Konten dari Pengguna

Konser K-Pop dan Kapitalisme: Antara Hiburan dan Mesin Bisnis Global

Azzahra Putri Jasmine
Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
15 Desember 2024 15:05 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Azzahra Putri Jasmine tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Konser K-Pop di Gelora Bung Karno. Sumber: Dokumentasi Pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Konser K-Pop di Gelora Bung Karno. Sumber: Dokumentasi Pribadi.
ADVERTISEMENT
Konser K-Pop lebih dari sekadar ajang untuk menikmati musik dan bernyanyi bersama idol favorit. Di balik gemerlap panggung dan sorakan penonton, terdapat sistem kapitalisme yang bekerja tanpa henti. Dari harga tiket yang setinggi langit hingga berbagai merchandise yang wajib dibeli, konser K-Pop menunjukkan bagaimana hiburan bisa berkolaborasi dengan roda ekonomi global.
ADVERTISEMENT

Industri Musik sebagai Mesin Uang

Industri K-Pop dikenal sebagai salah satu industri yang paling terorganisir di dunia. Agensi besar seperti SM, YG, JYP, dan HYBE mengelola idol-idol mereka dengan sistem yang sangat efisien, hampir seperti pabrik. Idol-idol ini dilatih dengan intensif, dipoles dengan branding yang kuat, dan didorong dengan strategi pemasaran yang cerdas. Konser K-Pop sendiri menjadi salah satu puncak dari bisnis ini.
Tiket konser dijual dengan harga yang sangat tinggi, namun tetap saja sold out dalam hitungan menit. Belum lagi, ada lightstick resmi, merchandise eksklusif, dan paket VIP untuk mereka yang ingin merasakan pengalaman lebih dekat dengan idol. Semua ini membuat siklus konsumsi para penggemar terus berputar, bahkan setelah konser selesai.

Emosi Fans, Sumber Kapitalisme

Salah satu hal menarik dari konser K-Pop adalah bagaimana industri ini memanfaatkan emosi penggemar. Jika dilihat dari sudut pandang antropologi, konser ini bisa dianggap sebagai ritual modern. Para penggemar datang dengan lightstick, mengenakan pakaian bertema idol, dan membawa spanduk dukungan. Namun, di balik itu semua, ada strategi bisnis yang terselubung. Loyalitas fans diubah menjadi sumber keuntungan yang terus mengalir.
ADVERTISEMENT
Sebagai contoh, banyak penggemar yang merasa "berjuang" untuk idol mereka dengan membeli tiket atau merchandise. Dalam konteks ini, kapitalisme bukan hanya soal menjual produk, tetapi juga menjual pengalaman dan perasaan. Penggemar tidak hanya membeli barang, tetapi juga rasa bangga menjadi bagian dari komunitas.

Teknologi Membuat Konser K-Pop Semakin Global

Peran teknologi digital dalam hal ini sangat besar. Live streaming konser, penjualan tiket online, hingga promosi di media sosial memungkinkan konser K-Pop dijangkau oleh penggemar di seluruh dunia. Mereka yang tidak bisa hadir langsung tetap bisa ikut merasakan konser melalui siaran langsung atau fancam di YouTube.
Hal ini membuat pengalaman konser K-Pop tidak terbatas pada satu tempat saja. Dari perspektif budaya, ini menunjukkan bagaimana teknologi dapat memperluas jangkauan budaya pop dan membuat semua orang merasa terhubung, meskipun hanya melalui layar.
ADVERTISEMENT

Di Balik Sorotan Lampu, Ada Kritik

Namun, tidak semuanya berjalan mulus. Model kapitalisme yang ada dalam industri K-Pop sering kali mendapat kritik. Harga tiket yang sangat tinggi membuat konser hanya bisa dinikmati oleh penggemar dengan dana lebih. Penggemar yang mungkin tidak seberuntung itu sering merasa terpinggirkan.
Selain itu, lingkungan juga terdampak dari produksi merchandise dalam jumlah besar. Ini tentu menjadi ironi, mengingat banyak penggemar K-Pop yang juga mendukung gerakan ramah lingkungan. Tentu saja, ini menjadi tantangan besar bagi industri K-Pop di masa depan.

Hiburan atau Mesin Bisnis?

Konser K-Pop memang menyenangkan, namun juga sangat kompleks. Di satu sisi, ini adalah tempat bagi penggemar untuk merayakan musik dan idol mereka. Di sisi lain, ini adalah mesin ekonomi yang terstruktur, memanfaatkan emosi penggemar untuk keuntungan maksimal.
ADVERTISEMENT
Sebagai penggemar, tidak ada yang salah dengan menikmati konser dan mendukung idol kesayangan. Namun, tidak ada salahnya juga untuk tetap kritis. Dengan begitu, kita bisa menikmati budaya pop ini sambil tetap sadar akan sisi lain dari kapitalisme yang menyertainya.