Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Ulama, Politik, dan Kekuasaan
23 November 2018 9:51 WIB
Diperbarui 6 Agustus 2020 13:18 WIB
Tulisan dari Bagong Suyanto Guru Besar FISIP dan Dosen Program S2 Kajian Ilmu Kepolisian tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Setiap memasuk tahun politik, posisi dan peran ulama bisa dipastikan akan naik daun. Preferensi dan keputusan para warga masyarakat menetapkan pilihan afiliasi partai politik, anggota legislatif yang dipercaya sebagai wakilnya, maupun pemimpin daerah dan pemimpin nasional, salah satunya masih dipengaruh suara para ulama.
ADVERTISEMENT
Survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia, Denny JA, tentang 'Ulama dan Efek Elektoralnya' menemukan dibanding politisi dan pengamat, peran ulama dalam memengaruhi preferensi politik masyarakat Indonesia umumnya lebih tinggi. Survei yang dilakukan 10-19 Oktober 2018 itu menyebut bahwa tokoh agama adalah figur paling kuat pengaruhnya terhadap pilihan politik masyarakat.
Dari studi yang mewawancarai 1.200 responden itu menemukan 51,7 persen pemilih menyatakan bahwa acuan yang dipertimbangkan sebelum menentukan pilihan politik adalah imbauan dari tokoh agama seperti ulama, pastor, biksu, dan lainnya. Imbauan dari tokoh yang lain, seperti politisi (11 persen), atau pengamat (4,5 persen) jauh lebih rendah dari imbauan ulama.
Tidak peduli dari kelas sosial mana responden berasal, tinggi atau rendah pendidikan mereka, pemilih lansia atau pemilih milenial, semua golongan ini sebagian besar sepakat bahwa suara ulama menempati posisi utama dalam soal memengaruhi keputusan politik masyarakat.
ADVERTISEMENT
Dari survei LSI Denny JA, dewasa ini lima ulama yang paling didengar imbauannya oleh masyarakat, yakni Ustaz Abdul Somad, Ustaz Arifin Ilham, Ustaz Yusuf Mansur, AA Gym, dan Rizieq Shihab.
Sejumlah Faktor
Terlepas siapa ulama di Indonesia yang paling dihormati dan didengar suaranya, dan apa sebetulnya preferensi paling utama yang menentukan pilihan politik masyarakat, di Indonesia harus diakui peran ulama dalam kehidupan politik memang tidak bisa diabaikan. Seperti artis atau tokoh idola lainnya, keberadaan ulama dipercaya merupakan iming-iming yang efektif untuk mendongkrak perolehan suara.
ADVERTISEMENT
Setiap menjelang perhelatan pesta demokrasi, baik di tingkat kota/kabupaten, provinsi, maupun nasional, kita bisa melihat para kandidat yang bersaing selalu berlomba-lomba mendekati para ulama yang diharapkan dapat mendongkrak raihan suara pendukung mereka.
Sudah bukan rahasia lagi, menjelang tahun politik, para kandidat yang berkontestasi meningkat intensitasnya berkunjung ke berbagai pondok pesantren, mendekati ulama-ulama yang karismatik, dan berusaha merangkul para ulama menjadi bagian dari tim sukses mereka.
Berbeda dengan daya tarik artis yang sifatnya instan dan cenderung tidak langgeng, karisma ulama umumnya lebih berkelanjutan dan memiliki akar kultural yang kuat di antara para loyalisnya.
Meski dalam kehidupan berdemokrasi, perilaku memilih warga masyarakat seharusnya lebih berdasarkan pada tawaran program yang rasional, dalam kenyataan keputusan masyarakat memilih wakil maupun pemimpinnya masih lebih banyak dipengaruhi peran ulama.
ADVERTISEMENT
Sejumlah faktor yang membuat suara ulama tetap signifikan perannya adalah:
Pertama, sepanjang politik identitas masih menjadi corak perilaku memilih warga masyarakat, maka sepanjang itu pula peran ulama akan tetap signifikan sebagai pemancing raihan suara konstituen.
Masyarakat yang sebagian besar masih menghargai relasi patront-client dan mengedepankan penghargaan pada tokoh-tokoh agama, maka di sana kemungkinan apa yang dikatakan ulama akan tetap didengarkan, bahkan tidak jarang dipahami sebagai fatwa.
Kedua, di kalangan ulama yang suaranya didengar dan menjadi panutan masyarakat, jangan dibayangkan selalu ulama sepuh yang karismatik dan disegani para santrinya. Berdasarkan hasil survey LSI Denny JA, kita bisa melihat bahwa ulama yang didengar suaranya sebagian besar adalah ulama yang termasuk ulama milenial.
ADVERTISEMENT
Mereka umumnya adalah ulama yang biasa muncul di depan publik, terbiasa berhadapan dengan para penggemar di stasiun televisi, dikutip media, dan memiliki kelebihan memanfaatkan dunia maya untuk mempertahankan dan meningkatkan popularitasnya.
Di era milenial seperti sekarang ini, jangan dibayangkan ulama-ulama yang didengar suaranya itu adalah orang-orang tua yang gagap teknologi dan alergi pada gadget. Para ulama yang populer itu umumnya adalah ulama gaul yang mampu merebut simpati anak-anak muda urban maupun ibu-ibu sebagai penggemar yang selalu menantikan khotbah mereka di depan televisi.
Ulama yang populer dan didengar suaranya itu adalah ulama yang terbiasa memanfaatkan kanal-kanal virtual untuk makin mendekatkan diri mereka di hadapan para penggemarnya.
ADVERTISEMENT
Ulama dan Kekuasaan
Apakah ketika tiba waktunya di saat masyarakat menentukan pilihan politiknya, suara ulama akan tetap didengar dan menjadi preferensi yang signifikan? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu bukan hal yang mudah, sebab waktulah yang nantinya akan membuktikan.
Di kalangan ulama yang tetap bisa mengambil jarak dengan pusat-pusat kekuasaan, berpenampilan tenang, menyejukkan, dan tetap berkiprah tanpa harus terkontaminasi kepentingan akan kekuasaan, niscaya para ulama yang memiliki integritas seperti ini akan tetap berpotensi menjadi panutan.
Sebaliknya, ulama yang terbukti haus kekuasaan, terbiasa menyampaikan narasi-narasi kebencian dan khotbah yang terindikasi menghalalkan intoleransi, niscaya akan mulai kehilangan pengaruhnya.
Bagi warga masyarakat yang belakangan ini makin kehilangan panutan, ulama umumnya dituntut tetap mampu menjaga jarak, hadir dengan petuah-petuah yang meneduhkan daripada menggunakan diksi-diksi yang keras.
ADVERTISEMENT
Ulama dan politik dalam kenyataan memang merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Tetapi, keterlibatan ulama yang berlebihan dalam kehidupan politik, apalagi telah terkontaminasi kekuasaan, niscaya cepat atau lambat reputasi mereka akan terdegradasi, dan bahkan ujung-ujungnya akan kehilangan penghormatan dari warga masyarakat.
Alih-alih didengar suaranya, ulama yang tingkah-lakunya sudah berubah benar-benar seperti politisi, atau ulama yang sudah kehilangan rohnya sebagai tokoh panutan, niscaya akan kehilangan pula 'mantra saktinya' dalam mempengaruhi pilihan politik masyarakat.
Hanya ulama yang konsisten dan mengabdi kepada kemanusiaan dan jalan agamalah yang suaranya masih tetap didengar. Bagaimana pendapat anda?