Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Selayang Pandang Justice Collabolator
23 Februari 2023 15:11 WIB
·
waktu baca 5 menitTulisan dari Bagus Mizan Albab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT
Adigium tersebut setidaknya dapat mencerminkan kondisi hukum di masyarakat yang ramai akhir-akhir ini. Persoalannya, dapatkah seorang justice collabolator (JC) dijatuhi hukuman pidana? Atau haruskah seorang JC semestinya mendapatkan tuntutan yang paling ringan dari tuntutan para terdakwa lain? Hal ini menjadi bahasan menarik tidak hanya di kalangan akademisi dan praktisi, melainkan juga kalangan pemuda-pemudi yang mendiskusikannya mulai dari di tempat kerja hingga warung kopi.
Terkait persoalan tersebut, sebetulnya bergantung pada pengaturan dan penerapan JC bagi seorang pelaku tindak pidana yang menjadi saksi dalam perkara tersebut, dan bersedia untuk mengungkap fakta dan peristiwa pidana. Sehingga peristiwa pidana tersebut menjadi terang.
Ketentuan Regulasi
Istilah Justice Collabolator (JC) di Indonesia pertama kali dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU 13/2006). Dalam ketentuan tersebut, dikatakan seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah. Tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.
ADVERTISEMENT
Mendasari hal tersebut, Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2011 (SEMA 4/2011) yang menyempurnakan dan merinci lebih lanjut ketentuan bagi seorang JC. SEMA tersebut menerangkan yang pada pokoknya mengatur jenis tindak pidana seperti apa yang dapat dimungkinkan untuk adanya seorang JC. Jenis tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Perma tersebut adalah:
Artinya, tidak semua jenis tindak pidana dapat menggunakan seorang bantuan JC dalam mengungkap peristiwa pidana tersebut. Melainkan terbatas hanya kepada jenis tindak pidana yang mempunyai karakteristik sebagaimana dimaksud dalam SEMA 4/2011.
ADVERTISEMENT
UU 13/2006 kemudian di revisi kembali dengan UU No 31 tahun 2014, dimana pengaturan terhadap seorang JC mendapat perluasan makna dan pengaturan yang lebih rinci lagi. Dijelaskan dalam Pasal 10 A menyatakan: “Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan”. Ketentuan Pasal ini sebenarnya merupakan pengaturan yang mempertegas atas ketentuan SEMA 4/2011, yang menyatakan: “Saksi pelaku yang bekerja sama, maka Hakim dapat mempertimbangkan untuk menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus; dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lain.
Implementasi Justice Collaborator
Praktik Justice Collabolator dalam proses persidangan di Indonesia, sudah berlangsung cukup lama seperti dalam kasus Pengadaan E-KTP. Dalam kasus tersebut Tommy Sumardi mengajukan diri sebagai JC. Dengan demikian, seringkali keberadaan JC sangat dibutuhkan dalam proses persidangan agar sebuah perkara pidana menjadi terang dan dapat menemukan lebih banyak fakta persidangan yang sebenarnya.
ADVERTISEMENT
Ketentuan JC, yang dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan pemberian penghargaan atas kesaksian yang diberikan. Proses penanganan khusus atau penghargaan tersebut dapat berupa:
Dengan demikian, dalam penanganan khusus atau penghargaan bagi seorang JC, tidak selalu berbicara mengenai keringanan hukuman. Akan tetapi memungkinkan untuk diberikan penanganan secara khusus sebagaimana tersebut di atas.
Tata cara pemberian penghargaan berupa keringanan penjatuhan pidana terhadap Saksi Pelaku atau JC atas kesaksian yang diberikan di persidangan. Dimulai dari LPSK yang memberikan rekomendasi secara tertulis kepada penuntut umum untuk selanjutnya dimuat dalam tuntutannya kepada Hakim. Akan tetapi, UU 31/2014 tidak mengatur ketentuan apabila Penuntut Umum tidak memuat ketentuan keringanan hukuman bagi Saksi Pelaku atas rekomendasi dari LPSK. Karena dalam UU 31/2014, rumusan Pasal tersebut hanya bersifat “rekomendasi” dan Penuntut Umum memiliki hak untuk menggunakan rekomendasi tersebut atau tidak.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, proses pemberian keringanan hukuman bagi JC dimulai dari rekomendasi tertulis LPSK yang nantinya akan dimuat dalam tuntutan oleh Penuntut Umum kepada Hakim untuk memberikan keringanan penjatuhan pidana. Tanpa adanya rekomendasi tertulis dari LPSK, Penuntut Umum tidak dapat memuat keringanan penjatuhan pidana dalam surat tuntutan.
Peran Hakim dalam Penjatuhan Vonis JC
Sebagaimana diuraikan di atas, bahwa untuk memperoleh keringanan penjatuhan pidana, maka LPSK memberikan rekomendasi secara tertulis kepada Penuntut Umum. Selanjutnya rekomendasi tersebut dimuat dalam surat tuntutan. Hakim dalam kondisi demikian, dapat mengacu kepada SEMA 4/2011, dengan mengidentifikasi terlebih dahulu apakah tindak pidana tersebut sesuai dengan pidana tertentu yang bersifat serius, tergorganisir, dan telah menimbulkan ancaman serta masalah serius atau tidak. Apabila Hakim melihat bahwa Tindak Pidana yang dilakukan oleh Saksi Pelaku memenuhi kriteria tindak pidana tertentu, maka Hakim dapat mempertimbangkan lebih lanjut.
ADVERTISEMENT
Perimbangan lebih lanjut yang dilakukan oleh Hakim, menurut SEMA 4/2011, Saksi Pelaku sebagaimana termuat dalam definisi Saksi Pelaku berdasarkan UU 31/2014 merupakan salah satu pelaku tindak pidana tertentu sebagaimana tersebut di atas, dan mengakui serta bukan pelaku utama dalam kejahatan tersebut, dan memberikan keterangan sebagai saksi di dalam proses peradilan. Selanjutnya, Jaksa Penuntut Umum di dalam tuntuannya harus menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik dan/atau penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana dimaksud.
Apabila hal tersebut terpenuhi, maka terhadap Saksi Pelaku tersebut, Hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana seperti: menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus, dan/atau menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara yang dimaksud.
ADVERTISEMENT
Dengan demikian, putusan hukuman bagi Saksi Pelaku atau JC pada pokoknya menjadi kewenangan mutlak dari Hakim untuk menimbang dan menganalisis apakah Saksi Pelaku tersebut memenuhi kriteria dan ketentuan sebagai JC atau tidak. Meskipun demikian, dalam pemberian perlakuan khusus yaitu pemberian keringanan pidana hakim tetap wajib mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.