Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Fenomena Broken Home: Tak Melulu Soal Perpisahan
4 Desember 2024 13:40 WIB
·
waktu baca 4 menitTulisan dari Aulia Fahridza tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Istilah broken home seringkali dimaknai sebagai perceraian orang tua. Padahal, istilah broken home tidak selalu bicara tentang perpisahan. Broken home merupakan suatu kondisi di mana kita tidak lagi merasakan keharmonisan yang sudah selayaknya kita dapatkan dalam sebuah rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Pada kenyataannya, ketidakharmonisan dalam rumah tangga tidak selalu terjadi pada keadaan ditinggal oleh kepergian atau kematian salah satu orang tua saja, tetapi bagi anak-anak pada beberapa keluarga yang masih utuh juga melabeli diri mereka sebagai bagian dari fenomena broken home. Kalau kata warganet, ”utuh bukan berarti cemara” Sedangkan istilah cemara adalah sebutan untuk keadaan keluarga yang harmonis.
Keadaan seperti ini bisa dikatakan bahwa sosok kedua orang tua memang masih lengkap, tetapi tidak menjadi lebih baik jika mereka tidak saling menunjukkan afeksi-afeksi positif di depan anaknya, melainkan bagi mereka rumah hanyalah sekadar panggung adu mulut yang dipertontonkan anak. Hal ini begitu memprihatinkan bagi sang anak, karena perilaku orang tua sangat memegang peran penting bagi kondisi mental maupun kepribadian sang anak.
ADVERTISEMENT
Kondisi keluarga yang tak harmonis lagi membuat anak kehilangan rasa nyaman dan aman ketika sedang di rumah, padahal sebagai anak, kita pastinya menginginkan peran orang tua yang selalu memberikan internal support untuk kita, tetapi dalam kasus broken home ini, nyatanya orang tua malah menjadi bayang-bayang kecemasan yang selalu mengikat diri kita.
Dalam hal ini, perilaku dan sifat orang tua itu sendiri yang menjadi pemicu terjadinya perpecahan dalam keluarga. Seringkali perpecahan tersebut disebabkan oleh keegoisan orang tua yang tak mau mengalah satu sama lain. Mereka menganggap bahwa pendapat mereka selalu benar. Kedua sisi tersebut bagaikan dua kutub magnet yang saling tarik-menarik, tak bisa menyatu, hingga muncul benih-benih peperangan dalam keluarga.
Menurut sudut pandang orang tua, menghadapi dan memaklumi sifat tak mau kalah yang dimilikinya merupakan suatu keharusan yang umum di keluarga. Akibatnya, anak menjadi labil dalam menentukan hal mana yang benar dan mana yang salah. Orang tua tidak menunjukkan sikap rasa saling pengertian satu sama lain. Anak dituntut untuk selalu mengerti perasaan orang tua, ketika orang tua tidak memberikan hal yang serupa kepada anaknya, sehingga anak tumbuh menjadi pribadi yang tertutup.
ADVERTISEMENT
Keegoisan mereka membuatnya tutup telinga pada pendapat-pendapat yang diberikan anak, padahal orang tua perlu bertindak rasional dalam menilai sebuah permasalahan dari berbagai sudut, guna mencapai titik keluar permasalahan. Tetapi, mereka sama sekali tak menggubris dan mempertimbangkan buah pikiran anak. Hal ini juga tak jarang membuat anak merasa tidak penting lagi dan merasa tidak dibutuhkan di rumah, sehingga anak memutuskan untuk mencari pelampiasan di luar rumah.
Sifat saling menonjol yang ditunjukkan orang tua membawa mereka pada kondisi puncak pertengkaran dan peperangan hebat yang terjadi dalam keluarga. Karena sudah terlanjur tersulut emosi, orang tua seringkali meninggikan nada bicaranya, membentak dengan keras, bahkan menyumpahi kata-kata yang tak pantas didengar anak. Tanpa mereka sadari, semua itu menjadi ajang tontonan anak. Kondisi seperti ini yang terus-menerus didengar anak, menumbuhkan rasa traumatis mendalam bagi keseharian anak. Pengalaman traumatis ini disebut Adverse Childhood Experiences (ACE).
ADVERTISEMENT
Menurut Center for Child Trauma Assessment Service and Intervention (CTASI) yang dilansir dari Tirto.id, sebesar 65% anak-anak telah mengalami setidaknya satu ACE selama masa kanak-kanak mereka, sementara 40% lagi mengalami lebih dari satu kali. Efek dari pengalaman traumatis ini menumbuhkan rasa ketakutan, kemarahan, dan beban emosional yang berlebih akibat perilaku buruk orang tua terhadap anak. Situasi ini menimbulkan reaksi yang berbeda ketika anak dihadapkan dengan sesuatu yang bersifat menggelegar, keras atau nada bicara yang terkesan membentak, yang pada umumnya adalah sesuatu yang biasa, tetapi pada anak yang memiliki trauma bisa saja menangis atau mengalami kepanikan yang tidak jelas. Pada titik ini, kesehatan mental menjadi salah satu dampak paling serius akibat pertengkaran orang tua.
ADVERTISEMENT
Bagaimana orang tua menghadapi traumatis sang anak jika merekalah yang menjadi penyebabnya. Keluarga yang disebut satuan terkecil masyarakat saja, kita tidak mendapatkan dukungan dan bimbingan yang baik pada hal-hal yang kita jalani sedari kecil. Tanpa dukungan dan dorongan yang berarti dari lingkungan terdekatnya, seseorang yang mengalami broken home merasa bahwa dirinya tidak mempunyai siapa-siapa untuk bersandar ketika mengalami keadaan-keadaan yang seringkali membutuhkan peran orang tua. Di sisi lain, fenomena broken home yang dialami oleh seseorang memberikan pengaruh konsepsi yang buruk akan keluarga.