Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Amerika dan Dunia: Refleksi 248 Tahun Merdeka
9 Juli 2024 11:15 WIB
·
waktu baca 10 menitTulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Deklarasi Kemerdekaan 4 Juli 1776 -248 tahun yang lalu- menandai dua keadaan paradoksal: arunika dari lahirnya bangsa baru yang merdeka, dan senja bagi kekuasaan monarki kolonialis. Kelahiran Amerika sebagai sebuah negara merdeka yang menggugat dominasi monarkisme dan kolonialisme Inggris, menandai sebuah orde zaman baru, Novus Ordo Seclorum. Peristiwa besar ini telah melahirkan satu tuntutan peradaban yang menyerukan egalitarianisme universal dan tiga hak alamiah Jeffersonian: hak untuk hidup, bebas, dan meraih kebahagiaan. Penulis Deklarasi ini adalah Thomas Jefferson yang tidak hanya menjadi lambang perjuangan kemerdekaan Amerika, tapi juga menjadi salah satu juru bicara paling fasih dari liberalisme.
ADVERTISEMENT
Setelah menjadi bangsa merdeka, tantangan terhadap eksistensi Amerika tak mereda, justru makin menjadi-jadi. Selain kerumitan berbagai persoalan politik domestik yang membelit, masalah internasional pun tak nihil merintangi perjuangan bangsa yang baru lahir itu. Tantangan terhebat yang dihadapi AS di awal kemerdekaannya adalah persaingan politik Eropa, terutama antara Inggris dan Prancis, yang menuntut penyesuaian diri segera dan bijaksana. Kebijakan yang salah langkah akan berimplikasi pada antagonisme kontra-produktif dengan salah satu, atau bahkan dengan dua kekuatan sekaligus. Bahkan konfrontasi Inggris-Prancis memantik pembelahan faksional di kabinet Presiden George Washington, dimana Menteri Keuangan Alexander Hamilton cenderung memihak Inggris dan faksi Menteri Luar Negeri Jefferson dengan dukungan Madison lebih cenderung pro terhadap Prancis.
Abad 18 dan 19: Memupuk Isolasionisme
ADVERTISEMENT
Sebagai negara baru dengan sistem pertahanan dan pengaruh geopolitik yang minimal, Amerika mengambil posisi yang cenderung menarik diri dari konflik antar-Great Power di Eropa. Namun saat masih berkecamuk dalam Perang Revolusi melawan Inggris, Amerika melakukan pendekatan strategis terhadap Prancis. Dengan peran besar Benjamin Franklin -sebagai duta besar di Paris- pada Februari 1778 berhasil disepakati perjanjian aliansi militer dan perdagangan dengan Menteri Luar Negeri Prancis, Vergennes. Perjanjian ini seiring juga dengan pengakuan Raja Louis XVI atas kemerdekaan Amerika.
Pengakuan Prancis atas kemerdekaan Amerika juga perjanjian aliansi yang berhasil disepakati Franklin-Vergennes tentu tidak didasarkan pada motivasi moral untuk mengakui hak bangsa terjajah. Sama sekali tidak. Louis XVI mendasarkan kebijakannya pada logika raison d’etat yang dipelopori Richelieu satu abad sebelumnya, untuk menghadapi ancaman dari rival utamanya yaitu Inggris. Sampai saat itu, sejatinya Amerika sudah melibatkan diri dalam persaingan kekuasaan antara kekuatan Eropa yang dominan. Untuk mengimbangi kecondongan terhadap Prancis, Alexander Hamilton berusaha menjajaki kemungkinan kerja sama kooperatif trans-atlantik dengan Inggris, terutama setelah berakhirnya Perang Revolusi pada 1783. Pada tahun 1789 di bulan Oktober, Hamilton melakukan dialog strategis dengan George Beckwith -ajudan Gubernur Jenderal Lord Dorchester- untuk mengusahakan kembali kerjasama kooperatif Inggris-Amerika. Namun upaya Hamilton tak membuahkan hasil yang memuaskan.
Kegagalan Hamilton untuk menjajaki kerjasama aktif dengan Inggris membuatnya mencetuskan apa yang dikenal sebagai Doktrin Netralitas. Doktrin netralitas Hamilton berupaya untuk menempatkan Amerika pada posisi yang menihilkan kecenderungan berpihak dengan dasar dukungan apapun, terhadap Inggris dan Prancis. Doktrin netralitas Hamilton inilah yang menjadi nyawa dari Pidato Perpisahan Washington pada 1797 yang terkenal itu. Pidato Perpisahan Washington membawa Amerika pada era isolasionisme satu abad ke depan dan berusaha menghindari konflik kekuatan di Eropa. Doktrin Hamilton membuatnya layak menerima penghargaan sebagai ahli strategi pertama dan paling agung Amerika dengan logika realismenya, yang oleh Robert Zoelick dalam bukunya “America in the World” disebut sebagai arsitek kekuatan Amerika.
ADVERTISEMENT
Memasuki dekade 1820-an, Amerika menghadapi tantangan yang lebih rumit dan menjadi pertaruhan kekuasaanya di west hemisphere. Konser Eropa yang terbentuk setelah Kongres Wina, berusaha merestorasi keseimbangan kekuasaan di Eropa setelah dihancurkan oleh ambisi ekspansionis Napoleon. Namun, Konser Eropa yang didasarkan pada ekuilibrium (keseimbangan) tidak memupuskan persaingan antar kekuatan. Tetap ada ambisi ekstrateritorial dari para kekuatan besar di Eropa untuk melebarkan sayap pengaruhnya ke dunia. Salah satu yang menjadi incaran ekspansi kekuasaan adalah Amerika Selatan. Amerika Selatan yang dipandang sebagai “ladang basah” dominasi kekuatan Eropa, membuat Inggris tidak nyaman. Inggris khawatir keseimbangan akan terganggu dengan aksesi kekuatan besar di Eropa atas kawasan Amerika Selatan. Karenanya Inggris, melalui menteri luar negerinya yang cemerlang, George Canning, berusaha mencegahnya.
Canning berusaha membujuk Presiden Monroe untuk menjalin kerjasama strategis dengan Inggris dalam mencegah kekuasaan Eropa memasuki Amerika Selatan. Namun ajakan Canning ini ditolak Monroe atas saran menteri luar negerinya, John Quincy Adams, dan memilih merumuskan kebijakan independen untuk melindungi belahan bumi Barat dari ancaman kekuatan-kekuatan Eropa, termasuk dari Inggris. Maka lahirlah apa yang dikenal sebagai Monroe Doctrine yang disampaikan presiden dalam pidato tahuannya di Kongres pada Desember 1823. Amerika secara sadar atau tidak sedang menjalankan logika raison d’etat untuk menjamin keamanan dan an kepentingannya di belahan bumi bagian Barat (West Hemisphere). Doktrin Monroe ini tetap bertahan hingga akhir abad ke-19. Karenanya tidak salah apabila William L. Bradley mengatakan bahwa, sampai akhir abad ke 19 tujuan politik luar negeri Amerika adalah menghindari persekutuan dengan Eropa dan menjaga hegemoni di belahan bumi Barat.
ADVERTISEMENT
Abad 20: Persaingan Realpolitik dan Idealisme
Memasuki abad ke 20, salah satu presiden terhebat dalam sejarah Amerika, Theodore Roosevelt berusaha menyusun ulang kebijakan luar negeri dan mendefinisikan ulang kepentingan Amerika di dunia. Roosevelt berupaya untuk melibatkan Amerika dalam peranan yang lebih tinggi dan lebih luas di kancah politik dunia. Di belahan bumi barat, Roosevelt melakukan revisi atas Doktrin Monroe dengan memasukkan doktrin intervensi. Olehnya, Doktrin Monroe tidak hanya menjadi penghalang aksesi kekuatan asing ke kawasan Amerika, tetapi juga menjadi basis legitimasi intervensi Amerika. Pengejawantahannya adalah pada 1902 AS melakukan intervensi di Haiti, 1903 mendukung Panama merdeka dari Kolombia, 1904 menguasai Dominika dengan pendirian protektorat keuangannya disana, dan pada 1906 menduduki Kuba.
ADVERTISEMENT
Henry Kissinger -negarawan dan menlu AS- dalam bukunya “Diplomacy” memuji Roosevelt sebagai presiden yang paling memiliki kecanggihan taktik dan strategi yang tak tersaingi oleh presiden siapapun. Kissinger menjadikan Roosevelt sebagai pahlawan dalam politik realismenya. Kepentingan nasional menjadi motivasi paling inti dari setiap kebijakan Roosevelt. Ia menjadi penerjemah paling fasih dari logika raison d’etat Richelieu yang diterapkannya untuk menjaga dan mencapai kepentingan AS. Roosevelt tak sungkan menyatakan mendukung ekspansi Jepang ke Korea dengan keyakinan bahwa dasar politik dunia adalah dalil Darwinian tentang survival of the fittest. Roosevelt juga memainkan peranan yang aktif dan strategis dalam konflik Rusia-Jepang dengan dukungannya diberikan kepada Jepang untuk menjadi penyeimbang kekuasaan Rusia di Timur Jauh. Ia berhasil memainkan peran politik sebagai penengah dan pendamai konflik Jepang-Rusia tanpa menihilkan tujuan dan kepentingan Amerika.
ADVERTISEMENT
Penantang paling tangguh atas kebijakan Roosevelt adalah rival terbesarnya -yang kemudian menjadi presiden yang paling dibenci nya- Woodrow Wilson. Wilson berhasil melenggang ke Gedung Putih karena perpecahan di Partai Republik antara Teddy Roosevelt dan William Howard Taft. Pada 1914 perang berkecamuk di Eropa. Wilson ada pada posisi tetap mempertahankan netralitas dan non-intervensi AS di konflik yang berpusat di Eropa tersebut. Apabila Wilson cenderung menunggu dan berdiam diri di awal-awal konflik, Roosevelt berkeyakinan bahwa AS harus terlibat dalam perang melawan Jerman untuk kepentingan nasionalnya. Roosevelt berpendapat bahwa kemenangan Jerman dan sekutunya adalah ancaman nyata bagi AS dan karenanya harus dicegah.
Sejarah telah membuka jalan bagai Wilson untuk terlibat dalam pertikaian di Eropa. Pada April 1917 Amerika menyatakan perang terhadap Jerman. Namun motivasi keterlibatan Wilson amat berlainan dengan pemikiran Roosevelt. Wilson berkeyakinan bahwa perlu ada suatu penyelesaian konflik baru yang akan membangun perdamaian universal di seluruh dunia. Wilson menentang perimbangan kekuatan, yang selama 300 tahun telah berlaku di Eropa. Bagi Wilson, sebagaimana yang diutarakan Kissinger, fondasi tatanan internasional bukanlah perimbangan kekuatan melainkan hukum universal.
ADVERTISEMENT
Manifestasi paling nyata dari prinsip Wilson ini adalah pernyataannya yang terkenal bahwa dunia ini harus menjadi tempat yang aman bagi demokrasi dan Empat Belas Pasal nya yang terkenal. Wilson menginisiasi pendirian suatu lembaga internasional yang dinamakan Liga Bangsa-Bangsa. LBB didirikan sebagai manifestasi idealisme Wilson tentang perdamaian dunia dan keamanan kolektif. Ironisnya, gagasan Wilson itu telah diusulkan oleh Tsar Alexander I -seorang despot anti demokrasi- dengan gagasan yang kurang lebih serupa kepada William Pitt sebagai tatanan dunia akhir Perang Napoleon.
Namun ide Wilson tak mendapat sambutan di dalam negeri. Dengan penolakan yang paling tegas disuarakan Henry Cabot Lodge di Senat, AS gagal meratifikasi piagam Liga Bangsa-Bangsa. Wilson gagal mewujudkan cita-citanya untuk melibatkan AS dalam perdamaian global dan keamanan kolektif dunia dan Amerika memasuki era baru isolasionisme.
ADVERTISEMENT
Isolasionisme AS usai setelah serangan mendadak Jepang atas Pearl Harbour pada 7 Desember 1941, dan Presiden Franklin D. Roosevelt membawa Amerika terlibat dalam Perang Dunia II. Perang besar ini membawa Amerika pada suatu posisi puncak kekuasaan dunia, terlebih dengan diciptakannya senjata pemusnah massal yang menambah bobot adidaya AS. Inggris dan Prancis mengalami deklinasi yang menyedihkan, dan Rusia Komunis muncul sebagai pesaing utama AS dalam percaturan politik dunia. Salah satu legasi yang diwariskan Sekutu saat perang -AS, Inggris, dan Soviet- kepada dunia kita adalah berdirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang secara ide merupakan kelanjutan ide Presiden Wilson.
Kendati sudah berdiri PBB dengan tujuan utama menihilkan, atau paling tidak meminimalisir konflik dan persaingan kekuatan, sejarah dunia justru memasuki era Perang Dingin yang sangat kental diwarnai persaingan kekuatan antara Amerika dan Uni Soviet. Perang Dingin telah meraibkan nilai-nilai universal yang didasarkan pada keamanan kolektif dan perdamaian bersama PBB, dan memunculkan berbagai konflik seperti yang terjadi di Korea, Vietnam, Indochina, dan Timur Tengah. Logika raison d’etat sangat kental mewarnai persaingan internasional AS-Soviet. Walaupun secara paradoks, untuk mewujudkan kepentingan nasionalnya, AS sering menjadi misionaris demokrasi bagi negara-negara yang netral atau condong kepada komunis, walaupun tujuan utamanya tentu saja untuk mengakumulasi bobot kekuatan globalnya agar bisa lebih superior dari Soviet.
ADVERTISEMENT
Perang Dingin usai pada 1991 dengan runtuhnya Soviet, dan dunia memasuki apa yang oleh Charles Krauthammer disebut sebagai momen dunia unipolar dengan AS sebagai penguasa global tunggal. AS melakukan berbagai kebijakan yang cenderung liberal dan kampanye demokratisasi merebak di seluruh dunia terutama pada masa pemerintahan Bill Clinton. AS mengakhiri abad 20 dengan kemenangan manis sebagai satu-satunya adidaya dunia.
Abad 21: AS dan Dunia Multipolar
Memasuki abad 21, AS menghadapi tantangan yang ta pernah terpikirkan sebelumnya, yaitu serangan teroris non-negara dalam peristiwa 11 September 2001, yang kemudian lebih dikenal sebagai peristiwa 9/11. Serangan tersebut membuat Presiden George W. Bush meningkatkan agresivitas Amerika di dunia dengan doktrin pertahanan pre-emptive nya. Ini membawa Bush pada kesalahan strategi total dalam perangnya di Irak yang amat mencoreng reputasi internasional AS.
Selain itu dunia abad 21 sama sekali berbeda dengan dunia abad 20. Kini, kekuatan dan magnet politik dunia berpusat di kawasan Asia. Karenanya AS -melalui kebijakan Obama dan Hillary Clinton- berusaha untuk menyesuaikan diri dengan melakukan kebijakan Pivot to Asia. AS juga harus ada dalam dunia yang tak dikuasainya lagi secara tunggal, dalam arti abad 21 adalah akhir dari momen dunia unipolar yang sempat dinikmati AS dalam sesaat. Tiongkok muncul sebagai kekuatan raksasa dan penatang utama, India muncul sebagai kekuatan di anak benua Asia, Rusia berusaha memulihkan kekuatan internasionalnya, dan Uni Eropa yang muncul sebagai aktor baru dari suara kolektif negara-negara Eropa yang dulu sengit bersaing.
ADVERTISEMENT
Kemudian pada saat Donald Trump berkuasa, AS cenderung bersikap skeptis terhadap perjanjian dan lembaga-lembaga internasional. Sikap yang sangat berbahaya karena akan berdampak pada pecahnya aliansi AS dengan sekutu-sekutunya. Joe Biden, pengganti Trump, berusaha memulihkan kepemimpinan global AS di tengah berbagai tantangan konflik global yang penuh kompleksitas. Mulai dari krisis Timur Tengah, ancaman Tiongkok, dan Perang Rusia-Ukraina yang masih belum usai. Sekian refleksi penulis dalam rangka memperingati hari kemerdekaan AS pada 4 Juli 2024 lalu dan peran globalnya dalam 248 tahun.