Konten dari Pengguna

Komentar Jadi Bencana: Mengatasi Krisis di Media Sosial

Azhariyah Khalida
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Andalas
24 Desember 2024 15:07 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azhariyah Khalida tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Media sosial telah menjadi komponen penting dalam strategi komunikasi korporat. Platform digital seperti Instagram, Twitter, dan Facebook memberikan perusahaan kemampuan untuk menjangkau audiens secara langsung, mempromosikan produk, hingga membangun citra perusahaan secara cepat. Namun, media sosial juga menciptakan tantangan signifikan, terutama dalam bentuk potensi krisis komunikasi yang dapat berkembang dalam hitungan jam. Sebuah kesalahan kecil, seperti unggahan yang kontroversial, penggunaan bahasa yang kurang sensitif, atau respons yang tidak profesional terhadap keluhan pelanggan, dapat menyebar dengan cepat di ruang digital. Akibatnya, reputasi perusahaan bisa terancam dan menghadirkan dampak negatif secara finansial, hukum, maupun citra.
ADVERTISEMENT
Krisis komunikasi bukan lagi sekadar ancaman bagi perusahaan besar dengan jangkauan global, tetapi juga bagi organisasi kecil yang bergantung pada kehadiran digital untuk mempertahankan kelangsungan bisnis mereka. Dalam konteks ini, kemampuan untuk mengidentifikasi, menanggapi, dan mengelola krisis komunikasi secara efektif menjadi elemen kunci untuk melindungi reputasi. Artikel ini mengeksplorasi manajemen krisis komunikasi di media sosial dengan memberikan pendekatan berbasis teori, mendalami contoh kasus relevan, dan menawarkan langkah-langkah praktis yang dapat diadopsi perusahaan untuk menghadapi tantangan ini.
sumber pexels
Teori menjadi dasar yang penting dalam memahami dan mengelola krisis komunikasi. Salah satu teori yang sering digunakan dalam konteks ini adalah Situational Crisis Communication Theory (SCCT) yang dikembangkan oleh W. Timothy Coombs. Teori ini menjelaskan bahwa jenis dan sumber krisis menentukan bagaimana perusahaan harus merespons secara komunikatif. SCCT mengklasifikasikan krisis ke dalam tiga kelompok utama. Pertama, ada Victim Cluster di mana organisasi menjadi korban, misalnya dalam kasus bencana alam atau serangan cyber, sehingga perusahaan lebih fokus menunjukkan empati dan mendukung proses pemulihan. Kedua, Accidental Cluster, di mana krisis terjadi tanpa disengaja akibat faktor teknis atau operasional, sehingga respons transparansi dan tindakan korektif menjadi elemen kunci. Ketiga, Preventable Cluster, di mana krisis muncul akibat kelalaian atau kesalahan internal perusahaan, yang menuntut permintaan maaf dan perubahan nyata untuk memperbaiki keadaan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, pendekatan “Social Amplification of Risk” oleh Kasperson et al. membantu menjelaskan bagaimana isu kecil dapat diperbesar di ruang digital melalui interaksi antara aktor media sosial, publik, dan pemberitaan media tradisional. Fenomena ini menggambarkan mengapa suatu isu dapat meluas bahkan ketika masalahnya dianggap minor secara internal. Akibat dari amplifikasi risiko ini, organisasi harus memperhatikan bukan hanya skala krisis tetapi juga bagaimana krisis tersebut disebarkan dan diterima oleh publik di media sosial.
Dalam konteks media sosial, teori ini sangat relevan karena platform digital memfasilitasi penyebaran pesan dengan sangat cepat dan luas. Di sisi lain, publik semakin memiliki suara dalam menentukan citra perusahaan melalui komentar, unggahan, dan diskusi yang berlangsung di platform ini. Dengan pemahaman teoritis yang kuat, organisasi dapat membangun kerangka kerja strategis yang lebih efektif untuk menghadapi ancaman krisis.
ADVERTISEMENT
Krisis komunikasi di media sosial dapat muncul karena berbagai sebab. Salah satu penyebab utamanya adalah kesalahan komunikasi publik, seperti yang terjadi dalam insiden iklan Pepsi tahun 2017. Dalam kasus tersebut, Pepsi meluncurkan iklan yang dianggap tidak sensitif terhadap gerakan sosial seperti Black Lives Matter. Dalam iklan itu, model Kendall Jenner terlihat menyerahkan kaleng Pepsi kepada seorang polisi, menyiratkan bahwa minuman tersebut mampu meredakan ketegangan di tengah protes sosial. Respons negatif terhadap iklan ini menyebar cepat di media sosial, menunjukkan bagaimana kurangnya sensitivitas terhadap isu dapat memicu krisis besar bagi perusahaan.
Selain kesalahan komunikasi publik, penanganan keluhan pelanggan yang buruk juga dapat menjadi pemicu krisis. Pada tahun 2018, maskapai United Airlines menghadapi protes global setelah seorang penumpang dipaksa turun dari pesawat dengan kekerasan, yang kemudian direkam dan menjadi viral di media sosial. Insiden tersebut memicu gelombang kemarahan, dengan pelanggan dan masyarakat luas menilai bahwa perusahaan tersebut tidak memiliki empati terhadap pelanggannya. Respons awal United Airlines yang defensif justru memperburuk situasi, mengindikasikan perlunya tanggapan yang lebih matang dan cepat untuk meredakan amarah publik.
sumber pexels
Di luar itu, hoaks atau informasi palsu menjadi ancaman lain yang sering ditemui perusahaan di media sosial. Sebuah informasi yang tidak benar tetapi viral dapat menyebabkan kerugian reputasi bahkan jika isu tersebut sebenarnya tidak memiliki dasar. Tanpa klarifikasi resmi yang cepat, isu seperti ini dapat berkembang dan menciptakan kesan negatif terhadap perusahaan. Salah satu contohnya adalah penyebaran berita palsu mengenai merek kosmetik yang dituduh menggunakan bahan berbahaya, yang berdampak signifikan terhadap persepsi dan penjualan produk perusahaan tersebut meskipun tuduhan tersebut tidak benar.
ADVERTISEMENT
Dalam menghadapi krisis, kecepatan merespons merupakan hal yang sangat penting. Mengabaikan isu yang berkembang atau memberikan tanggapan yang terlalu lama hanya akan memperburuk situasi. Namun, respons cepat tidak berarti tergesa-gesa. Perusahaan harus merespons dengan hati-hati, memastikan bahwa pesan yang disampaikan tidak hanya meredakan situasi tetapi juga menunjukkan empati, transparansi, dan kesadaran atas dampak yang telah terjadi. Empati, dalam konteks ini, bukan hanya tentang meminta maaf, tetapi juga menunjukkan pemahaman terhadap perasaan audiens dan langkah nyata untuk memperbaiki keadaan.
Dalam kasus Starbucks pada tahun 2018, dua pria kulit hitam ditangkap di salah satu gerainya setelah dianggap mencurigakan hanya karena duduk tanpa memesan. Video insiden ini dengan cepat menjadi viral, memunculkan tuduhan diskriminasi rasial terhadap perusahaan. Sebagai respons, CEO Starbucks, Kevin Johnson, mengeluarkan permintaan maaf publik dan mengakui adanya kekeliruan dalam kebijakan internal perusahaan. Lebih jauh, Starbucks mengambil tindakan signifikan dengan menutup seluruh gerai di Amerika Serikat selama sehari untuk memberikan pelatihan anti-diskriminasi kepada karyawan mereka. Langkah konkret ini tidak hanya meredakan kemarahan publik tetapi juga menunjukkan komitmen perusahaan terhadap perubahan nyata, yang pada akhirnya membantu Starbucks memulihkan reputasi mereka.
ADVERTISEMENT
Kegagalan dalam mengelola krisis sering kali memiliki dampak besar terhadap keberlangsungan perusahaan. Contoh paling mencolok adalah kasus Boeing setelah dua insiden kecelakaan fatal melibatkan pesawat 737 MAX mereka. Kurangnya respons transparan dari Boeing, ditambah sikap defensif terhadap kritik publik, menyebabkan hilangnya kepercayaan pelanggan dan tekanan besar dari regulator. Akibatnya, krisis tersebut tidak hanya merusak reputasi perusahaan tetapi juga menciptakan kerugian finansial yang signifikan.
Pembelajaran dari kasus-kasus tersebut menyoroti pentingnya evaluasi yang menyeluruh setelah krisis mereda. Melalui evaluasi, perusahaan dapat memahami apa yang telah berjalan baik, apa yang tidak berhasil, dan bagaimana mencegah situasi serupa di masa depan. Hasil evaluasi ini juga harus diterapkan dalam bentuk pelatihan rutin bagi tim komunikasi dan pengembangan kebijakan yang lebih tanggap terhadap risiko krisis.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, pencegahan adalah langkah yang paling efektif dalam menghadapi krisis komunikasi. Perusahaan dapat mengadopsi alat pemantauan media sosial untuk mendeteksi isu sejak dini dan membangun tim yang terlatih untuk merespons krisis secara profesional. Selain itu, transparansi dalam berkomunikasi, baik dengan pelanggan maupun dengan publik secara umum, akan membantu membangun kepercayaan yang lebih kuat, sehingga krisis kecil tidak dengan mudah membesar menjadi masalah besar.
Krisis komunikasi di media sosial adalah ancaman nyata yang dihadapi perusahaan di era digital. Meskipun sulit untuk sepenuhnya menghindarinya, perusahaan dapat memitigasi dampaknya dengan strategi yang efektif dan respons yang cepat. Pemahaman terhadap teori seperti SCCT dan Social Amplification of Risk menjadi dasar penting untuk mengelola situasi ini. Kasus-kasus seperti Pepsi, United Airlines, Starbucks, dan Boeing menunjukkan bahwa empati, transparansi, dan tindakan konkret adalah elemen utama dalam menangani krisis.
ADVERTISEMENT
Selain itu, membangun budaya organisasi yang responsif terhadap risiko dan tanggap terhadap perubahan dinamika sosial sangat penting. Dengan memanfaatkan alat pemantauan media sosial, melakukan pelatihan rutin, dan menyiapkan protokol krisis yang matang, perusahaan dapat mengurangi risiko krisis dan, dalam beberapa kasus, bahkan mengubah krisis menjadi peluang untuk membangun reputasi yang lebih kuat. Dalam dunia yang terus berkembang, kemampuan untuk merespons dengan cepat dan bijak adalah bukti integritas dan profesionalisme perusahaan.
Daftar Referensi
Coombs, W. T. (2007). Ongoing crisis communication: Planning, managing, and responding. SAGE Publications.
Kasperson, R. E., Renn, O., Slovic, P., Brown, H. S., Emel, J., Goble, R., … & Ratick, S. (1988). The social amplification of risk: A conceptual framework. Risk Analysis, 8(2), 177-187.
ADVERTISEMENT
Veil, S. R., Buehner, T., & Palenchar, M. J. (2011). A work-in-process literature review: Incorporating social media in risk and crisis communication. Journal of Contingencies and Crisis Management, 19(2), 110-122.
Jin, Y., Liu, B. F., & Austin, L. L. (2014). Examining the role of social media in effective crisis management. Communication Research, 41(1), 74-94.
Bernstein, J. (2011). Manager’s guide to crisis management. McGraw-Hill.