pengguna aktif sosial media di Indonesia per Januari 2021 menurut datarportal.com naik 6.3 % menjadi 170 juta jiwa atau lebih dari setengah populasi di Indonesia. Sosial media yang sering digunakan diantaranya Whatsapp, Facebook, Instagram lalu disusul Tiktok. Sehingga tidak heran penyebaran hoaks sangat begitu cepat di kalangan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Laifa Hendarmin, PhD, pengajar Fakultas Kedokteran dan juga peneliti PPIM (Pusat Penelitian Islam dan Masyarakat) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menuturkan hasil studi mengenai gambaran persepsi terkait COVID-19 pada webinar yang diselenggarakan oleh DEMA Fakultas Psikologi UIN Jakarta, Jumat (4/7).
Hal ini menandakan bahwa miskonsepsi terhadap COVID-19 di ranah pendidikan seperti universitas saja masih ada, bagaimana di kalangan masyarakat umum? Sepertinya pembaca bisa menilai sesuai lensa realita masing-masing.
Kominfo mengimbau agar masyarakat bisa memfilter hoaks yang beredar dengan memahami ciri-ciri informasi hoaks seperti berita yang kerap tidak masuk akal dan disertai riset palsu, mencatut nama tokoh dan lembaga terkenal serta diawali dengan kata sugestif dan heboh. Lawan hoaks COVID-19 dengan lima jurus,
ADVERTISEMENT
1. Cek ke sumber valid di https://covid19.go.id/
2. Berfikir jernih
3. Jangan terprovokasi judul
4. Teliti keaslian foto dan video
5. Bergabung dengan komunitas anti hoaks