Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Berpikir Mundur demi Memidanakan LGBT dan Kumpul Kebo
22 Januari 2018 19:34 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:12 WIB
Tulisan dari Avicenna Raksa Santana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Isu lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) kembali ramai dibicarakan. Pembicaraan itu muncul lagi setelah Zulkifli Hasan mengatakan bahwa ada lima fraksi di DPR RI yang mendukung LGBT. Tidak jelas lima fraksi itu apa saja. Yang pasti, setelah ucapannya tersebut, dorongan untuk memidanakan LGBT kian bermunculan.
ADVERTISEMENT
Setelah sebelumnya mentah di tangan Mahkamah Konstitusi (MK), rencana perluasan delik LGBT dan “kumpul kebo” kini memang ada di panitia kerja RKUHP. "Pembahasan RKUHP ini telah menyelesaikan hampir seluruh rumusan norma hukum untuk Buku I maupun Buku II RKUHP, termasuk pasal-pasal yang terkait dengan perbuatan cabul dengan pelaku LGBT," kata Arsul Sani, Sekjen PPP, dikutip dari kumparan (kumparan.com).
Berada di tangan para anggota DPR, isu ini lantas menjadi sarana yang pas bagi parpol untuk cari perhatian. Terlebih, Pemilu sudah di depan mata, dan Pilkada DKI Jakarta kemarin seakan menunjukkan arah angin tengah ke mana.
Bila hitung-hitungan yang dipakai hanya hitung-hitungan politis, nasib RKUHP nanti mungkin sudah dapat ditebak: narasi minor kembali dikorbankan. Lain halnya bila kemudian RKUHP itu dipertimbangkan secara logis, lengkap dengan segala konsekuensinya; mungkin masih ada harapan kebijakan ini dipertimbangkan ulang.
ADVERTISEMENT
Pemidanaan LGBT dan kumpul kebo bukanlah hal yang praktis. Dalam pelaksanaannya nanti, mungkin akan ada banyak wilayah privat seseorang yang diterabas. Sebab, dengan pasal ini, pasangan yang berhubungan di luar nikah, atas dasar suka sama suka, tidak mungkin melaporkan satu sama lain--karena itu artinya melaporkan diri sendiri juga.
Untuk menjerat orang pakai aturan ini, harus ada pihak ketiga yang ikut campur; dan ia pun tidak harus pasangan sah dari salah satu pelaku, melainkan bisa orang lain yang benar-benar asing.
Pendeknya, RKUHP ini rasanya tak lebih dari sekadar melegalkan tingkah polisi moral. Sementara belakangan ini, lewat kasus ibu-ibu yang menuduh adik-kakak sebagai pasangan gay, kita baru saja diajarkan betapa polisi moral itu bisa meresahkan. Belum kapok?
Narasi yang juga menarik dari wacana RKUHP ini adalah soal budaya ketimuran. Memidanakan LGBT dan kumpul kebo, menurut sebagian kalangan, adalah langkah yang tepat buat negeri ini. LGBT dan kumpul kebo adalah budaya barat, katanya. Sementara kita adalah negeri ketimuran yang memegang teguh moral.
ADVERTISEMENT
Cara pikir ini sesat di mana-mana. Sudah dikaburkan oleh konstruksi "timur-barat", ingin adu suci pula. Seakan barat dan timur adalah dua kutub yang beda sepenuhnya. Seakan di barat tidak ada orang yang menolak LGBT. Seakan segala budaya dari barat sudahlah auto-sesat dari sisi manapun.
Tentu, ada banyak hal yang bisa ditolak dari negara asing--misalnya saja, menolak segala bentuk cawe-cawe yang menghidupi oligarki di negeri ini. Namun, perjuangan membela hak manusia rasanya bukan salah satunya. Hak manusia adalah suatu hal universal, yang hingga sekarang masih (dan harus) diperjuangkan di seluruh dunia.
Berpegangan pada moral dan agama memang sah-sah saja. Namun, standar setiap orang untuk penerapan moral dan agama, tidaklah seragam. Agama ada bermacam-macam; mahzabnya bermacam-macam; penghayatannya juga bermacam-macam.
ADVERTISEMENT
Tak jarang, apa yang institusi agama percayai harus dikompromikan dengan realitas. Malah ada pula masanya ketika yang dipercayai institusi agama harus terbantahkan oleh sains.
Sains dan agama memang tidak selalu bertentangan. Namun, itu bukan berarti kita harus menipu diri kita, dengan mengatakan bahwa agama dan sains selalu seiya-sekata.
Soal LGBT, misalnya. Dulu sempat ramai beredar pernyataan dr Fidiansyah, seorang psikiater, yang mengatakan bahwa Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transeksual (LGBT) adalah gangguan jiwa.
Beliau bahkan mengaku bahwa pernyataannya itu sesuai dengan Pedoman Penggolongan Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ) III--buku pedoman diagnosis gangguan jiwa yang dipakai di Indonesia (diterbitkan oleh Kemenkes tahun 1993).
Padahal, kenyataannya ia hanya asal catut, sambil menutupi isi PPDGJ III yang sebenarnya . LGBT bukanlah gangguan jiwa apalagi penyakit menular.
ADVERTISEMENT
Hal yang dr Fidiansyah lakukan sudah jelas adalah penyesatan publik. Lebih dari itu, ia juga menambah alasan untuk terus melanggengkan praktik diskriminasi terhadap LGBT; sehingga LBH Jakarta mendesaknya untuk meminta maaf .
Kini, persoalannya mungkin lebih rumit. Yang dihadapi bukan lagi sains jadi-jadian, maupun polisi moral di media sosial saja; yang dihadapi adalah negara, lengkap dengan segala bentuk manuver dari parpol-parpol yang sedang cari perhatian.
Nyaris semua parpol setuju untuk memidanakan LGBT dan kumpul kebo. Di belakang mereka, dukungan pun kian besar. Semua seakan percaya bahwa yang terjadi di ranjang akan merugikan banyak orang--seakan ewa-ewi sama bahayanya seperti praktik korupsi. Aduhai, betapa mundurnya cara pikir negeri ini.