Konten dari Pengguna

Kekerasan Struktural di RD Kongo Dilihat dari Galtung's Conflict Triangle

Athifah
Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Mulawarman
7 April 2024 1:26 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Athifah tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kekerasan struktural di RD Kongo (FOTO: AFP/ALEXIS HUGUET)
zoom-in-whitePerbesar
Kekerasan struktural di RD Kongo (FOTO: AFP/ALEXIS HUGUET)
ADVERTISEMENT
Republik Demokratik Kongo (RD Kongo) memiliki sejarah konflik yang panjang dan membuat kondisi negara tersebut menjadi tidak stabil. Ketidakstabilan tersebut bermula saat terjadinya konflik etnis tahun 1994 dimana terjadi serangan genosida di Rwanda yang berdampak pada meluasnya konflik ke RD Kongo di tahun 1996. Kekerasan yang terjadi saat konflik berlangsung menyebabkan jutaan korban luka dan meninggal.
ADVERTISEMENT
RD Kongo memiliki tingkat kekerasan terhadap korban konflik yang tinggi berdasarkan survei dari International Rescue Committee yang menyebutkan bahwa jumlah korban meninggal selama konflik berlangsung antara tahun 1998 – 2007 yaitu sebanyak 5,4 juta jiwa.
Pada saat konflik berlangsung, salah satu kekerasan dalam konflik yang terjadi yaitu kejahatan seksual seperti pemerkosaan yang digunakan sebagai alat atau strategi berperang di RD Kongo. Tujuan menggunakan pemerkosaan sebagai alat berperang yaitu untuk pembersihan etnis.
Strategi tersebut digunakan untuk menghancurkan perempuan RD Kongo baik secara fisik maupun psikologis karena perempuan dianggap sebagai warga kelas dua, merupakan pondasi perekonomian di negara tersebut, dan menjadi satu-satunya pencari nafkah bagi keluarga mereka.
Berdasarkan Gender Country Profile tahun 2014 (dalam Latek, 2014), kesetaraan gender tidak diimplementasikan oleh masyarakat Kongo dibuktikan dengan pernyataan bahwa “Perempuan dan anak perempuan tidak dihargai sebagaimana laki-laki dan anak laki-laki”.
ADVERTISEMENT
Ketidaksetaraan tersebut digunakan dalam norma dan nilai sosial masyarakat RD Kongo yang bersifat diskriminatif. Perempuan tidak mendapatkan akses yang sama dalam menempuh pendidikan, pangan, layanan kesehatan, dan hak memiliki properti.
Hal tersebut dibuktikan dengan data dari CARE International mengenai jumlah kekerasan berbasis gender yang terjadi di RD Kongo selama tahun 2021 – 2022 sebanyak 80.000 kasus.
Pada jenis konflik kekerasan yang terjadi dapat dilihat melalui Galtung’s Conflict Triangle.
Galtung's Conflict Triangle (FOTO: Pribadi)
Kekerasan yang terjadi di RD Kongo dengan korban yang terdampak kebanyakan berasal dari perempuan dan anak-anak merupakan kategori konflik yang tidak terlihat yaitu kekerasan struktural.
Kekerasan struktural merupakan kekerasan yang terstrukturalisasi dan tersistem dengan melibatkan sebuah bentukan struktur yang menaungi banyak orang. Oleh karena itu, kekerasan struktural seperti adanya bentuk ketidakadilan sosial atau ketimpangan yang terjadi. Model kekerasan ini dibentuk oleh kekuatan yang tidak terlihat dan dibentuk secara struktur yang mencegah pemenuhan kebutuhan dasar manusia.
ADVERTISEMENT
Pada situasi konflik yang terjadi di RD Kongo, kekerasan struktural digunakan untuk menindas dan melemahkan perempuan dibuktikan dengan perempuan yang tidak mendapatkan akses yang sama seperti laki-laki dalam memenuhi pendidikan, pangan, layanan kesehatan, dan hak memiliki properti. Selain itu, perlakuan diskriminatif terhadap perempuan menyebabkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh laki-laki telah dianggap normal dan hal ini membuat tingkat kekerasan seksual di RD Kongo tinggi.
Dampak yang terjadi dari adanya kekerasan struktural yang menimpa perempuan dan anak-anak di RD Kongo adalah rendahnya angka partisipasi sekolah dan diskriminasi berdasarkan gender di sekolah-sekolah seluruh negeri. Perempuan dan anak-anak menghadapi banyak resiko seperti: pelecehan seksual dan eksploitasi, perekrutan paksa oleh kelompok bersenjata, pekerja anak, pernikahan anak, kekerasan berbasis gender, kerawanan perang, dan kemiskinan. Adapun dampak berkelanjutan lainnya yaitu perempuan yang berada dalam kelas dua masyarakat menyebabkan mereka hanya bisa menjadi pekerja kasar dan tidak dapat berpartisipasi dalam bidang politik.
ADVERTISEMENT