Konten dari Pengguna

Emotional Eating sebagai Coping Mechanism: Sehat atau Tidak Sehat?

Ayesha Sumaya Ardiningrum
Mahasiswa Psikologi di Universitas Brawijaya
5 Desember 2021 18:04 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ayesha Sumaya Ardiningrum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo by Sander Dalhuisen on Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Photo by Sander Dalhuisen on Unsplash
ADVERTISEMENT
Berbagai orang memiliki beragam caranya sendiri dalam mengatasi stress atau tekanan. Mulai dari berolahraga, menonton video lucu, melakukan hobi, hingga makan.
ADVERTISEMENT
Ketika sedang stres tak sedikit orang memilih menggunakan makan sebagai pelampiasan atau sekadar pengalihan fokus. Namun, perlu kita pertanyakan, apa sehat menggunakan makan sebagai cara untuk mengatasi stres adalah cara yang benar? Apakah itu sehat?
Simak penjelasannya berikut:

Pengertian Stres

Sebelum kita membahas lebih jauh apa itu emotional eating, kita harus tahu dulu apa itu stres. Stres merupakan hal yang biasa kita rasakan. Setiap manusia pasti pernah mengalami stres. Menurut Kupriyanov dan Zhdanov (2014), stres yang ada saat ini adalah sebuah atribut kehidupan modern. Jika melihat kutipan tersebut menandakan bahwa, stres bisa menyerang siapa pun dan di mana pun. Seperti yang dikatakan oleh Lin dan Huang (2014) bahwasanya stres dengan jumlah yang begitu banyak dapat membahayakan orang yang mengalaminya.
ADVERTISEMENT

Pengertian Coping

Awalnya para psikolog mendefinisikan stres sebagai keadaan rangsangan emosional dan fisiologis yang tidak menyenangkan yang dialami orang dalam situasi yang mereka anggap berbahaya atau mengancam kesejahteraan mereka. Coping merupakan salah satu upaya kognitif yang dilakukan dengan maksud untuk menguasai, mengurangi, dan menoleransi tuntutan tersebut (Folkman & Lazarus, 1980).
Dalam teori yang dikembangkan oleh Lazarus dan koleganya lalu dikembangkan lebih lanjut oleh Carver dan koleganya di 1989, mengidentifikasi proses coping sebagai penengah penting dalam hubungan orang yang penuh dengan tekanan dengan lingkungannya dan hasil langsung jangka panjangnya.
Singkatnya, coping adalah cara yang kamu lakukan untuk mengurangi stress atau tekanan yang sedang kamu rasakan. Lalu, apa saja jenis-jenis coping?
ADVERTISEMENT

Jenis-jenis Coping

Meskipun ada banyak strategi coping (Skinner, dkk., 2003), secara umum yang diambil hanya ada dua kategori, yaitu strategi approach (bisa juga disebut aktif) dan strategi evasive (atau pelepasan).
Strategi approach berisi mekanisme kognitif dan behavioral dengan tujuan untuk membuat respons aktif terhadap penyebab stres, langsung mengubah masalah atau emosi negatif yang berkaitan. Biasanya, strategi ini berisi seperti perencanaan, mengambil tindakan tertentu, mencari dukungan (instrumental dan emosional), penilaian kembali yang positif dari situasi atau penerimaan.
Sementara strategi evasive berisi mekanisme kognitif dan behavioral yang digunakan untuk untuk menghindari situasi stres, seperti pengalihan, penyangkalan, dan pemikiran penuh harapan.
Berdasarkan klasifikasi tersebut ada kesepakatan yang besar bahwa strategi approach berhubungan dengan penyesuaian akademik, fisik, dan psikologis yang baik.
ADVERTISEMENT
Lalu, seperti apa coping yang tak sehat?
Secara umum, unhealthy coping justru akan menyebabkan stres atau kecemasan dan merusak kepercayaan diri (Dag, Yigitoglu, Aksakal, & Kavlak, 2015; Pirutinsky, Rosmarin, Pargament, & Midlarsky, 2011).
Mechanism-mechanism yang tidak berkontribusi pada pengelolaan masalah yang sehat dan efektif. Beberapa metode bahkan bermanifestasi pada dalam kebiasaan tidak sehat seperti (Healthwise, 2019):

Emotional Eating

Seperti yang sudah dikatakan di atas, emotional eating merupakan salah satu coping mechanism yang tidak baik untuk kita terapkan. Tapi, apa itu emotional eating sebenarnya? Emotional eating adalah suatu kondisi di mana seseorang makan bukan karena lapar, melainkan untuk mengatasi emosi. Saat seseorang sedang stres, marah, atau bahkan sedang senang. Individu tersebut akan mencari makanan untuk menenangkan emosi dan mengalihkan perhatian.
ADVERTISEMENT
Susan Albers, PsyD dikutip dari Cleveland Clinic, mengatakan bahwa masalah sering yang sering terjadi adalah orang-orang sering kali tidak bisa membedakan kelaparan yang nyata dan kelaparan emosional. Seperti bagaimana jika kita lapar secara nyata berlangsung secara bertahap dan tergantung dengan kapan kita terakhir makan. Sementara kelaparan secara emosional terjadi dikarenakan berbagai emosi, seperti ketika kita sedih, stres, atau khawatir, dan terjadi secara tiba-tiba.
Lalu, apasih yang membuat emotional eating itu tidak baik? Rangsangan yang mengancam dan bermakna kognitif mengaktifkan sistem saraf emosional yang sebagian menentukan respons (contohnya fight-or-flight). Mengingat sifatnya yang seperti upah, diduga sementara bahwa makanan yang enak dapat berfungsi sebagai "comfort food" sebagai pengobatan diri sendiri dalam mengatasi stres.
ADVERTISEMENT
Orang yang tidak sedang berbahagia telah terbukti akan mengkonsumsi makanan tinggi lemak dan/atau gula dengan porsi yang banyak. Sedangkan ketika sedang berbahagia, akan menyukai asupan buah-buahan kering yang kurang enak.
Orang yang sedang mengalami stres atau kreativitas kortisol yang lebih besar mengkonsumsi lebih banyak makanan dengan kandungan gula dan lemak yang lebih tinggi. Demikian pula, secara natural, orang dengan reaktivitas kortisol tinggi melaporkan ngemil yang lebih besar sebagai respons terhadap stres sehari-hari.

Kesimpulan

Jadi, dapat disimpulkan bahwa emotional eating bukan suatu cara coping yang baik. Sebagaimana emotional eating dapat menyebabkan berbagai penyakit seperti obesitas, diabetes, dan berbagai penyakit lainnya. Sebaliknya, kita bisa menggunakan strategi coping yang lebih baik seperti melakukan hobi, melakukan peregangan, atau sekadar menonton video lucu. Dengan itu, selain kita menjadi semakin sehat, kita juga dapat menyelesaikan akar dari stres kita dengan perasaan lebih lega dan positif.
ADVERTISEMENT
sumber:
ADVERTISEMENT