Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Dari Wina ke Paris: Perang, Diplomasi, dan Tatanan Dunia
12 Desember 2024 15:12 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Adrian Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
War is the father of all and the king of all. Perang adalah bapak dan raja segala sesuatu, itulah yang diutarakan filsuf Yunani, Heraklitus. Pernyataan yang sangat hawkish, yang mengesankan bahwa perang adalah titik sentral kehidupan. Banyak bantahan tentu saja, namun ini tak menihilkan fakta bahwa perang memang menjadi unsur krusial dan sangat menentukan dalam gerak sejarah dunia. Bahkan seorang pasifis yang paling idealis sekalipun tak akan menafikan fakta bahwa perang adalah salah satu penggerak utama jalannya sejarah dunia.
ADVERTISEMENT
Perang selalu menandai perubahan. Tentu saja perubahan yang kompleks dengan skala kualitas dan kuantitas yang beragam. Mulai dari fluktuasi ekonomi, transisi hegemoni, perubahan perbatasan, raibnya kedaulatan, hingga hancur dan terbentuknya tatanan dunia. Tulisan ini mencoba untuk memahami dan menuangkan semacam pola relasi antara perang, diplomasi, yang kemudian berimplikasi pada terbentuknya tatanan dunia (world order). Perang dan diplomasi tentu sudah mewarnai kanvas sejarah dunia selama ribuan tahun. Bahkan, sebagaimana dicatat Simon Sebag Montefiore dalam bukunya Titan of History, perjanjian internasional -sebagai manifestasi diplomasi- tertua yang tercatat sejarah adalah perjanjian damai antara Ramses II dengan Raja Het sekitar tahun 1258 SM.
Perang adalah topik yang sudah sangat umum dan familiar. Herodotus -yang dijuluki bapak sejarah- telah menulis tentang Perang Persia (Persian War). Kemudian sejarawan lainnya, Thucydides, menulis karya fenomenal berjudul History of Peloponnesian War. Perang karena agama juga terjadi dan sangat berdarah. Perang Salib menjadi catatan sejarah yang kelam, saat ambisi dan motivasi religiusitas mempertemukan Islam dan Kristen dalam satu pertempuran terbuka. Selain Perang Salib, Perang Tiga Puluh Tahun (The Thirty Years War) yang dimulai karena ambisi universalisme Katolik Ferdinand II, juga membuat Eropa tenggelam dalam konflik agama yang kelam. Perang ini berakhir dengan Perjanjian Damai Wesphalia 1648 yang menandai era negara-bangsa modern. Setiap perang yang ada pasti diakhiri dengan kesepakatan damai melalui diplomasi. Namun dalam beberapa episode sejarah tertentu, perang yang diakhiri dengan kesepakatan diplomatik seiring sejalan juga dengan terbentuknya sistem tatanan dunia baru (new world order). Tulisan ini akan melihat pola keterkaitan perang, diplomasi, dan tatanan dunia dalam dua konflik paling besar di awal abad 19 dan awal abad 20, yakni Perang Napoleon dan Perang Dunia I.
ADVERTISEMENT
Perang Napoleon dan Kongres Wina
Napoleon Bonaparte adalah bintang yang bersinar paling terang di generasinya. Sinarnya melahirkan kekaguman bagi siapapun pemujanya, dan kebencian bagi yang merasa silau akan sinarnya yang demikian terang. Namun baik pemuja atau pembencinya, mengakui kebesaran orang Korsika tersebut. Digembelng menjadi tokoh nasional Prancis saat peristiwa Revolusi sedang berkecamuk, Napoleon membentuk sejarah Eropa akhir abad 18 dan awal abad 19. Ambisi ekstrateritorialnya telah membawa Eropa -dari Inggris hingga Rusia- terguncang dalam krisis geopolitik yang genting, yakni Perang Napoleon (Napoleonic War).
Perang Napoleon menjadi salah satu episode krusial dalam sejarah Eropa dan dunia. Keseimbangan Eropa yang terbentuk pasca-Perjanjian Utrecht 1713 dan pasca-Perang Tujuh Tahun, luluh lantak tak bersisa karena ambisi dominasi kontinental Napoleon. Dari William Pitt the Younger di Inggris hinga Tsar Alexander I di Rusia dipusingkan oleh ambisi besar sang kaisar. Tujuan perdamaian pasca-perang sudah digagas jauh-jauh hari, bahkan saat perang masih jauh menuju penghabisan. Pada 1804, sebagaimana dicatat Henry Kissinger dalam bukunya, Diplomacy, Tsar Alexander I mengajukan gagasan kepada William Pitt untuk membentuk lembaga internasional liberal, yang ditolak Pitt, dan baru terwujud beberapa dekade kemudian dalam gagasan Woodrow Wilson.
ADVERTISEMENT
Pitt menolak gagasan Tsar, dengan argumentasi bahwa pemulihan keseimbangan kekuatan Eropa adalah kunci perdamaian, dan caranya dengan merampas ambisi Prancis yang saat itu menjelma dalam diri Napoleon. Perang terus berlanjut dan ambisi Napoleon tetap membara hingga miskalkulasi yang dilakukannya saat melakukan serangan ke Rusia pada 1812. Pada Desember 1812, Napoleon menghadapi kekalahan di Rusia yang mengharuskannya pulang ke Paris dan menyerahkan komando kepada Joachim Murat. Inilah awal deklinasi kekuasaan Napoleon. Menurut Adam Zamoyski dalam bukunya Rites of Peace: The Fall of Napoleon and the Congress of Vienna, sebelum memulai serangan ke Rusia pada 1812, Napoleon adalah penguasa Eropa dengan kekuasaan lebih besar dari kaisar Romawi manapun.
Senja kekuasaan Napoleon membuat para negarawan Eropa sepakat menggelar pertemuan di Wina. Pertemuan para petinggi -negarawan dan diplomat- Eropa ini kemudian dikenal dengan Kongres Wina. Inggris diwakili oleh Menteri luar negeri Lord Castlereagh, Austria -sebagai tuan rumah- diwakili oleh Metternich, Prusia diwakili oleh Karl August von Hardenberg, dan Rusia langsung diwakili oleh Tsar Alexander I. Keempat negara yang terikat dalam Quadruple Alliance dan Aliansi Suci (tanpa Inggris) tersebut berusaha memulihkan keseimbangan Eropa. Metternich -seorang realis tanpa tanding- berusaha menghadirkan keseimbangan kekuatan (balance of power) di Eropa untuk memperkokoh perdamaian. Karenanya hasil dari Kongres ini, selain untuk mengamputasi superioritas dan ambisi Prancis, juga menjamin status quo perimbangan kekuatan di Eropa. Inilah keterkaitan antara Perang Napoleon, diplomasi di Wina, hingga terbentuknya tatanan keseimbangan Eropa dan dunia yang bertahan kurang lebih seratus tahun.
ADVERTISEMENT
Perang Dunia I dan Tatanan Wilsonian
Tatanan sistem kongres yang berlaku sejak 1815, hancur sempurna saat meletusnya Perang Dunia I. Persaingan kekuatan besar, imperialisme, dan menguatnya nasionalisme menjadi beberapa faktor fundamental yang mempercepat konflik besar di Eropa tersebut. Namun momentum historis yang menjadi pemukul gong dari rivalitas negara-negara Eropa adalah peristiwa terbunuhnya Franz Ferdinand oleh seorang nasionalis Serbia di Sarajevo pada 28 Juni 1914. Pada 23 Juli Austria mengultimatum Serbia, dan lima hari kemudian -28 Juli- Austria menyatakan perang kepada Serbia. Deklarasi perang Austria memantik respon Rusia -sebagai sekutu dan pelindung Serbia- yang pada 29 dan 30 Juli melakukan mobilisasi pasukan. Melihat geliat aksi mobilisasi Rusia, Jerman mengultimatum Rusia pada 31 Juli untuk melakukan demobilisasi pasukan. Pada 1 Agustus, setelah ultimatumnya tak mendapat respon, Kaiser Wilhelm II mendeklarasikan Kriegsgefahr (bahaya perang). Maka dimulailah Perang Dunia I.
ADVERTISEMENT
Begitu banyak literatur yang membahas mengenai jalannya salah satu peristiwa paling besar dalam sejarah dunia ini. Salah satu karya yang hemat penulis amat baik dijadikan salah satu rujukan otoritatif mengenai Perang Dunia I, terutama saat awal terjadinya perang, adalah buku berjudul The Gun of August karya Barbara Tuchman. Membutuhkan ruang yang tak sedikit untuk menuliskan, sekalipun meringkas, konflik atau berbagai pertempuran dalam Perang Dunia I. Namun intinya kecamuk perang di Eropa tersebut pada akhirnya melibatkan banyak negara, dari London sampai Sublime Porte, dari Paris hingga Moskow. Salah satu momentum yang menjadi penentu dalam akhir konflik adalah masuknya Amerika Serikat ke dalam perang besar pada April 1917. Sebagaimana dicatat Robert Zoellick dalam bukunya America in the World, kendati Woodrow Wilson menyatakan deklarasi netralitas dalam perang pada 4 Agustus 1914, namun karena berbagai peristiwa yang merugikan Amerika, akhirnya Wilson mendeklarasikan perang terhadap Jerman pada 2 April 1917.
ADVERTISEMENT
Ditengah senja kekalahan Jerman dan sekutunya, Wilson turut berperan sebagai salah satu tokoh yang merancang dunia pasca-perang. Kendati Amerika bergabung di akhir konflik, namun perannya seketika langsung signifikan. Bahkan Perdana Menteri Inggris, David Lloyd George mengatakan hanya Wilson yang bisa menekan kedua belah pihak yang bertikai untuk mewujudkan perdamaian. Wilson dituntun oleh gagasannya mengenai perdamaian tanpa kemenangan atau peace without victory. Ia adalah oposan keseimbangan kekuatan Eropa. Wilson mengatakan “bukan keseimbangan, tetapi komunitas kekuasaan. Bukan persaingan terorganisir tapi perdamaian persama yang terorganisir”. Gagasan inilah kemudian yang dikenal dengan idealisme Wilsonian, yang secara spesifik termaktub dalam Empat Belas Pasal Woodrow Wilson. Wilson akan mencoba mempromosikan dan mewujudkan gagasannya di Paris, kota yang menandai berakhirnya Perang Dunia I.
ADVERTISEMENT
Jika Perang Napoleon diakhiri dengan diplomasi di Wina, Perang Dunia I menjadikan Paris -tepatnya Istana Versailles- sebagai pusat perundingan. Para negarawan dan diplomat top dari berbagai negara turut terlibat. Namun Konferensi Versailles didominasi oleh empat tokoh yang dikenal dengan Big Four, antara lain Lloyd George dari Inggris, Vittorio Orlando dari Italia, Georges Clemenceau dari Prancis, dan Woodrow Wilson dari Amerika Serikat. Salah satu poin penting dalam Empat Belas Pasal Wilson adalah gagasan pembentukan lembaga internasional yang bisa memelihara perdamaian dunia. Maka terbentuklah Liga Bangsa-Bangsa (LBB), yang berdiri atas gagasan idealisme liberal Wilsonian. Ironisnya, Wilson sebagai inisiator LBB, gagal meyakinkan Kongres untuk meratifikasi Perjanjian Versailles dan bergabung dengan Liga Bangsa-Bangsa. Betapapun demikian, gagasan Wilson telah mengawali terinstitusionalisasinya gagasan idealisme liberal dalam tatanan dunia. Perang Dunia I dan diplomasi di Versailles telah melahirkan tatanan dunia liberal.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Perang Napoleon yang diakhiri dengan Kongres Wina telah melahirkan satu tatanan dunia yang didasarkan pada perimbangan kekuatan (balance of power), terutama yang tercerminkan dalam gagasan William Pitt dan Klemens von Metternich. Sistem Kongres tak nihil dari interupsi peristiwa yang mengancam dan mengikis supremasinya, Perang Krimea dan Perang Prancis-Prusia, serta gagasan Bismarckian adalah beberapa ancaman terhadap Sistem Kongres. Namun keseimbangan Eropa masih bertahan hingga pecahnya Perang Dunia I. Perang Dunia I diakhiri dengan Konferensi Versailles di Paris yang melahirkan salah satu gagasan utama Woodrow Wilson yakni pembentukan Liga Bangsa-Bangsa. LBB adalah manifestasi dari idealisme liberal yang satu abad sebelumnya telah digagas oleh Tsar Alexander I, namun gagal terwujud. Akhirnya Woodrow Wilson berhasil mewujudkannya, kendati sistem ini penuh ironi dan kontradiksi.
ADVERTISEMENT