Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Hari Bendera Nasional Yang Terlupakan
22 Agustus 2017 18:26 WIB
Diperbarui 14 Maret 2019 21:15 WIB
Tulisan dari Ayung Notonegoro tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Pengibaran bendera merah putih sepanjang 72 meter di Pulau Tabuhan oleh PC IPNU IPPNU Banyuwangi beberapa waktu lalu (17/8). (Foto: Cholid)
ADVERTISEMENT
PERNAHKAH kita bertanya, sejak kapan dan bagaimana ceritanya, setiap Agustus pengibaran bendera merah putih dilakukan dimana-mana, sebulan penuh? Tak hanya di depan rumah ataupun kantor, tapi juga di kendaraan dan di tempat-tempat lainnya, juga disematkan bendera merah putih?
Mungkin sebagian besar akan menduga sejak Agustus 1945 silam. Tapi, bagaimana ceritanya rakyat bisa mengibarkan dengan leluasa, padahal saat itu serdadu Jepang masih kuat di Indonesia. Bahkan, berita tentang proklamasi yang dibacakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus tak langsung bisa tersebar dengan baik. Karena, saat itu, Jepang masih melakukan sensor ketat terhadap pemberitaan.
Tradisi pengibaran bendera merah putih tersebut, setidaknya bisa kita telusuri pada peristiwa heroik pada 22 Agustus 72 tahun silam. Saat itu, ada peristiwa penting dalam fase kemerdekaan bangsa Indonesia yang tak banyak diperbincangkan dalam narasi sejarah populer. Banyak kalangan yang menyebut peristiwa tersebut dengan Hari Bendera Nasional.
ADVERTISEMENT
Frank Palmos, seorang sejarawan asal Australia, dalam bukunya Surabaya 1945: Sakral Tanahku menceritakan bagaimana heroiknya peristiwa yang tak banyak sejarawan menulisnya tersebut. Kejadian pada hari Sabtu itu, bendera merah putih dikibarkan dengan massal di segala penjuru Surabaya. Berbagai bentuk bendera, besar dan kecil, baik dari kain maupun dari kertas, tersebar di kalangan rakyat. Ada yang menaruhnya di gedung rumahnya, ada yang memasangnya di jalanan, di spatbor kendaraan, di pegangan becak dan mengikatkannya di lengan dan kepala para pejuang.
Mereka menggunakan apapun untuk bisa memiliki bendera merah putih. Potongan baju atau celana, asal berwarna merah dan putih, mereka sulap menjadi bendera. Suhario, salah seorang pelaku sejarah, dalam Memoar Hario Kecik, menyebutkan, saat itu banyak perempuan Surabaya yang terampil menjahit. Di tengah kelangkaan kain, mereka bisa mengubah sepasang celana menjadi sepotong kemeja. Jadi, kalau sekedar menjahit kain-kain yang berserakan dibuat sedemikian rupa menjadi bendera merah putih aneka ukuran, bukanlah hal yang sulit.
ADVERTISEMENT
Kibaran bendera merah putih semakin semarak kala itu, karena setiap orang yang melintas senantiasa memekikkan kata Merdeka, Bung! Yang disambut dengan pekik yang lebih kencang lagi dari orang yang disapanya, MERDEKAAA…..!!!
Suasana heroik pengibaran yang ditaksir lebih dari 50 ribu lembar bendera itu, menurut Palmos, memiliki peranan penting dalam mendukung eksistensi proklamasi kemerdekaan yang dilakukan oleh Soekarno beberapa hari sebelumnya. Penguasaan Jepang pada sarana komunikasi, informasi dan media massa saat itu, memberikan sensor yang cukup ketat kepada masyarakat untuk mengakses berita proklamasi tersebut.
Tentu saja, aksi sensor Jepang itu, mengakibatkan keacuhan rakyat Indonesia. Di tengah keacuhan itulah, pengibaran bendera merah putih secara massal dan serempak, menjadi peristiwa pertama yang memberikan dukungan terhadap proklamasi kemerdekaan. Dengan pengibaran bendera tersebut, apa yang dilakukan oleh Soekarno Hatta di Jakarta, bukanlah kehendak segelintir elit saja. Tapi, memang kehendak rakyat secara menyeluruh. Dukungan berupa pengibaran bendera merah putih adalah buktinya.
ADVERTISEMENT
Sayangnya, menurut Palmos, episode penting dalam sejarah kemerdekaan ini, tak banyak dikutip oleh para sejarawan. Baik dalam negeri maupun dari luar negeri. Palmos mencatat, penulis Asing yang mengabadikan peristiwa itu hanyalah Frederick dalam bukunya Heat and Vision. Dalam tulisannya tersebut, Frederick menyebut Surabaya seolah kebanjiran bendera, meski ia tak menyebut secara meyakinkan kapan kejadian itu berlangsung.
Para sejarawan dalam negeri setali tiga uang. Peristiwa Hari Bendera Nasional tersebut, hanya sayup-sayup terdengar dalam memoar-memoar para pejuang. Seperti halnya pengakuan pengakuan Jenderal (Purn) Suhario dan Jenderal (Purn) Sungkono Irna Soewito.
So, hari ini, hari yang bertepatan dengan peristiwa Hari Bendera Nasional itu terjadi, sudahkah mengibarkan bendera merah putih? Semoga sudah!
ADVERTISEMENT