Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Belajar dari Mo Yan, Sastrawan Otodidak Peraih Nobel
6 September 2017 8:08 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Ayung Notonegoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Mo Yan, begitu nama pena yang disandangnya. Sebuah nama yang diilhami nasehat orang tuanya kala masih kecil. "Jangan bicara" demikian artinya. Yaitu sebuah larangan dari ayahnya untuk tak mengungkapkan isi pikirannya saat berada di luar. Pemikiran yang kritis di negara komunis semacam Tiongkok pada era 50-an, adalah preseden buruk bagi pelakunya.
ADVERTISEMENT
Lebih baik diam ketimbang apa yang dikatakan tak sesuai dengan kehendak rezim. Kurang lebih demikian harapan orang tua pada anaknya yang terlahir dengan nama Guan Moye itu. Akan tetapi, mulut besar Moye, dalam arti sebenarnya (lahiriah), maupun kiasannya (kritis), ternyata tak cukup hanya dinasehati 'jangan bicara' oleh ayahnya. Kecerdasan alamiahnya mengantarkannya pada letupan pemikiran yang menggugat semua ketakberesan yang dilihatnya.
"Nak, kau adalah burung hantu yang merusak reputasinya dengan mengumumkan kabar baik," demikian Mo menirukan nasehat ibunya akan sikap-sikap kritisnya, sebagaimana yang ia ceritakan pada novel otobiografisnya, 'Di Bawah Bendera Merah'.
Petaka akan kekritisan kata-kata anak kelahiran 17 Februari 1955 itu, datang saat usianya menginjak 12 tahun. Ia terlibat polemik dengan seorang guru yang sebenarnya ia kagumi. Ia adalah guru Matematika. Namanya Liu Tianguang. Dari polemik itulah, Mo dikeluarkan dari sekolah. Mo pun hanya menamatkan sekolah hingga kelas lima.
ADVERTISEMENT
Mo kecil tumbuh sebagai anak petani di daerah Gaomi, Provinsi Shandong, China. Meski tak lagi menikmati bangku sekolahan, Mo Yan adalah sosok pembelajar otodidak yang kuat. Kecerdasannya yang alamiah menjadi guru sekaligus pembimbingnya sendiri.
Di kampungnya yang dekat dengan daerah Pertanian Negara Sungai Jiao itu, Mo menjadi seorang kutu buku. Ia banyak membaca buku-buku cerita yang pada dasarnya sangat sedikit akses buku di kampungnya itu. Kisah klasik seperti halnya 'Sam Kok', 'Hung Lou Meng' dan 'Si You Ji' adalah sederet bacaannya kala itu. Begitu juga puisi-puisi yang berasal dari zaman Tang dan Song juga dibaca sekalian dihafalnya.
Kegigihannya belajar dan kesenangannya membaca kelak akan memberi manfaat besar dalam hidupnya. Dari seorang anak petani, drop out sekolah, ikut bertani, beralih menjadi buruh pabrik adalah sederet lakon kehidupan yang harus diperankannya. Sebelum kelak, ia dinobatkan sebagai seorang sastrawan China yang pertama kali meraih nobel sastra.
ADVERTISEMENT
Karir kepenulisannya berawal dari masuknya ia menjasi anggota Tentara Pembebasan Rakyat pada Februari 1976. Sebuah harapan yang terwujud setelah berusaha tiga tahun lamanya. Di korp militer ini, ia hanya menjadi pesuruh di dalam barak. Unit nomor 263 di bawah pengawasan komandan Brigade ke-34, Mo bertugas.
Di kemiliteran ini, Mo tak memiliki ambisi karir yang begitu menggebu. Ia sadar diri sebagai seorang drop out-an sekolah dasar. Cita-cita tertingginya kala itu, hanyalah menjadi sopir truk militer kuno Gaz 51. Di kampungnya, ada seorang yamg begitu dikagumi masyarakat karena memiliki kendaraan tersebut. Mo pun ingin mengikuti jejaknya.
Akan tetapi, banyak pihak yang tak setuju jika Mo menjadi hanya seorang sopir. Teknisi Zhang, rekan kerja Mo yang menjadi sopir Gaz 51, suatu ketika pernah berkata padanya.
ADVERTISEMENT
"Kau terlalu berbakat untuk menyia-nyiakan hidupmu sebagai sopir truk. Itu bagaikan menembak jatuh seekor nyamuk dengan meriam. Sabarlah. Nasib baik akan menemukanmu suatu hari nanti."
Nasehat teknisi Zhang itu, mulai menemukan kenyataannya. Mo dipanggil komandannya untuk bersiap ditugasbelajarkan di PLA Enginering and Technical Collage di Zhengzhou. Hal ini tentu penawaran yang sangat menarik. Ia bisa menaikkan status keperwiraannya di korp tentara itu.
Untuk mempersiapkan ujian itu, Mo belajar dengan amat tekun secara otodidak. Berbagai ilmu eksakta seperti kimia, fisika dan matematika ia pelajari dari buku-buku pelajaran setingkat SMA yang ia pinjam dari kakaknya. Ia menghafalkan semua rumus-rumus dan mencoba untuk memahaminya dengan sangat keras. Hingga, banyak teman-temannya yang menyindirnya umpama narapidana yang pucat pasi karena terlalu suntuk belajar.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, setelah berjibaku dengan rumus-rumus selama enam bulan, kabar buruk datang menghampiri Mo. Komandannya memberitahukan, bahwa Mo tak bisa mengikuti tes masuk perguruan tinggi enginering yang ditawarkan sebelumnya. Apakah Mo kecewa? Ya. Tapi, Mo tak putus asa. Berkat ketekunannya belajar, ia dipercaya menjadi salah satu pengajar matematika kepada para perwira di kampnya berdinas. Saat itu, pemerintah sedang kampanye pemberantasan buta huruf di lingkungan ketentaraan.
Berkat reputasinya yang baik selama menjadi pengajar perwira, Mo dipercaya masuk ke Batalion Pelatihan Baoding. Di tempat yang baru ini, Mo bisa berlangganan majalah 'Sastra Rakyat' dan 'Seni Budaya Tentara Pembebasan Rakyat'. Dari dua majalah itu, Mo terlecut untuk bisa menulis pula. Menulis sastra tepatnya. Upaya pertamanya, adalah menulis cerpen berjudul 'Ibu'. Kemudian menulis naskah drama berjudul 'Perceraian' yang dikirim ke redaksi majalah langganannya. Sayang, naskah itu ditolak karena dianggap terlampau panjang. Dari sinilah, momentum Mo sebagai seorang penulis sastra menemukan titik tumpunya.
ADVERTISEMENT
Semenjak itulah, Mo banyak menulis karya sastra. Ratusan cerpen telah ia tulis. Begitu pula berbagai novel telah ia hasilkan. Seperti halnya 'Red Sorghum', 'The Garlic Ballads', 'The Republic of Wine' dan 'Big Breasts and Wide Hips' adalah novel-novel karya Mo yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa. Bahkan, beberapa diantaranya telah diadaptasi ke dalam film yang berhasil menembus box office.
Akan tetapi, keberhasilan Mo dalam dunia sastra itu, tak merubah karakteristiknya. Ia tetap kritis menyuarakan kegundahannya atas ketakberesan. Sebagaimana suatu watak yang telah tumbuh sejak ia belia. Atas kritik-kritik Mo terhadap pemerintah komunis yang terselip dalam karya-karyanya, tak jarang membuat karyanya dibrendel oleh rezim kala itu.
Hal tersebut bukan malah meredam karir kepenulisannya Mo Yan. Tapi justru malah membuat namanya melambung ketingkat internasional. Tak ayal sebuah penghargaan paling prestisius, Nobel Sastra, berhasil dibawa pulang pada tahun 2012 oleh seorang yang bergelar "penulis China paling terkenal yang karya-karyanya paling sering dilarang beredar."
ADVERTISEMENT
Keberhasilan Mo Yan dalam dunia kepenulisan sastra ini, tak sekedar menerbitkan decak kagum. Tapi juga memberikan sebuah teladan: ketekunan adalah kunci kesuksesan. Sekolah hingga perguruan tinggi sekalipun tak akan menjamin suatu kesuksesan tanpa adanya ketekunan. Sebaliknya, jika ada ketekunan, meski hanya otodidak, kesuksesan itu, pasti akan diraih.
"Nasib baik akan menemukanmu suatu hari nanti." (Ayung)