Konten dari Pengguna

Berteman Baik dengan Spoiler

Avicenna Raksa Santana
Dialog sehat yuk~
25 April 2018 18:09 WIB
clock
Diperbarui 6 Desember 2019 23:40 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Avicenna Raksa Santana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Poster The Avengers: Infinity War (Foto: Marvel)
zoom-in-whitePerbesar
Poster The Avengers: Infinity War (Foto: Marvel)
ADVERTISEMENT
Avengers Infinity Wars tayang hari ini. Para penonton pun merayakannya dengan sukacita. Hanya saja, kegembiraan tersebut ada batasannya: Mereka tidak boleh membocorkan cerita Avengers Infinity Wars kepada siapa-siapa. Sekali berani melontarkan spoiler, kecaman orang lain ganjarannya.
ADVERTISEMENT
Persoalan boleh tidaknya spoiler sejatinya sudah berlangsung sejak lama. Roger Ebert pernah menulis, "Critics have no right to play spoilers", sementara Jonathan Rosenbaum pernah menulis "In defense of spoilers".
Masing-masing pun tidak bisa dibilang salah. Hanya kita yang kemudian perlu menimbang-nimbang sendiri, mau bersahabat dengan spoiler, berusaha eklektik dengan memilih jalan tengah, atau membenci spoiler dan orang-orang yang menyampaikannya.
*
Film lazimnya masih menjadi barang yang kita konsumsi dengan skema "beli kucing dalam karung". Kita memutuskan beli tiket, sebelum tahu bentuk utuh film yang akan kita tonton. Berbeda dengan musik, yang umumnya kita beli setelah kita dengar (dan suka).
Dalam bentuk konsumsi macam itu, penonton sebetulnya hanya "membeli" ekspektasinya sendiri. Dengan kata lain, menonton film bioskop kurang lebih adalah perjudian.
ADVERTISEMENT
Pertanyaannya: Akankah pengalaman menontonnya sepadan dengan biaya yang dikeluarkan?
Kadang jawabannya "iya", kadang "tidak". Namun, apa pun itu, inilah yang membuat penonton menjadi sosok yang sangat bawel setelah keluar ruang putar; dan ini pulalah yang membuat spoiler menjadi isu yang tak berkesudahan.
Kita tahu, sarangnya spoiler adalah review-review, baik yang ditulis secara serius di media, maupun dirangkai sekenanya saja di media sosial.
Kadang, review-review tersebut dibuat karena penulisnya ingin berbagi. Namun, tak jarang pula, review-review itu ada untuk mendudukkan kembali beragam ekspektasi pemirsa terhadap suatu film, demi sebuah tinjauan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan, ketimbang sekadar "suka atau tidak suka".
Persoalannya kemudian tentu adalah soal penulisan review itu sendiri. Bolehkah ada spoiler di sana? Haruskah ada disclaimer untuk setiap spoiler? Atau suatu review film berhak berdiri sendiri, utuh, dan menerobos setiap spoiler?
ADVERTISEMENT
Setiap media (dan penulis) mungkin punya pandangan dan kebijakannya masing-masing. Namun, sulit dimungkiri bahwa review yang mendalam menuntut analisis yang tajam. Sementara analisis yang tajam terlampau sulit dilakukan tanpa menyebutkan titik-titik penting cerita.
Ketika mengatakan bahwa sebuah film "sangat baik", misalnya, penulis wajib untuk membuktikan klaimnya. Dalam pembuktian itu, mau tidak mau, ia harus menjabarkan segala hal yang membuat film tersebut "sangat baik"—termasuk perkembangan cerita filmnya.
Bayangkan proses penulisannya seperti ini: "Kenapa film A sangat baik?" "Karena ceritanya bagus." "Bagus bagaimana?" "Ceritanya rapi dan tidak tertebak." "Maksudnya?" "Detail-detail tersebar sepanjang film, kemudian terangkai kembali di akhir." “Bagaimana ia tersebar, dan bagaimana kemudian ia terangkai lagi?” Di sinilah, kawan-kawan, kita masuk ke spoiler.
ADVERTISEMENT
*
Review apa pun, tak mesti film, pada dasarnya selalu bersifat subjektif. Menuliskan dan menyebarkannya berarti mengadu subjektivitas pribadi dengan subjektivitas orang lain di ruang publik. Di titik ini, tentu semua ingin subjektivitasnya bisa diterima.
Maka dari itulah pendapat seseorang terhadap sebuah film bisa terurai menjadi ratusan bahkan ribuan kata. Itu terjadi bukan karena ia sedang berlaku objektif, melainkan karena ia berusaha mempertanggungjawabkan subjektivitasnya.
Sebagai pembaca, saya percaya bahwa semakin baik seseorang mempertanggungjawabkan subjektivitasnya, semakin baik pula tulisannya.
Oleh karena itu, saya tidak pernah menyukai review yang mentok di kata sifat. Sebab, bagi saya pribadi, kata sifat tidak ada artinya, bila tidak dibuktikan.
Pembuktian itu, kawan-kawan, adalah spoiler. Dan kebetulan, mengingat tulisan yang baik menurut saya adalah tulisan yang bisa dipertanggungjawabkan lewat pembuktian, saya pun tidak bermasalah dengan itu—walaupun bukan berarti saya selalu mencarinya.
ADVERTISEMENT
Bagi saya tidak ada yang salah dari, misalnya, mengetahui lebih dulu (spoiler) tentang kandasnya hubungan Sebastian dan Mia di La La Land. Sebab, tujuan saya datang ke bioskop adalah untuk mengalami bagaimana hubungan mereka kandas, bukan untuk mengetahui apakah mereka akan langgeng atau tidak.
Malah, dalam beberapa kesempatan, mengetahui terlebih dahulu beberapa titik cerita kadang mampu membuat penonton lebih peka, sehingga dapat mencerna lebih banyak hal. Bukankah ini yang kemudian membuat kita tidak bosan menonton film yang sama berkali-kali?
Tentu pandangan "membela spoiler" tidak berlaku untuk semua orang. Tapi penting pula untuk dipahami bahwa pandangan anti-spoiler juga tidak berlaku untuk semua orang.
Tidak semua orang harus menjadi pemandu belanja, dan menuruti permintaan pemilik film. Ada yang memang ingin mengemukakan temuannya, dan itu harusnya tak apa-apa.
ADVERTISEMENT
Lagipula, mereka yang alergi dengan spoiler pun sebetulnya bisa dengan mudah melindungi dirinya. Sesederhana tidak usah membaca review (yang mendetail) sebelum menonton filmnya. Itu mungkin lebih bijak, dan ramah untuk semua pihak.
Eh, tapi omong-omong, agak di luar topik nih ya, mereka yang anti-spoiler ini tahu juga enggak sih, kalau semua manusia [SPOILER ALERT] nantinya akan mati?