Konten dari Pengguna

Upaya Bertahap Jepang dalam Kebijakan Menanggulangi Terorisme

Al Ayyubi
Mahasiswa Pascasarjana UI
2 Juli 2021 14:35 WIB
·
waktu baca 3 menit
clock
Diperbarui 13 Agustus 2021 13:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Al Ayyubi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Unsplash
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Unsplash
ADVERTISEMENT
Sanak semua, sebelum memulai pembahasan alangkah baiknya kita mengawali topik ini dengan pendahuluan. Isu terorisme merupakan perihal yang sudah mendunia semenjak Peristiwa Serangan 9/11 pada tahun 2001 di Amerika. Selain mengancam legitimasi suatu negara, aksi teror pastinya sangat mengancam HAM setiap manusia yang tak bersalah sehingga patut Amerika Serikat menggagas kebijakan War on Terror untuk membasmi ekstremisme sampai ke akar-akarnya.
ADVERTISEMENT
Dalam hal ini, Jepang selaku negara yang ketergantungan dengan Amerika sangat terikat dalam menanggapi kebijakan War on Terror. Bahkan Nihon ikut serta membantu dukungan finansial sekaligus pengiriman pasukan sukarela SDF-nya ke negara-negara yang dianggap tempat maraknya terorisme; misal Afghanistan dan Irak. Tentu upaya Jepang ini sudah termaktub sebagai undang-undang Anti-Terorisme, oleh karenanya perihal demikian dapat menjadi landasan hukum dalam pengimplementasian ikhtiar penanggulangan teroris. Koheren dengan implementasi Pasal 9 yang ditafsir ulang.
Tak menutup kemungkinan negara sehomogen Jepang pun dapat menjadi sasaran teror yang mampu merusak stabilitas nasional, kesiapan negeri kelahiran Oda Nobunaga itu harus lebih terasah mengingat selepas Perang Dunia Kedua terjadi demiliterisasi yang membuat negara itu secara kekuatan militer amat terbatas. Akan tetapi di tahun 2014, Shinzo Abe sebagai Perdana Menteri Jepang menegaskan pasal 9 dalam konstitusi terkait pelucutan senjata dan kapasitas militer Jepang dapat direinterpretasi. Jadi sangat memungkinkan bagi Pasukan Bela Diri Jepang (JSDF) untuk membantu AS dan sekutu dalam mendukung perang melawan teror. Upaya ini pun digencarkan untuk meningkatkan keamanan nasional Jepang dan diplomasi publiknya sebagai negeri pembawa perdamaian.
ADVERTISEMENT
Reinterpretasi Pasal 9 dan Kaitannya dengan Upaya Pemerintah Jepang menghadap Ancaman Teror
Upaya reinterpretasi Pasal 9 pun bukan sebatas hanya untuk mendukung upaya melawan teroris global, melainkan pula sebab kehadiran ancaman nyata di kawasan Asia Timur yaitu Korea Utara nan tengah menunjukkan superioritas dengan rudal dan nuklirnya. Belum lagi peningkatan kualitas militer China sehingga membuat negeri panda tersebut berada di posisi ketiga terkuat dunia, dilansir dari Global Fire Power (2021). Semua itu pastinya akan menghambat kepentingan nasional Jepang di kawasannya, penurunan legitimasi politik dan stabilitas tentu memiliki potensi menjalar memporak-porandakan aspek lain bila dibiarkan. Maka, tak heran bila Jepang memprakarsai kebijakan anyarnya dengan mendirikan NDPG atau The National Defense Program Guidelines untuk mengoptimalkan dan mengkoordinasikan kebijakan aktif negeri sakura itu dalam melindungi stabilitas nasionalnya dari ancaman teror domestik maupun luar.
ADVERTISEMENT
Dengan eksisnya NDPG Jepang dapat lebih kompeten menjalin kerja sama militer - termasuk pelatihan gabungan - dengan Amerika Serikat untuk menguatkan kapabilitas askar-askar mereka. Diharapkan kehadiran kebijakan berkelanjutan Jepang dapat mencegah peristiwa-peristiwa teror mengerikan di masa lalu. Sebagaimana teror dari kelompok ekstremis Aum Shinrikyo yang acap melakukan pembunuhan, penculikan, dan lainnya - itu patut menjadi introspeksi pemerintah Jepang dalam menaruh konsen pada isu terorisme. Pada tahun 2004-an kelompok ekstrem tersebut melakukan serangan di kereta bawah tanah Tokyo yang menewaskan 13 jiwa (Wredhanto, 2018). Tidak cukup sampai di situ, ancaman teror lintas negara dari ISIS memperkeruh suasana keamanan Jepang - seorang jurnalis bernama Kenji Goto pernah diculik dan ditawan oleh rombongan jihadis itu. Pada 2015 pun Negara Islam Irak dan Syam mengunggah video berisi ancaman eksekusi pada 2 warga negara Jepang bernama Kenji Goto dan Haruna Yakawa. ISIS tatkala itu meminta tebusan 100 juta dolar pada masing-masing dari mereka. Pada akhirnya kedua insan itu gagal diselamatkan dan kemudian di sanalah Perdana Menteri Shinzo Abe berjanji untuk menghabisi terorisme tanpa ampun.
ADVERTISEMENT
Korelasi Isu terorisme dan Olimpiade Tokyo 2020
Kemudian memasuki awal tahun 2020 pemerintah Jepang kembali menguatkan isu terorisme beriringan dengan keberadaan Olimpiade Musim Panas 2020 yang seharusnya diadakan di negeri Sakura itu - bila tak terjadi pandemi. Susumu Takonai selaku Kepala Bidang Politik Kedubes Jepang untuk Indonesia mengungkapkan bahwa ketika olimpiade nanti berlangsung pastinya sekian ribu warga asing berdatangan; baik mereka dari atlet, wakil pemerintah, tamu-tamu kehormatan, maupun turis mancanegara. Oleh karenanya wajar bagi pemerintah jepang memposisikan isu penanganan terorisme sebagai prioritas. Ia pun berharap upaya penanggulangan terorisme ini dapat direalisasikan dengan kerja sama internasional. Tentu saja kebijakan kontrateroris Jepang berpengaruh dengan keamanan lintas bangsa sebab Olimpiade Tokyo 2020 akan dihadirkan oleh lebih dari 150 negara dan tidak menutup kemungkinan semua menjadi target kebiadaban pelaku teror bila tak ada antisipasi serta penanganan khusus.
ADVERTISEMENT
Setidaknya lantaran mewabahnya Covid-19, Olimpiade Tokyo 2020 ditunda, namun bukan berarti hal demikian membuat pemerintah Jepang lengah. Pastinya itu akan tetap menjadi agenda perjuangan Jepang untuk menjamin keamanan negara-negara lain yang bertamu di tempatnya - ketika sekiranya suasana telah membaik sehingga dimungkinkan untuk diselenggarakannya olimpiade tersebut.
Terlepas dari polemik pro dan kontra undang-undang Anti-Teror – misal sebagian rakyat ada yang berpendapat itu hanya mengancam kebebasan berekspresi dan privasi (Kertopati, 2017) atau yang lainnya mendukung – yang digagas, setidaknya pemerintah Jepang sudah berusaha secara bertahap tahun demi tahun untuk mencurahkan perhatiannya terhadap isu terorisme yang pastinya dapat mengancam stabilitas internasional dan hak asasi manusia setiap khalayak. Tindakan yang dilakukan pemerintah Jepang kiranya sudah tepat dalam konteks mengantisipasi dan mempersiapkan perlindungan ekstra terhadap serangan teroris sehingga memang benar, pada akhirnya perihal nan utama dibutuhkan ialah kerja sama bukan hanya sebatas entitas seperti negara, melainkan pula rakyat, organisasi non-pemerintah, perusahaan lintas negara, dan lain sebagainya untuk saling bahu-membahu memberantas ekstremisme global.
ADVERTISEMENT
Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan sejauh ini, pemerintah Jepang konsisten - walau secara bertahap - memberlakukan kebijakan untuk memerangi terorisme yang mengancam keamanan global. Reinterpretasi Pasal 9 pun menjadi ikhtiar besar Nihon untuk turut berpartisipasi menciptakan perdamaian dunia dengan menyukseskan perlawanan pada kelompok-kelompok teror entah domestik maupun mancanegara. Upaya tersebut terus berlanjut agar tak mengulangi peristiwa pilu yang telah berlalu di negeri itu. Sekaligus menjadi introspeksi Jepang dalam mengantisipasi hadirnya ancaman ekstremis di masa yang akan datang. Dan tak lupa langkah itu dapat berjalan berbarengan dengan agenda Jepang untuk menjaga legitimasi politik dan kepentingan ekonominya di kawasannya dari negara tetangga yang dianggap mengancam.