Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten dari Pengguna
Belajar dari Para Pemegang Komando di Laut
3 Desember 2023 9:37 WIB
·
waktu baca 8 menitTulisan dari Ayu Novita Pramesti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dalam rangka memperingati Hari Armada Republik Indonesia ke-76, izinkan saya berbagi sedikit kisah dari rekan-rekan Papa saya di Akademi Angkatan Laut (AAL). Papa saya dan rekan-rekannya itu pernah menempuh pendidikan di AAL pada tahun 1959-1962. Mereka harusnya lulus pendidikan pada bulan Oktober 1962.
ADVERTISEMENT
Namun, karena ada operasi Trikora yang dicanangkan Presiden Soekarno untuk membebaskan Irian Barat, kelulusan mereka dipercepat tiga bulan. Akhirnya, pada tanggal 17 Juli 1962, Papa dan rekan-rekannya dilantik menjadi perwira remaja TNI-AL dan jadilah mereka alumni AAL Angkatan IX.
Dari sekian ratus alumni AAL Angkatan IX, hanya ada tujuh orang yang berhasil meraih bintang dua dan bintang tiga. Satu orang berhasil menjadi perwira bintang tiga berpangkat Laksamana Madya. Satu orang berhasil menjadi perwira bintang dua berpangkat Mayor Jenderal Marinir. Lima orang berhasil menjadi perwira bintang dua berpangkat Laksamana Muda.
Ketujuh orang tersebut yang akhirnya berhasil menapaki puncak karier sebagai pemegang komando adalah:
1. Laksamana Madya Soemitro (Panglima Armada Timur 1989-1991)
ADVERTISEMENT
2. Laksamana Muda Soemartono (Panglima Armada Barat 1989-1990)
3. Laksamana Muda Soentoro (Panglima Armada Barat 1990-1991)
4. Laksamana Muda Yusuf Effendi (Panglima Armada Barat 1991-1993)
5. Mayjen Marinir Baroto Sardadi (Komandan Korps Marinir 1990-1992)
6. Laksamana Muda Wahyono S.K. (Komandan Jenderal Akabri 1993-1994)
7. Laksamana Muda I Nyoman Suharta (Komandan Jenderal Akabri 1995-1996)
Waktu kecil, saya pernah dikenalkan oleh Papa saat reuni dengan ketujuh rekannya itu. Bahkan, saya pernah diajak ke rumah Om Soemartono, Om Soentoro, dan Om Nyoman. Dulu, saya belum mengenal mereka secara mendalam. Sekarang, saya berusaha belajar dari kiprah mereka yang telah dituangkan dalam buku kumpulan memoir. Buku itu dicetak pada September 2001 dan berjudul ‘Kami Prajurit Laut’.
ADVERTISEMENT
Berikut beberapa pelajaran yang dapat saya ambil dari mereka setelah membaca buku yang disunting sendiri oleh Om Wahyono S.K.
1. Om Soemitro
Setelah dilantik sebagai perwira, Om Soemitro sudah menguatkan cita-cita untuk menjadi Kepala Staf Angkatan Laut (KASAL). Namun, karena satu dan lain hal, beliau gagal menjadi KASAL dan harus puas untuk memperoleh jabatan sebagai Irjen ABRI. Beliau tetap melaksanakan tugasnya dengan baik. Bahkan, beliau ditunjuk mewakili ABRI untuk duduk dalam keanggotaan Komisi Penyelidik Nasional (KPN) guna menyelidiki insiden penembakan massal oleh aparat terhadap kelompok demonstran yang terjadi di Dilli, Timor Timur pada 1991. Setelah selesai berdinas di ABRI, beliau mendapat amanah untuk menjadi Duta Besar Indonesia untuk Iran.
Walaupun tidak menjadi KASAL, beliau telah berusaha mengabdi pada bangsa dan negaranya. Beliau sejatinya juga telah melaksanakan kutipan ini : ‘Shoot for the moon. Even if you miss, you'll land among the stars.’
ADVERTISEMENT
Om Soemitro memang gagal menjadi KASAL namun beliau berhasil menjadi satu-satunya perwira bintang tiga di Angkatan IX AAL.
Dalam akhir tulisannya di buku memoir itu, beliau berpesan,”Biarlah perjalanan karier membawa diri kita ke manapun juga, karena apa pun karier dan profesi yang kita jalani itu hanyalah karunia serta ujian dari Allah SWT dan pada akhirnya perjalanan hatilah yang menjadi sumber kualitas kehidupan kita.”
2. Om Soemartono
Beliau berasal dari Kepanjen, sebuah kota kecil di selatan Malang yang terletak di lereng gunung. Sejak duduk di bangku Sekolah Rakyat, beliau tertarik dengan nama kota Donggala dan kemudian bercita-cita untuk menjadi pelaut agar bisa naik kapal menuju kota itu. Setelah lulus SMA, beliau memutuskan untuk mendaftar menjadi Kadet AAL.
ADVERTISEMENT
Akhirnya, beliau berhasil lulus seleksi dan memilih Korps Pelaut. Pilihan tersebut tidak salah. Beliau menapaki karier sebagai perwira di kesatuan Buru Selam hingga ditugaskan sebagai Komandan KRI Yos Sudarso. Selain itu, beliau juga ditugaskan sebagai Wakil Asisten Staf Perencanaan dan Anggaran Mabes AL hingga akhirnya berhasil menjadi Panglima Armada RI Kawasan Barat dan Deputi Operasi KASAL.
Dalam akhir tulisannya di buku memoir itu, beliau berpesan,”Sebagai pribadi, kita juga harus selalu meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah SWT. Takwa yang tulus akan mendatangkan hidayah yang luar biasa.”
Om Soemartono sudah wafat beberapa waktu yang lalu. Saya mengenang beliau sebagai orang yang baik karena sewaktu SD pernah diajak Papa ke rumahnya. Halaman belakang rumah beliau di Kompleks TNI AL Pangkalan Jati dekat sekali dengan lapangan golf sehingga harus dilindungi oleh jaring-jaring. Waktu itu, saya senang sekali mengambil bola golf yang berhasil melewati jaring-jaring yang terpasang itu.
ADVERTISEMENT
3. Om Soentoro
Waktu masih kecil, saya hanya mengenal Om Soentoro sebagai Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla). Namun, setelah saya membaca profil beliau dalam memoir itu, beliau antara lain pernah menjadi Komandan KRI Pasopati pada 1972 , Ajudan Presiden RI pada 1978 serta Komandan Komando Pendidikan AL pada 1989. Masa kecilnya di Krian, Surabaya, mempengaruhi pilihan beliau untuk menjadi Perwira Angkatan Laut karena sering menjumpai pelaut dan para kadet laut.
Dalam akhir tulisannya di buku memoir itu, beliau berpesan,”Sejauh kita melakukan pekerjaan sebaik-baiknya dan kita tunjukkan dedikasi dan loyalitas kita, apa pun jalannya, apa kita di jalan tentara, di pemerintahan atau di swasta, sampai saat ini menomorsatukan kewajiban saya anggap masih relevan.”
ADVERTISEMENT
Om Soentoro juga sudah wafat. Ingatan saya yang tersisa tentang beliau adalah hubungan baik antara beliau dengan Papa dan Mama. Papa dan Mama pernah membantu beliau dengan menjadi panitia resepsi pernikahan putra beliau yang juga menjadi perwira TNI AL. Saya waktu itu juga hadir di resepsi pernikahan yang diselenggarakan di Taman Mini Indonesia Indah dengan mengundang tamu-tamu penting.
4. Om Yusuf Effendi
Saya melihat beliau sebagai perwira yang kreatif dan agak mbeling (sukar diatur), namun tetap loyal dan komitmen dalam menjalankan tugas-tugas yang diberikan. Setelah lulus AAL, beliau menolak untuk tes menjadi awak kapal selam. Beliau seorang perokok, sedangkan selama di kapal selam tidak boleh merokok. Sebagai gantinya, beliau dimasukkan ke satuan Buru Selam. Beliau juga pernah ditugaskan di Badan Intelijen Strategis dan pernah memasuki Vietnam serta Timor-Timur.
ADVERTISEMENT
Sewaktu menjadi Panglima Armada Barat, beliau berusaha membongkar jaringan perompak dengan menggunakan cara-cara intelijen. Selain itu, beliau juga pernah diam-diam memerintahkan untuk membangun kapal patroli dari bahan fiber glass tanpa sepengetahuan pimpinannya karena ide beliau untuk membangun kapal itu ditolak mentah-mentah.
Setelah jadi, kapal tersebut dilayarkan untuk diuji coba bersama pejabat-pejabat Mabes AL. Setelah uji coba, pejabat-pejabat itu dapat menerima ide beliau dengan beberapa catatan untuk perbaikan.
Beliau mensyukuri perjalanan kariernya dengan menuliskan ini pada buku memoir,”Beberapa kritik dari kawan baik menganggap saya kurang ambisius, tapi bagi saya pribadi hal itu saya nilai tidak merupakan suatu cela selama kita punya pendirian bahwa dijadikan apa pun, kita ingin melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.”
ADVERTISEMENT
5. Om Baroto
Perjalanan beliau untuk masuk ke AAL tidaklah mulus. Beliau harus menempuh tes sebanyak tiga kali hingga berhasil menjadi Kadet Korps KKO/Marinir AAL Angkatan IX. Selama menjadi kadet, beliau belajar menjadi pemimpin sebagai kapten di yanus baseball.
Setelah lulus AAL, beliau menjabat sebagai Komandan Kompi Tank dan harus memimpin bintara yang lebih senior dan sudah berpengalaman. Beliau berprinsip bahwa pemimpin itu harus mempunyai kemampuan, keberanian, dan kebijaksanaan.
Beliau sangat bersyukur karena ditunjuk sebagai Komandan Korps Marinir. Semasa menjadi komandan, beliau menginisiasi lomba triathlon dan lomba renang melintasi Selat Sunda yang sangat disambut baik oleh pengelola pariwisata. Untuk mengenang jasa beliau sebagai Komandan Korps Marinir, nama beliau dijadikan sebagai nama kesatrian di Markas Komando Yontaifib 2 Mar Marunda, Jakarta Utara.
ADVERTISEMENT
Saya kutip pesan beliau dalam memoir ini,”Just do your best. Jangan takut berbuat salah karena sekali takut salah, berarti akan ragu-ragu. Sedangkan keragu-raguan akan menimbulkan kesalahan bertindak.”
6. Om Wahyono
Beliau adalah seorang perwira yang kritis, cerdas, pandai menulis, dan perhatian pada pendidikan. Sewaktu menempuh pendidikan di Naval War College, Newport, Rhode Island, Amerika Serikat, beliau berani untuk memprotes pemutaran film yang mendeskreditkan bangsa kulit berwarna. Protes beliau membuahkan hasil. Film tersebut tidak lagi menjadi bagian dari kurikulum pendidikan.
Beliau juga perwira yang cerdas dalam mengungkapkan gagasannya serta terampil untuk menjadi komandan kapal, baik di kapal selam maupun di kapal atas air. Beliau juga seorang perwira yang pandai menulis. Beliau pernah menarik perhatian Panglima ABRI melalui tulisannya di Koran Kompas yang berjudul ‘TNI Tahun 1990’.
ADVERTISEMENT
Apa yang dilakukan beliau berhasil dan akhirnya beliau dipromosikan sebagai Kepala Subdirektorat Pengkajian Strategis di Departemen Pertahanan dan Keamanan sekaligus dinaikkan pangkatnya sebagai Kolonel.
Beliau juga menaruh perhatian besar pada pendidikan. Menjadi pengajar, baik di internal TNI AL maupun di beberapa universitas, sudah biasa dilakukan oleh beliau semasa berdinas. Selain itu, beliau ternyata adalah perintis SMA Taruna Nusantara di Magelang. Menjelang purnabakti, beliau diamahkan menjadi Komandan Jenderal Akabri.
7. Om Nyoman
Beliau adalah seorang Perwira Korps Teknik yang berbakat seni. Sewaktu belajar di Sekolah Tinggi Teknologi AL, beliau mengisi waktu luangnya dengan melukis menggunakan media malam dan canting. Lukisan yang dihasilkan beliau kemudian dijual di toko.
Hasil penjualan lukisan itu kemudian digunakan beliau untuk menambah uang saku. Selain itu, beliau juga membuat desain awal monumen yang kini berdiri tegak di Dermaga Ujung, Surabaya. Monumen itu diberi nama ‘Jalesveva Jayamahe’.
ADVERTISEMENT
Mama saya pernah bercerita bahwa beliau adalah lulusan terbaik AAL dari Angkatan IX. Namun, beliau tidak menceritakan hal itu dalam memoirnya. Ketika menjadi kadet, beliau berprinsip untuk tidak menyusahkan junior yang menghadapnya untuk meminta tanda tangan. Ketika menjadi perwira, beliau konsisten untuk tidak bermain golf hingga purnatugas.
Di awal kariernya sebagai perwira, beliau bertugas di Komando Djenis Kapal Selam (KDKS). Kiprah beliau sebagai sebagai perwira di kapal selam dapat ditonton di sini.
Demikianlah kiprah putra-putra terbaik bangsa dari alumni AAL Angkatan IX yang telah berhasil menerapkan semboyan Hree Dharma Shanty (malu berbuat cela). Semoga kisah singkat mereka bisa menjadi pelajaran bagi generasi muda untuk sabar dalam meniti karier di profesi apa pun.
ADVERTISEMENT