Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Gagasan Qutbisme dan Sisi Kontradiksinya
31 Maret 2021 7:37 WIB
Tulisan dari Al Ayyubi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Keberadaan Sayyid Qutb (1906-1966) sebagai salah satu tokoh pembaharuan Islam di pertengahan abad 20 sangat acap dikaitkan dengan berbagai kontroversi – mulai dari sumber yang mendasari gerakan ekstremis masa kini dan lain sebagainya. Terlampai menjelang akhir hayatnya di hadapan tiang gantung, Sayyid Qutb tetap teguh pada adicitanya yang bahkan tak tergadaikan oleh nyawa sekalipun.
ADVERTISEMENT
Alangkah menariknya bila kita menilik lebih dalam bagaimana gagasan pemikiran Sayyid Qutb atau lebih dikenal secara terminologi sebagai Qutbisme. Khususnya dalam konteks ini bagaimana Qutbisme memandang peradaban dan politik yang koheren satu sama lain. Selain menjelaskan bagaimana ide politik Islam melalui kacamata Qutbisme, penulis juga mengiringi kritik atas sisi kontradiksi dari gagasan tersebut.
Definisi Peradaban dalam Qutbisme
Untuk menggapai apa yang disebut peradaban, Sayyid Qutb secara fundamental berpendapat dalam bukunya Ma’alim Fi Ath-Thariq bahwa peradaban yang bersifat humanistik atau insani hanya bisa diwujudkan bila kehidupan dan tatanan masyarakat dibalut oleh hukum Allah. Masyarakat Islam adalah bentuk sinonim dari masyarakat yang berperadaban. Setiap komunitas manusia tak hanya sebatas dipersatukan oleh bahasa dan budaya, lebih jembar dari itu melalui tegaknya syariat Islam semua dapat terintegrasi mewujudkan arah gerak peradaban. Sebagaimana identitas, ikatan akidah dapat menghimpun erat seluruh perbedaan yang ada sehingga kerukunan dapat terealisasikan. Dari situ, tak perlu timbul rasa sentimen lantaran perbedaan warna kulit – entah dia yang berkulit putih, hitam, sawo matang, dan lain sebagainya – karena semuanya sama di mata Allah, yang membedakan hanyalah takwa.
ADVERTISEMENT
Kemudian Qutb berpendapat peradaban Islam ialah sejatinya peradaban sebab bersifat tarikhiyyah atau mengakar pada sejarah. Ditekankan kembali dalam buku itu perihal mengenai urgennya nilai kemanusiaan untuk membangun sebuah peradaban masyarakat Islami – yang tentu secara interpretasi berbeda dengan kemanusiaan versi barat.
Selain itu, bagi Qutb alangkah elok peradaban Islam mampu mengakomodasi nilai insani ketimbang memprioritaskan teknologi, ekonomi, ilmu pengetahuan dan lainnya namun jauh menyimpang dari kemanusiaan. Nilai kemanusiaan memanglah penting, tapi apa memang harus meninggalkan aspek teknologi, ekonomi, dan ilmu pengetahuan hanya untuk memperturut nilai humanistik versi Qutb? Tiada yang tahu penafsiran terperinci mengenai ini selain Qutb sendiri, namun dikhawatirkan gagasan yang sangat tekstual itu dipahami secara mentah-mentah. Yang ada nantinya hanya timbul persepsi kemunduran di mana masyarakat menganggap tidak apa-apa terbelakang secara teknologi, fakir ilmu, dan kekurangan ekonomi –semua ialah penderitaan– yang penting tetap baik kepada manusia dan cukup menjalankan ritual ibadah saja. Aspek kehidupan lain pun tak lagi dikuasai umat sehingga tinggal menunggu detik-detik kemundurannya. Bukankah dalam pandangan politik Islam keberadaan Islam bukanlah sebatas ritual ibadah yang begitu sempit, melainkan mencakup seluruh aspek kehidupan; politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, dan semuanya. Jadi menurut penulis pandangan tersebut terkesan kontradiktif dengan adicita politik Islam.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya mengenai masyarakat jahiliyah. Qutb menganggap seseorang bisa saja tidak lagi menjadi manusia bila ruh dan akalnya hilang. Mereka dapat terhimpun dalam masyarakat berperadaban jahiliyah. Jahiliyah di sini menurut Sayyid Qutb bukanlah perihal yang berkaitan dengan suatu periode sejarah, namun ialah keadaan masyarakat yang semakin menyimpang dari pedoman Islam. Jadi suatu masyarakat bisa menjadi jahiliyah bukan hanya di masa lalu, melainkan di masa kini atau masa depan pun dapat terjadi. Lantas seperti apa ciri masyarakat jahiliyah? Yaitu ketika eksisnya masyarakat yang terlalu memperturut hawa nafsu mereka sebagaimana binatang sehingga jauh dari kaidah manusiawi. Hidup lalai dengan memandang segalanya secara materialistik dan fanatisme terhadap kesukuan atau warna kulit, semua itu dianggap oleh Qutb ialah masyarakat jahiliyah. Gampangnya secara umum masyarakat jahiliyah itu dapat terwujud bila mereka tak acuh terhadap pentingnya nilai kemanusiaan – itu juga bagian dari hukum Allah. Dari sini kita dapat meninjau bahwa Qutb mendikotomikan peradaban masyarakat yaitu masyarakat berperadaban Islam dan masyarakat berperadaban jahiliyah.
ADVERTISEMENT
Jika tatanan masyarakat dianggap jahiliyah karena mereka tak lagi peduli dengan nilai humanistik sesuai landasan syariat, bukankah dalam hal ini Qutb mencoba menguniversalkan nilai humanistik pada pemikirannya? Bagaimana jika pemikiran tersebut dipromosikan untuk seluruh khalayak – bukan hanya Muslim? Yang patut dijadikan pertanyaan pula nilai humanistik seperti apa? Tidak semua masyarakat –khususnya di negara heterogen- bisa terhimpun sebagai bagian dari peradaban masyarakat Islam yang diakui Qutb sebab sudah sewajarnya bila umat Non-Muslim tak setuju dengan integrasi melalui syariat Islam… secara teologis saja sudah berbeda apalagi dasar hukum dan pemikirannya. Dikhawatirkan bila dikotomi peradaban tersebut disesuaikan di negara heterogen, perihal demikian hanya akan menciptakan disintegrasi bangsa. Perlu ditegaskan, suatu bangsa tidak harus dipersatukan oleh persamaan agama - gagasan ideologi dan cita-cita pun dapat menghimpun setiap insan untuk berbangsa sebagaimana contoh Indonesia dengan Pancasilanya.
ADVERTISEMENT
Qutbisme Memandang Politik
Islam bukanlah sebatas perkataan, bukan sesuatu yang eksis karena simbol-simbol Islami tertentu, bukan pula warisan dari orang tua. Islam mengatur seluruh tatanan kehidupan di dunia, termasuk bagaimana cara bersiyasah (berpolitik). Qutb berkata, “Islam takkan tegak di bumi yang tidak dikendalikan oleh Islam dan syariat-Nya”. Mandaville (1971) dalam bukunya yang berjudul Islam and Politic berpendapat bahwa gagasan politik Sayyid Qutb tak terlalu menekankan pentingnya kekhalifahan. Ia menaruh perhatian besar pada bagaimana pemberlakuan tatanan Islam dapat dicapai dengan elok dari kuasa politik sampai berdampak ke seluruh aspek yang ada dalam negara. Selain daripada itu, dapat dilihat Qutb lebih condong mendukung gagasan Darul Islam/negara Islam untuk keberlangsungan eksistensi Islam itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Polemik Darul Islam tiada henti-hentinya diperdebatkan hingga sekarang dan memang jika ditinjau dari rintangannya gagasan Qutb tak bisa semudah itu direalisasikan di negara multikultural yang beragam latar belakang. Jika mengecualikan aspek politik, Islam pun bisa terjamin keamanannya serta tumbuh subur di negara yang bukan merupakan negara Islam – bahkan di negara yang mana umat Muslim sebagai minoritas. Mengingat di zaman sekarang kebebasan beragama semakin ditegakkan di seluruh negara yang berdaulat. Bila memperjuangkan politik Islam sekalipun tidak harus berada di negara Islam, Indonesia yang boleh saja disebut Darul Ahdi (negara kesepakatan) menjamin politik agama berlangsung asalkan tetap dalam kaidah demokratis.
Orang-orang tidak diharuskan secara mutlak mematuhi pemimpin bila sang ‘pasak kunci’ tak tunduk pada hukum Allah atau syariat yang berlaku. Gagasan Qutb demikian mungkin secara tekstual dianggap banyak kalangan sebagai landasan untuk melegalkan pemberontakan dan kekerasan supaya suatu rezim dapat digulingkan. Penyerapan interpretasi mentah-mentah inilah yang dikhawatirkan menyebabkan menyebarnya kekerasan atas nama agama untuk kepentingan politik. Sehingga butuh dikaji lebih dalam lagi secara akademik agar setiap pembaca dan khalayak dapat mem-filter secara objektif terkait ide Qutbisme demi menjaga kerukunan dan keamanan bangsa.
ADVERTISEMENT
Konsep politik Islam yang dikemukakan Sayyid Qutb identik dengan theodemokrasi sebagaimana yang pernah digagas salah satu tokoh Islamis, Abu al-A'la al-Maududi. Al-Maududi sempat berkomentar dalam buku Herry Mohammad bahwa setelah membaca karya Qutb ia merasa yang menulis tulisan tersebut adalah dirinya sendiri. Gampangannya theodemokrasi menggunakan hukum syariat dan konsep musyawarah yang diselaraskan. Antara kedua tokoh itu mereka sama-sama melakukan pendekatan secara teologis. Hal demikian pun tampak ketika Qutb menginterpretasikan surat Al-Hajj ayat 71 yang diyakini bahwa seluruh ide atau gagasan manusia tak memiliki kuasa apa pun kecuali bersumber dari syariat Allah. Dapat ditinjau dari situ di mana Qutb ingin mengukuhkan setiap insan supaya mau menegakkan syariat pada aspek sistem bersiyasah. Argumen Qutb yang demikian terkesan menolak keabsahan politik agama-agama lain selain Islam sehingga tampak bertentangan dengan upaya universalisasi pemikirannya.
ADVERTISEMENT
Penutup
Dalam menulis artikel ini saya tidak bermaksud mendiskreditkan atau berupaya mempengaruhi pihak manapun sebab tulisan yang saya buat sebatas untuk kajian pemikiran Islam saja. Selain itu, apa yang saya tulis murni berasal dari pendapat saya setelah membaca beberapa sumber rujukan berupa buku dan jurnal.
Meski memang topik kali ini sedikit atau mungkin cukup sensitif alangkah baiknya kita tetap berusaha untuk menanggapinya secara bijak terlebih di ranah akademik agar tidak menimbulkan prasangka buruk apalagi perpecahan. Mari sama-sama menjaga persatuan dan kerukunan bangsa Indonesia untuk kemaslahatan bersama. Sekian dan terima kasih.