Konten dari Pengguna

Semarak International Cultural Festival HI Unila 2021

Al Ayyubi
Mahasiswa Pascasarjana UI
23 Oktober 2021 18:20 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Al Ayyubi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kegiatan Talkshow International Cultural Festival HI Unila via Zoom.
zoom-in-whitePerbesar
Kegiatan Talkshow International Cultural Festival HI Unila via Zoom.
ADVERTISEMENT
Sebagai mahasiswa yang mengikuti Program Kompetisi Kampus Merdeka (PKKM) kegiatan pengenalan budaya lokal adalah momentum elok untuk menambah pengalaman maupun wawasan terkait keberagaman kultur yang ada di Bumi Pertiwi ini sekalipun wabah pandemi Covid-19 masih membuat keadaan tak memungkinkan secara luring. Meskipun begitu, kegiatan demikian tetap mampu menjadi insight baru bagi para mahasiswa kampus merdeka untuk mengenal sejarah, kebudayaan, adat istiadat, dan lainnya yang merekat pada identitas setiap daerah tempat menuntut ilmu.
ADVERTISEMENT
International Cultural Festival 2021
Dalam konteks ini kita dapat menilik contohnya dalam semarak acara tahunan program studi Hubungan Internasional Universitas Lampung yakni International Cultural Festival (23/10/2021) dengan tema bertajuk "Talkshow: The Adaptation for Local Culture and A New Form in Digital Era" sesuai pilihan HMJ HI Unila selaku panitia yang bertugas. Kegiatan ini berlangsung secara daring via Zoom.
Tajuk yang diusungkan tentu menurut saya menjadi hal menarik sebab begitu relate dengan kondisi yang ada tatkala ini, terlebih bagaimana arus globalisasi dapat menjadi peluang sekaligus rintangan bagi keberadaan budaya lokal yang telah menjadi identitas nasional Indonesia di saat bersamaan.
Respon atas masifnya digitalisasi dalam kesempatan acara festival budaya ini dipaparkan dengan komprehensif oleh narasumber-narasumber yang hadir di antaranya ada Putri Sultan Sekala Brak Aregina Nareswari Firuzzaurahma Pernong, Sastrawan Lampung Isbedy Stiawan Z.S., dan Putri Ajeng Wulan Julitasari sebagai Putri Kebudayaan Indonesia 2019. Banyak pertanyaan menarik yang dilontarkan moderator tatkala itu untuk memantik diskusi di tengah 150 lebih peserta yang hadir di situ. Pembicaraan kali ini tentu menambah wawasan dan pengetahuan pengingat narasumber yang dihadirkan memiliki keahlian mereka masing-masing dalam memaparkan rintangan digitalisasi terhadap kebudayaan.
ADVERTISEMENT
Selaras Memanfaatkan Digitalisasi untuk Mensyiarkan Budaya
Dari pemaparan ketiga narasumber tersebut, terdapat keserasian frekuensi terkait pentingnya pemanfaatan teknologi digital untuk mensyiarkan budaya. Memadukan kemodernan dan perihal ‘tradisional’ sebagaimana budaya mampu menjadi sarana dalam menjaga sekaligus melestarikannya. Saya setuju, hal-hal yang disebut budaya bukan hanya sebatas tarian saja, lebih luas dari itu. Sastra, aksara, musik tradisional, bahkan peninggalan sejarah pun termasuk bagian dari khazanah budaya yang patut untuk dijaga. Bagaimana nantinya itu menjadi strategi Lampung misalnya dalam mempromosikan Gamolan Pekhing lewat konten kreatif, atau mengenalkan aksara had Lampung, dan lain-lain yang berpotensi di sana.
Bukan menghancurkan esensi asli budaya, justru era digital dapat ditilik faedahnya secara lebih lanjut untuk memperkenalkan hal yang belum diketahui khalayak. Seperti misal yang disebutkan ibu Aregina Nareswari terkait keberadaan Kerajaan Sekala Brak yang di era penuh internet ini bisa dicari lewat Google dan Wikipedia berkat unggahan konten tulisan. Jujur itu sesuai dengan apa yang saya alami di mana –saya yang menyukai sejarah— beberapa bulan silam baru-baru mengetahui adanya Kepaksian Sekala Brak yang menjadi asal-usul sejarah Provinsi Lampung.
ADVERTISEMENT
Saya jadi berpikir, sejarah-sejarah yang selama ini dipelajari di sekolah terlalu banyak membahas tentang kerajaan-kerajaan di Jawa, seolah-olah kerajaan lain yang juga eksis di masa lalu –hanya karena berbeda pulau— tak terjangkau dalam pembahasan. Dalam konteks daerah saya Lombok, khalayak mungkin belum banyak yang mendengar terkait Kerajaan Selaparang yang pernah gemilang di masa lalu. Seolah-olah Lombok di masa kini hanya sebatas diketahui wisata alamnya saja.
Minimnya informasi budaya dari daerah luar Jawa menjadi kendala tersendiri untuk mempromosikan kultur secara merata. Ini tentunya menjadi catatan bagi mahasiswa dan akademisi –yang dikatakan oleh narasumber ibu Aregina Nareswari sebagai garda terdepan sebagai pemandu dalam mensyiarkan kebudayaan lewat pendidikan— untuk lebih menggencarkan konten kreatif kebudayaan dengan memanfaatkan digitalisasi. Viralnya lagu "Lathi" dapat menjadi satu contoh dalam memadukan kebudayaan tradisional dan modern agar dapat dicakup oleh banyak khalayak bukan hanya lokal namun juga internasional.
ADVERTISEMENT
Agen-agen penyebar budaya lokal sekarang harus bisa berperan sebagai pembuat konten di dunia maya untuk menghadapi kenyataan di mana masyarakat zaman sekarang lebih suka mengikuti trend yang bertentangan dengan adat istiadat. Seperti yang dikatakan Mbak Wulan, para content creator Budaya dewasa ini harus mempunyai mindset tidak takut gagal sebab menjadikan suatu budaya itu viral tak semudah yang dibayangkan. Sebisa mungkin untuk tidak sekadar mengikuti trend yang ada, tetapi juga tetap kreatif dan berinovatif untuk itu.
Perlunya Apresiasi terhadap Budayawan dan Koordinasi Bersama
Penggiat budaya; mereka seniman, sastrawan, dan lainnya patut untuk diapresiasikan sebagaimana kinerja profesional mereka. Itu menegaskan profesionalnya mereka pun membutuhkan penghasilan sebagaimana yang dijelaskan bung Isbedy Stiawan. Penghargaan penggiat budaya tak sebanding dengan olahragawan menjadikan itu hal ironis, padahal keduanya juga memiliki kontribusi yang sama untuk negeri. Seniman dan sastrawan pun berhak mendapatkan apresiasi sebagaimana yang olahragawan dapatkan dari pemerintah.
ADVERTISEMENT
Untuk menguatkan eksistensi budaya dan melestarikannya secara turun-temurun tentunya butuh koordinasi yang baik antara budayawan (seniman, sastrawan, dan lainnya) bersama pemerintah untuk sama-sama mendukung satu sama lain. Itulah yang hendak menjadi penunjang asrinya kultur lokal masyarakat setempat agar tak tergerus oleh dampak negatif globalisasi. Selain itu, yang tak bisa dilupakan adalah peranan mahasiswa dan akademisi sebagai agen sekaligus pemandu syiar kebudayaan untuk melestarikannya dari generasi ke generasi lewat pendidikan.
Kesan Saya
Cultural Show di akhir sesi acara.
International Cultural Festival 2021 ini merupakan sebuah kegiatan menarik dan menambawah wawasan. Bukan hanya itu, juga menambah motivasi saya untuk menggali lebih dalam khazanah sejarah di Nusantara. Juga menambah semangat saya mencari referensi Lampung dalam bersastra ria. Terlebih dalam konteks ini bagaimana mempelajari sejarah dan kebudayaan Lampung. Semoga acara ini dapat diselenggarakan dengan lebih meriah tahun depan, tentunya dengan keadaan yang mana semua sudah luring. Agar semakin nyata bagaimana nantinya kita bercengkrama dan bertukar pendapat dalam membahas isu mengenai budaya.
ADVERTISEMENT
Harap pula kegiatan demikian di tengah program Kampus Merdeka mampu menjadi sarana untuk mempererat hubungan antar kampus yang bermitra, wa bil khusus di sini antara Universitas Islam Indonesia dan Universitas Lampung. Insya Allah, ketika pandemi berakhir semoga kita dapat saling bertatap muka. Terima kasih kepada narasumber-narasumber dan pihak-pihak penyelenggara acara, termasuk panitia dari HMJ HI Unila.