Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Menyoal Eksklusivitas Peradilan Militer dalam Tindak Pidana Korupsi Basarnas
4 Agustus 2023 18:18 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Bagas Wisnu Syammulya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menyuap Sang Perwira
ADVERTISEMENT
Tindak Pidana Korupsi menjadi bentuk pelanggaran pidana yang kerap dilakukan oleh pejabat negara di berbagai lembaga maupun kementerian. Teranyar, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan menjadi lembaga pemerintah yang ternodai sebab pimpinannya terjerat dalam dugaan suap pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan, tepatnya Kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi Basarnas Letkol Afri Budi Cahyanto serta tiga tersangka lain dari berbagai vendor pemenang proyek.
ADVERTISEMENT
Kedua pimpinan yang disebutkan di awal tersebut merupakan perwira militer aktif yang ditempatkan dalam jabatan sipil sebagaimana telah diatur dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. “Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan Negara, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotik nasional, dan Mahkamah Agung.”
Konflik dimulai ketika Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata menggelar operasi tangkap tangan (OTT) dilanjut menetapkan kedua pimpinan Basarnas sebagai tersangka tanpa adanya koordinasi secara langsung dengan Pusat Polisi Militer TNI (Puspom TNI). Hal tersebut dianggap sebagai bentuk pelangkahan atas prosedur penetapan tersangka prajurit TNI. Ini disebabkan adanya mekanisme khusus yakni pemberian kewenangan penuh bagi polisi militer dalam menangkap dan menetapkan tersangka yang merupakan anggota aktif militer.
ADVERTISEMENT
Sistem Peradilan Koneksitas: (Seharusnya) Titik Temu Sipil dan Militer
Melihat yang terjadi dalam kasus korupsi Basarnas, amat sangat dimungkinkan untuk menggunakan mekanisme peradilan koneksitas dalam proses penyelesaiannya sebagaimana diatur dalam Pasal 89 KUHAP dan Pasal 198 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam konsepnya, peradilan koneksitas merupakan peradilan yang mewadahi perkara tindak pidana dengan unsur penyertaan (deelneming) atau secara bersama-sama dilakukan (mede dader) oleh subjek dalam lingkup peradilan umum dan subjek dalam lingkup peradilan militer. Singkatnya, metode koneksitas digunakan untuk melakukan pemeriksaan atas tindak pidana yang berada dalam titik singgung antara kewenangan peradilan umum dan peradilan militer.
Namun teori hanyalah teori, dalam preseden yang tersedia sejauh ini, tindak pidana yang menyangkut anggota militer nyatanya hanya diproses melalui peradilan militer. Ranah peradilan militer yang digunakan untuk mengadili anggota militer aktif yang melakukan tindak pidana, yang seharusnya menjadi kewenangan peradilan umum, tidak hanya menimbulkan kesan eksklusivitas terhadap TNI tetapi juga berpeluang menjadi sarang impunitas sebab penegak hukum yang bertugas berasal dari internal mereka sendiri.
ADVERTISEMENT
Implementasi Pasal 65 ayat (2) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI
Pertanyaan yang timbul selanjutnya adalah bagaimana cara menerapkan Pasal 65 ayat (2) UU TNI terkait giat pembedaan lingkup peradilan bagi anggota militer aktif secara efektif. Pasal tersebut mendalilkan dengan eksplisit bahwa “prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”. Pasal tersebut sejatinya dapat dijadikan dasar yang kuat dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, yang menjadi kewenangan peradilan umum, untuk diselidiki, disidik, dituntut, diproses, dan dieksekusi oleh peradilan umum.
Akan tetapi, militer dengan ego sektoral dan pendekatan opresif tentu tidak serta merta akan membiarkan adanya penyamarataan tindak penegakan hukum. Pernyataan yang dilontarkan oleh Panglima TNI pasca agenda penetapan tersangka dilangsungkan tentu tidak bisa diamini sepenuhnya.
ADVERTISEMENT
Aturan TNI yang dimaksud tentu adalah implementasi peradilan militer yang mencekal adanya pembedaan penegakan hukum sesuai dengan bunyi Pasal 74 ayat (1) UU TNI “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang Peradilan Militer yang baru diberlakukan.” Padahal, penerapan pembedaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh militer aktif dapat menjadi pintu pembuka pelaksanaan reformasi hukum yang telah dicita-citakan sejak lama, setidaknya sejak Agenda Nawacita Presiden Joko Widodo di periode pertamanya pada tahun 2014.
Yang menjadi problematika dari pelaksanaan amanat Pasal 65 ayat (2) UU TNI, sayangnya, terletak dalam instrumen hukum yang sama pada pasal yang berbeda. Pasal 74 ayat (2) UU TNI berhasil mengebiri ketentuan pasal yang disebut sebelumnya. Dengan bunyi pasal “Selama undang-undang peradilan militer yang baru belum dibentuk, tetap tunduk pada ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.”
ADVERTISEMENT
Praktis kewenangan peradilan militer menjadi absolut dalam menangani perkara yang melibatkan militer, dalam kasus ini Perwira TNI. Menakar dari poin pasal tersebut, semakin memperjelas dan menunjukkan secara konkret tingginya urgensi dalam menetapkan revisi UU Peradilan Militer atau bahkan membentuk undang-undang baru yang bertujuan untuk mengkonsolidasikan penegakan hukum yang transparan dan akuntabel, terkhusus dalam pemberantasan korupsi.
Masih meninjau dalam konteks penanganan kasus lewat kacamata penegakan hukum yang transparan dan akuntabel, penyelesaian kasus tindak pidana suap pengadaan barang Kepala dan Koorsmin Basarnas yang merupakan Perwira TNI aktif ini haruslah dilakukan melalui koridor peradilan umum yakni Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana ditegaskan pada Pasal 91 ayat (1) KUHAP sebab kerugian terbesar yang diberikan terletak pada kepentingan umum. Selain itu, konstruksi Basarnas yang merupakan lembaga pemerintah dan bukan lembaga militer menjadi alasan logis selanjutnya dari pelimpahan penanganan tersebut.
ADVERTISEMENT
Pernyataan Cacat Struktural Pimpinan KPK
Kontroversi tak hanya dilakukan oleh pihak militer. KPK lewat Wakil Kepala Johanis Tanak sempat memberikan permintaan maaf kepada masyarakat lewat gelaran konferensi pers. Beliau menyebutkan secara eksplisit terkait adanya kesalahan dan khilaf yang dilakukan oleh tim penyelidik KPK. Dengan kata lain, Tanak sebagai representasi pimpinan KPK berhasil mengafirmasi tindakan cuci tangan dan mendelegasikan kesalahan yang ada kepada bawahannya.
Dalih apa pun yang dikeluarkan oleh perwakilan dari KPK terkait miskomunikasi maupun kesalahan sektoral yang ditumpahkan ke pihak penyidik pada dasarnya tidak dapat dibenarkan sama sekali sebab metode kerja dari komisi antirasuah ini berpegang teguh pada prinsip kolektif kolegial yakni pelibatan secara menyeluruh pada para pihak yang berkepentingan, dalam hal ini pimpinan KPK, untuk mempublikasikan suatu keputusan dengan menjunjung tinggi semangat kebersamaan.
ADVERTISEMENT
Dengan kondisi yang serba digital saat ini, sangat tidak mungkin apabila suatu ketetapan yang dikeluarkan oleh KPK hanya diproses dan dipertanggungjawabkan kepada pihak penyelidik. Seluruh instrumen pimpinan KPK beserta bawahannya tentu memiliki akses yang sama dan sejajar terkait progress suatu kasus. Konsep kolektif kolegial KPK ini juga terkandung dalam dasar hukum KPK itu sendiri yakni Pasal 21 ayat (4) UU KPK.
Kesimpulan
Sebagai penutup, pembaharuan substansi peradilan militer sudah selayaknya segera dilakukan. Melihat pengalaman yang telah dilalui selama ini, pengadilan militer tak lebih dari wadah yang menjadi sarang terjadinya impunitas bagi para militer aktif yang terjerat kasus tindak pidana.
Adanya pembedaan penyelesaian kasus bagi anggota TNI ditujukan semata-mata sebagai bentuk implementasi yang baik dari prinsip transparan dan akuntabel dalam menyelesaikan suatu perkara. Terpenuhinya asas terkait perlakuan yang sama di depan hukum (equality before the law) sehingga celah kebal akan hukum dapat ditutup serapat-rapatnya juga menjadi faktor pendukung dalam pembenahan peradilan militer demi mewujudkan peradilan yang inklusif bagi setiap Warga Negara Indonesia.
ADVERTISEMENT