Konten dari Pengguna

Pentingnya Kesehatan Mental

Azra Aulia Rahman
Psychology Graduate
1 Januari 2021 20:07 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azra Aulia Rahman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pentingnya Kesehatan Mental
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Kesehatan mental sebenarnya telah lama diakui keberadaannya dan dikaji lebih dalam secara empirik dan akademik. Hal ini terbukti dengan lahirnya tokoh-tokoh psikologis ternama yang telah menuangkan buah pikirannya demi membantu manusia, ilmu pengetahuan dan tentunya kesehatan mental. Sebut saja Sigmund Freud, Abraham Maslow, Carl Jung, dan masih banyak lagi tentunya. Namun sayangnya, walaupun keberadaan (existence) kesehatan mental itu diakui oleh banyak orang tidak berarti keberadaan tersebut diakui secara merata, sehingga beberapa orang sadar (aware) akan kesehatan mental sedangkan yang lainnya tidak mengakui keberadaan kesehatan mental sehingga menyebabkan indidivu tersebut tidak sadar akan kesehatan mental. Contoh sederhananya adalah kesehatan fisik, ketika individu mengalami gejala flu seperti; pilek, sakit kepala, dan tenggorokan sakit, pasti pilihannya ada 3 antara; pergi ke dokter, beli obat general, atau mengistirahatkan diri di rumah. Mengapa demikian? Karena pertama individu menyadari (aware) akan gejala tersebut, spesifiknya karena individu tersebut merasakan gejala flu dengan (salah satunya) terdistorsinya sensori individu tersebut (salah satunya pilek). Ketika individu sadar dia sedang mengalami gejala flu, maka pada saat itulah dia sadar akan keberadaan penyakit flu. Sayangnya kesehatan fisik dan mental walaupun bisa dianalogikan sama seperti diatas tetapi banyak orang tidak mempedulikannya.
ADVERTISEMENT
Satu dari empat orang di dunia akan terpengaruh oleh gangguan mental pada suatu titik tertentu dalam hidup mereka (Who, 2001). Hal tersebut mengindikasikan prevalensi yang besar terhadap kesehatan mental, jadi tidak hanya penyakit fisik saja yang dialami oleh banyak orang melainkan penyakit mental atau gangguan psikologis juga dialami oleh banyak orang. Kembali lagi menurut (Who, 2001) sekitar 450 juta orang saat ini menderita gangguan mental, menempatkan gangguan mental sebagai penyebab utama penyakit dan disabilitas di seluruh dunia. Betapa krusialnya edukasi mengenai kesehatan mental, pernyataan who tidak menyertakan pola makan atau olahraga sebagaimana tren budaya katakan, tetapi kesehatan mental yang menjadi penyebab utama suatu penyakit dan disabilitas di seluruh dunia. Lalu, mengapa dengan data prevalensi yang besar pentingnya kesehatan mental tidak sejajar dengan pentingnya kesehatan fisik? Penyebabnya pun beragam mulai dari individu dan sosial, seperti menurut (Henderson, Evans-Lacko & Thornicroft, 2013) bahwa dalam skala global lebih dari 70% individu yang mengidap gangguan mental tidak mendapat perawatan sama sekali, beberapa faktornya adalah; (1) kurangnya pengetahuan akan gejala serta aspek-aspek gangguan mental, (2) acuh tak acuh dalam mencari akses perawatan, (3) prasangka negatif terhadap mereka yang mengalami gangguan mental, terakhir adalah (4) individu yang mengidap gangguan mental takut terdiskriminasi oleh masyarakat. Tekanan sosial budaya seperti inilah yang memperparah mereka yang mengalami gangguan mental. Secara psikologis dalam perspektif behavior, tekanan-tekanan yang berasal dari luar (seperti; prasangka, stigma, labelling, dan lain-lain) menjadi penguat atau reinforcement terhadap pembentukan perilaku individu, dalam kasus ini menyebabkan individu berperilaku untuk tidak mencari akses dan menganggap gangguan mental yang dialaminya itu nihil atau tidak ada. Tentunya hal ini akan memperparah kesehatan mental individu.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya faktor individu dan sosial budaya, faktor pemangku kebijakan alias pemerintah berperan besar dalam menciptakan kesadaran dan kebijakan terhadap kesehatan mental yang lebih baik. Tanggung jawab akan tindakan terletak pada pemerintah, lebih dari 40% negara tidak memiliki regulasi mengenai kesehatan mental dan lebih dari 30% tidak memiliki program kesehatan mental (Who, 2001). Pemerintah memiliki peran besar dalam meningkatkan kesadaran kesehatan mental dan membuatnya lebih baik. Sebagai pemangku kebijakan pemerintah seharusnya memprioritaskan kesejahteraan masyarakat, dimana kesehatan mental termasuk didalamnya, juga menciptakan regulasi dan kebijakan yang memprioritaskan kesejahteraan dan kesehatan mental masyarakat. Memang tidak ada kata sia-sia dalam menolong umat manusia, oleh mereka yang menjadi relawan dalam membantu mereka yang mengidap gangguan mental dan para donatur yang memberikan sokongan finansial agar terwujudnya visi kesehatan mental ke arah yang lebih baik, namun dalam hal ini pemerintah wajib turun tangan, karena pemerintah memiliki tanggung jawab akan kesejahteraan rakyatnya. lebih dari 33% negara mengalokasikan anggaran kesehatannya kurang dari 1% pada kesehatan mental (Who, 2001). Lagi-lagi peran pemerintah yang sangat minim terhadap kesehatan mental masyarakatnya, hal ini menunjukkan usaha banyak negara yang minim sekali akan kesehatan mental, menunjukkan ketidakpedulian banyak negara akan kesehatan mental masyarakatnya.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan berarti banyak orang yang tidak peduli dan tidak mencurahkan usahanya terhadap kesehatan mental. Banyak sukarelawan disana dengan beragam macam latar belakang individu mulai dari; psikiater, psikolog, ilmuwan psikologi, akademisi, pelajar, ibu rumah tangga, dan masih banyak lagi, terus mengkampanyekan demi menciptakan dan menumbuhkan pentingnya kesadaran mental. Masa-masa prejudice, kebencian, diskriminasi, dan ketidaksetaraan telah berlalu. Kini dimulainya era keterbukaan dan kemanusiaan. Kesehatan mental jangan hanya ada dibuku-buku psikiatri, psikolog, dan akademisi saja. Kesehatan mental wajib ada dalam setiap kepala manusia.
Referensi:
https://www.who.int/news/item/28-09-2001-the-world-health-report-2001-mental-disorders-affect-one-in-four-people
Henderson, Claire., Sara Evans-Lacko., & Graham Thornicroft. 2013. “Mental Ilness Stigma, Help Seeking, and Public Health Programs”. Am J Public Health 103(5):777-780.