Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Orang-orang Rasis dan Jurnalisme Latah
17 Juli 2019 0:34 WIB
Diperbarui 19 November 2019 2:41 WIB
Tulisan dari Avicenna Raksa Santana tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Hoaks tronton TNI membawa WN Cina semula hanya menjadi kelucuan semata di mata saya. Sebagai bekas mahasiswa Atma Jaya yang pernah naik tronton serupa, saya jadi mengenang lucunya masa-masa awal masuk kuliah.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, setelah saya pikir-pikir, setidaknya ada dua persoalan serius yang harus dipelajari dari kekisruhan ini. Pertama adalah soal cara lihat yang rasis dan penuh prasangka.
Menurut Tempo , video hoaks tersebut viral di Facebook setelah disebarkan oleh akun Syaf Agis Rizkullah. Status yang telah disebarkan 4 ribu kali lebih itu menyebut “pendatang China Tiongkok” difasilitasi negara, diberikan pekerjaan, dan dilindungi oleh rezim.
Aduhai, lagu lama. Sentimen rasis yang mengada-ada macam ini sudahlah ada turun-temurun. Bahkan bukan hanya sentimennya; diskriminasi dan kekerasannya pun terus ada dari generasi ke generasi. Kapan kita bisa belajar dari kesalahan?
Pendatang Cina, seperti halnya pendatang Arab, India, dan lainnya, bukanlah hal baru. Dari dulu sampai sekarang itu ada. Kita bisa mempelajarinya dari sejarah, baik soal pengaruh yang dihadirkannya, maupun soal bagaimana negeri ini mendiskriminasi mereka .
ADVERTISEMENT
Soal bahaya prasangka, kita pun bisa belajar dari kacamata bangsa lain. Kita, misalnya, bisa belajar dari bagaimana orang Eropa dan Amerika menghadapi stereotip orang kulit hitam (yang kerap dianggap kriminal) ataupun orang Islam (yang kerap dianggap teroris).
Masalah prasangka dan sentimen rasis memang penting. Tapi, bagi saya pribadi, mengatasi prasangka di kepala semua orang hampirlah mustahil. Yang lebih penting adalah membuat prasangka-prasangka itu tidak berkembang dan menjalar ke banyak orang.
Singkat cerita, status Syaf Agis Rizkullah terbukti keliru. Diketahui bahwa penumpang tronton tersebut adalah mahasiswa FKIK Unika Atma Jaya, bukan pendatang dari Tiongkok. Para mahasiswa itu dikabarkan menyewa tronton untuk kegiatan medicamp di Gunung Puntang.
Sungguh tidak penting ternyata. Saya bahkan jadi bertanya, apa awalnya yang membuat kita mempersoalkan itu semua? Kenapa sampah media sosial itu hadir di muka saya? Tidak bisakah sampah media sosial itu selesai di media sosial saja? Kenapa harus diberitakan?
ADVERTISEMENT
Ini bukannya saya menganggap wajar hoaks. Hoaks jelas sampah yang harus dibersihkan. Tapi hoaks dan media sosial sudahlah menjadi satu paket tak terpisahkan.
Sampai kapan pun, akan selalu ada pihak-pihak tak bertanggungjawab yang menyebarkan kebohongan, baik disengaja (berniat menyesatkan) maupun tidak (murni kebodohan).
Sejatinya, media dapat berperan sebagai gatekeeper informasi yang menyaring segala hoaks. Tapi, apa hendak dikata, untuk hoaks tronton, justru “media” menjadi pihak yang menggembar-gemborkan hoaks. Dan inilah letak persoalan kedua.
Media Jangan Latah
Dari penelusuran di Google dan media sosial, tampak bahwa kumparan yang paling banyak membicarakan persoalan ini. Salah satu berita yang awal-awal muncul berjudul: Truk yang Bawa WN China Ramai di Medsos Juga Bukan Punya Polisi .
ADVERTISEMENT
Tampak bahwa berita itu sama sekali tidak mempertanyakan apakah penumpang tronton itu WN China atau bukan. Tidak ada selipan kata “diduga” atau “disebut” di belakang “bawa WN China”. Dengan kata lain: “bawa WN China” semacam sudah menjadi kebenaran.
Ketika kumparan hanya membahas “kepemilikan truk”, pembaca praktis meyakini bahwa penumpang truk itu memang benar WN Cina. Inilah yang kemudian membuat twit Tengku Zulkarnain ramai tidak karuan.
Orang-orang yang membalas twit Tengku Zulkarnain tidak lagi mempersoalkan siapa penumpang truk, tapi “institusi mana yang berkhianat”.
Redaksi mungkin berargumen bahwa berita itu fokus pada kepemilikan tronton, dan bahwa di berita-berita berikutnya mereka terus menelusuri “kebenarannya”. Tapi apa artinya argumen semacam itu?
Pemberitaan setengah-setengah tersebut telanjur menggaungkan hal ngawur. Bahkan lebih ngawur daripada pembuat video hoaks itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Masalahnya adalah orang dalam video bahkan tidak menyebut penumpang tronton itu sebagai “WN China”. Dia hanya menyebut bahwa itu orang-orang Cina. Sebagai jurnalis, redaktur kumparan harusnya tahu bahwa ada perbedaan mencolok antara orang Cina dan WN Cina.
Kekisruhan semacam ini harusnya tidak terjadi lagi ke depannya. Tidak salah memang memberitakan “kabar panas”. Tapi sebelum “kabar panas” itu diberitakan, pastikanlah dulu kebenarannya.
Penemuan informasi bahwa “truk yang tersebut ternyata mengangkut mahasiswa Atma Jaya” harusnya terjadi di balik layar, bukan menjadi berita kesekian. Masa iya pembaca diajak bingung bareng sepanjang pencarian kebenaran?
Langsung saja terang benderang , tidak usah gelap-gelapan!