Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten dari Pengguna
Pemberian Makanan Bayi dan Anak yang tepat, Cegah Anemia Defisensi Besi!
25 Januari 2021 8:54 WIB
Tulisan dari Yayasan Balita Sehat Indonesia tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Oleh: Sarah Nadiah Hanifah Rusdi, S.Gz, Nutritionist & HERProject Officer FMCH Indonesia
ADVERTISEMENT
Anemia bukanlah suatu penyakit yang asing di telinga kita. Realitanya, anemia masih menjadi masalah serius di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Secara global, anemia mempengaruhi kurang lebih sepertiga populasi di dunia dan lebih dari 800 juta wanita dan anak-anak. Berdasarkan data Riskesdas 2018 prevalensi anemia di Indonesia termasuk tinggi yaitu sebesar 23,7% di mana anemia pada anak usia 0 – 59 bulan (balita) masih di atas angka nasional yaitu sebesar 38,5%.(5) Penyebab paling umum anemia adalah karena defisiensi zat besi, yang diperkirakan menyumbang sekitar 50% dari semua kasus anemia di dunia.
Salah satu kelompok populasi paling rentan terkena anemia adalah bayi dan anak-anak di bawah usia 2 tahun. Hal tersebut terjadi karena kebutuhan tubuh akan zat besi yang meningkat seiring dengan percepatan pertumbuhan dan perkembangan tubuh, terutama selama 2 tahun pertama kehidupan. Selain itu, asupan makanan yang diberikan pada bayi dan anak seringkali rendah kandungan zat besi (dalam jumlah dan bioavailabilitas) serta memiliki kandungan zat penghambat (inhibitor) zat besi yang tinggi. Selain itu, berat lahir rendah dan prematuritas juga berdampak negatif pada penyimpanan dan cadangan zat besi bayi.
ADVERTISEMENT
Bayi lahir dengan berat normal (>2500 g), cukup bulan (usia kehamilan 37 minggu atau lebih) umumnya lahir dengan penyimpanan besi yang cukup untuk 4-6 bulan pertama kehidupan. Pada masa tersebut, cadangan zat besi merupakan sumber utama untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi, sehingga kebutuhan zat besi dari makanan (ASI) dibutuhkan secara minimal. Walaupun ASI memiliki kandungan zat besi yang rendah, namun mudah diserap oleh bayi. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama kehidupan melindungi status zat besi bayi, karena zat besi dari makanan atau minuman lainnya tidak terserap dengan baik dan dapat mengganggu penyerapan zat besi ASI. Selain itu, pengenalan susu sapi pada bayi dapat menyebabkan perdarahan saluran cerna, yang selanjutnya berpengaruh pada status zat besi bayi.
ADVERTISEMENT
Setelah 6 bulan, penyimpanan zat besi secara bertahap akan habis digunakan dan kebutuhan zat besi bayi tidak dapat dipenuhi hanya dari ASI saja sehingga harus dipenuhi dari makanan- makanan tambahan selain ASI (MP-ASI). Kebutuhan zat besi bayi usia 6 – 12 bulan adalah 11mg per hari. Sedangkan ASI hanya memenuhi 0,3 mg zat besi per hari sehingga kurang lebih 97% kebutuhan zat besi bayi harus dipenuhi dari MP-ASI. Jika bayi tidak terpenuhi kebutuhan zat besi nya, bayi akan terkena anemia, beresiko tinggi terkena infeksi, proses pemulihan sakit lebih lambat, menurunkan kecerdasan anak hingga gangguan pertumbuhan dan perkembangan.Oleh karenanya sangat penting untuk memenuhi kebutuhan zat besi dengan MP-ASI yang tinggi kandungan zat besinya.
ADVERTISEMENT
Berikut bagaimanamemodifikasi MP-ASI agar dapat memenuhi kebutuhan zat besi anak.
Gunakan sumber makanan tinggi zat besi
Zat besi terdapat dalam makanan dalam 2 bentuk yaitu zat besi heme, yang diperoleh dari jaringan hewan (daging merah, unggas, dan ikan), dan zat besi non-heme, yang terkandung di tumbuhan seperti padi-padian, biji-bijian, kacang-kacangan, dan sayuran hijau. Perbedaan dari kedua jenis tersebut adalah tingkat penyerapannya oleh tubuh. Zat besi heme lebih mudah diserap tubuh dibanding zat besi non heme. Sehingga direkomendasikan memilih sumber makanan hewani setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan zat besi bayi dan anak.
Gunakan bahan pangan yang telah difortifikasi zat besi
Akan sulit bagi anak untuk tercukupi kebutuhan zat besi nya dari makanan jika tidak makan daging setiap hari/secara regular. Oleh karena itu dapat menggunakan bahan pangan yang telah difortifikasi zat besi untuk memenuhi kebutuhan zat besi bayi seperti tepung terigu yang difortifikasi zat besi.
ADVERTISEMENT
Konsumsi sumber makanan tinggi vitamin C
Sumber makanan yang tinggi kandungan vitamin C seperti tomat, brokoli, jambu, mangga, nanas, papaya, jeruk, dan, lemon dapat meningkatkan penyerapan zat besi. Hal ini dikarenakan vitamin C akan membuat kondisi lambung menjadi asam sehingga proses penyerapan zat besi menjadi lebih optimal.
Menghilangkan zat penghambat (inhibitor) zat besi
Kandung antanin (seperti dalam teh dan kopi) dan kalsium dapat menghambat penyerapan zatbesi. Sehingga disarankan untuk tidak mengkonsumsi teh, kopi, dan susu selama 2 jam sebelum dan sesudah makan (di luar waktu makan utama).
Menggunakan alat masak besi
Menggunakan panci atau wajan yang berasal dari besi, terutama jika bahan makanan bersifat asam dapat meningkatkan penyerapan zat besi. Hal tersebut terjadi karena zat besi lebih mudah larut dalam kondisi asam.
ADVERTISEMENT
Selamat Hari Gizi Nasional tahun 2021. Semoga pada momentum ini, masyarakat Indonesia semakin sadar pentingnya pemberian makan pada bayi dan anak yang tepat. Mari kita bergandeng tangan cegah Anemia. Anak Sehat, Indonesia Kuat!
Referensi:
(1) World Health Organization. 2017. Nutritional Anaemias: Tools for Effective Prevention and Control. Geneva: World Health Organization.
(2) Da Silva Lopes, Katharina; Takemoto, Yo; Garcia-Casal, Maria N; Ota, Erika. 2018. Nutrition-Specific Interventions for Preventing and Controlling Anaemia Throughout the Life Cycle: An Overview of Systematic Reviews. Cochrane Database of Systematic Reviews 2018, Issue 8. Art. No.: CD0139092. DOI: 10.1002/14651858.CD013092.
(3) Thompson, Brian. 2011. Food-Based Approaches for Combating Iron Defiency. Rome: Food and Agriculture Organization (FAO).
ADVERTISEMENT
(4) World Health Organization. 2004. Complementary Feeding Counselling: Training Course. Geneva: World Health Organization.
(5) Kementerian Kesehatan RI. 2019. Laporan Nasional RISKESDAS 2018. Jakarta: Lembaga Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (LPB).