Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Resesi Seks dan Childfree dalam Hukum Positif Indonesia
23 Februari 2023 18:01 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Bagus Mizan Albab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Menikah dan memiliki anak merupakan impian bagi sebagian besar masyarakat khususnya masyarakat Indonesia. Hal tersebut senada dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang pada intinya menyatakan tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia, tidak hanya terhadap lahir atau jasmani, melainkan juga bathin atau rohani serta mempunyai keturunan.
ADVERTISEMENT
Tujuan tersebut bertentangan dengan fenomena resesi seks yang belakangan ini menjadi perhatian dan persoalan yang cukup serius di berbagai negara.
Di Indonesia, kepala BKKBN mengatakan dalam setahun terdapat 1,8-2 juta pasangan yang menikah. Kemudian tingkat kehamilan pada tahun 2021 mencapai 4,8 juta. Hal tersebut merupakan penegasan atas pernyataan dari Presiden RI yang sebelumnya menyatakan Indonesia tidak ada resesi seks dengan gambaran data yaitu tingkat kehamilan sebanyak 4,8 juta dan jumlah pernikahan sebanyak 2 juta.
Hal tersebut menjadi angin segar bagi masyarakat Indonesia mengingat di negara tetangga, resesi seks merupakan suatu fenomena dan ancaman yang sangat serius. Sebagai contoh, resesi seks terjadi di China, dengan tingkat kelahiran terendah pada tahun 2022 yang mencapai 6,77 kelahiran per 1.000 orang. Hal ini menyebabkan pemerintah China melakukan langkah dan upaya seperti memberikan cuti nikah berbayar selama 30 hari.
ADVERTISEMENT
Selain itu, tingkat resesi seks di Korea Selatan juga cukup mengkhawatirkan. Tingkat kesuburan di Korea Selatan pada tahun 2021 hanya mencapai 0,81 persen, sedangkan ukuran ideal bagi sebuah negara untuk tetap menjaga populasi adalah 2,1 persen. Tentunya berdasarkan gambaran dari kedua negara tersebut, Indonesia harus mengantisipasi sejak dini agar terhindar dari resesi seks.
Pengaturan Regulasi UU Perkawinan
Tidak dipungkiri, keputusan untuk childfree dapat berakibat terciptanya resesi seks bagi negara. Meskipun pada dasarnya tidak ada satu pun regulasi atau hukum nasional yang secara tegas melarang childfree. Dalam UU Perkawinan, keputusan untuk memiliki anak atau tidak bagi pasangan yang sudah menikah tidak terdapat dalam ketentuan hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam BAB VI pasal 30 hingga 34. Artinya, keputusan memiliki atau tidak memiliki anak bukan merupakan kewajiban sebagaimana terdapat dalam UU Perkawinan.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan ketentuan di atas, tentu kita tidak dapat menemukan larangan bagi pasangan suami istri yang memilih untuk childfree.
Hal ini terdapat dalam prinsip pernikahan yang tertuang dalam penjelasan umum UU Perkawinan Nomor 1/1974 yang pada intinya menyatakan:
Makna dari keturunan yang baik dan sehat merupakan tujuan adanya pernikahan. Pembentuk undang-undang dalam hal ini mengkonsepkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk mendapatkan keturunan. Oleh sebab itu, diaturlah sebuah prinsip yang menyatakan calon suami dan calon istri haruslah orang yang masak baik jiwa maupun raganya untuk mendapat keturunan yang baik.
ADVERTISEMENT
Dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasan umum UU Perkawinan Nomor 16/2019 yang merupakan perubahan dari UU 1/74 sebagai bentuk amanat dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 22IPUU-XV/2017 yang pada intinya menyatakan:
Dengan ketentuan tersebut, dapatlah dipahami bahwa salah satu faktor perubahan batas usia pernikahan bagi wanita dari yang sebelumnya minimal berusia 16 tahun menjadi 19 tahun merupakan salah satu faktor agar sang ibu nantinya dapat optimal dalam tumbuh kembang anak termasuk pendampingan orang tua serta memberikan akses anak terhadap pendidikan setinggi mungkin.
Pengaturan Regulasi UUPA
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang merupakan perubahan dari UU No 23 tahun 2002 mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri atas suami istri, atau suami istri dan anaknya. Artinya, definisi keluarga dalam UUPA sudah mencantumkan anak sebagai bagian dari keluarga. Pembuat undang-undang dalam hal ini sudah mengkonsepkan bagi pasangan suami-istri nantinya membentuk sebuah keluarga dengan menghasilkan keturunan.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, terhadap ketentuan bagi pasangan suami-istri yang sudah menikah untuk wajib memiliki anak atau tidak, UUPA tidak mengatur lebih lanjut. Anak sebagaimana diatur dalam UUPA adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dengan demikian, UUPA tidak mengatur ketentuan bagi anak yang masih dalam angan atau perencanaan bagi pasangan suami istri. Dengan demikian, larangan untuk memilih memiliki anak atau tidak, tidaklah diatur dalam UUPA.
Hak Privat
Ketentuan bagi pasangan suami-istri untuk memilih memiliki anak atau tidak pada prinsipnya adalah hak asasi setiap warga negara. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 28 B yang menyatakan:
ADVERTISEMENT
Artinya adalah negara hadir untuk memberikan jaminan bagi setiap orang untuk berkeluarga termasuk didalamnya untuk memiliki anak. Akan tetapi, pilihan untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan merupakan hak asasi setiap orang dan dikembalikan kepada preferensi masing-masing.
Terhadap persoalan tersebut, meskipun kita mengetahui bahwa memiliki keturunan atau menjadi child free adalah hak setiap warga negara, akan tetapi hal tersebut dapat menjadi persoalan serius apabila pilihan untuk child free adalah pilihan mayoritas masyarkat sehingga dapat menimbulkan resesi seks. Meskipun Indonesia memiliki jumlah penduduk kurang lebih 280 juta jiwa, tetapi setiap tahunnya pasti terdapat mortalitas atau kematian. Hal tersebut haruslah diimbangi dengan angka natalitas sehingga dapat menjaga populasi warga negara.