Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2025 © PT Dynamo Media Network
Version 1.94.0
Konten dari Pengguna
Menguji Fakta Dibalik Pernyataan Prabowo Tentang Pilkada Ditunjuk Oleh DPRD
15 Desember 2024 13:32 WIB
·
waktu baca 6 menitTulisan dari Bayu Nugroho tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Prabowo kembali membuat pernyataan yang sangat kontroversial saat berpidato di peringatan HUT partai Golkar. Dalam pernyataannya, Prabowo berujar bahwa kontestasi Pilkada serentak 2024 memakan banyak anggaran dan mencontohkan praktik negara lain seperti Malaysia dan Singapura yang proses pemilihan kepala daerah ditunjuk oleh DPRD. Pernyataan Prabowo tersebut dapat dimaknai dalam dua pattern utama yaitu, bahwa Prabowo hanya melihat kontetasi pilkada langsung dari segi logistik bukan pada prinsip keterbukaan dan pelibatan masyarakat. Kemudian Prabowo secara langsung mengusulkan terjadinya perubahan sistem pemilu dari demokrasi langsung ke demokrasi parlementer.
ADVERTISEMENT
Mungkin, Prabowo lupa bahwa terjadinya demokrasi langsung hari ini adalah buah dari perjuangan reformasi setelah bergulat cukup lama untuk menggulingkan Pemerintahan Soeharto. Prabowo yang saat itu memang jadi bagian dari rezim Soeharto jelas tidak mengetahui konteks perjuangan dalam perwujudan demokrasi langsung setelah terjadinya proses sentralisasi kekuasaan Soeharto yang sangat absolut dengan melakukan pembatasan terkait dengan proses pelibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan publik.
Prabowo seakan mencoba membawa perjalanan politik Indonesia mundur ke era Orde Baru dimana proses pemilihan kepala daerah waktu itu memang ditunjuk oleh DPRD. Proses pemilihan kepala daerah melalui mekanisme penunjukkan DPRD dengan dalih efisiensi anggaran jelas salah kaprah karena justru menegasi masyarakat untuk terlibat dalam proses pemilihan yang adil. Sebab, proses konsolidasi politik pilkadanya akan sangat ekslusif dan elitis terbatas pada kepentingan partai di parlemen.
ADVERTISEMENT
Bahwa benar masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dalam memperbaiki proses demokrasi kita, tapi dengan mengubahnya ke dalam bentuk demokrasi parlementer melalui penunjukkan DPRD untuk menyelesaikan persoalan Pilkada jelas bukan solusinya.
Mengenal Konsep Demokrasi Parlementer
Merujuk pada konteks kesejarahan, pemberlakuan demokrasi parlementer pernah terjadi di Indonesia dalam medio 1950-1959. Demokrasi parlementer sendiri merupakan bentuk pemerintahan dimana kepala pemerintahan atau kepala daerah bertanggungjawab terkait kinerja dan kebijakannya kepada parlemen dalam hal ini adalah DPR/DPRD. Dalam pemberlakuan demokrasi parlementer sangat dipengaruhi dengan pembentukan koalisi yang kuat sebab mempunyai peranan penting dalam proses keberjalanan pemerintahan.
Apabila proses konsolidasi dan juga pembentukan koalisi tidak kuat dan memegang suara mayoritas, maka dapat terjadinya proses impeachment atau pengajuan mosi tidak percaya oleh parlemen. Dalam keberjalanannya, kabinet yang tidak di dukung oleh majority seat hanya akan berlangsung pendek. Sebut saja dalam kurun waktu 9 tahun pemberlakuan demokrasi parlementer di Indonesia pada tahun 1950-1959, Pemerintahan tidak bertahan lama dan sering berganti mulai dari Kabinet Natsir, Kabinet Sukiman, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali Sostroamijoyo I, Kabinet Ali II dan terakhir Kabinet Juanda. Hal ini tentu menganggu proses terjadinya stabilitas politik dalam negeri yang akan berdampak pada banyak sektor seperti sosial dan ekonomi masyarakat akbiat sering terjadinya pergantian tampuk kekuasaan dan kebijakan.
ADVERTISEMENT
Era Orde Baru, proses demokrasi masih sangat ekslusif lantaran Pemilu dimanipulasi dan terkanalisasi melalui partai Golkar sehingga kekuasaan Soeharto dapat berjalan hingga puluhan tahun. Semua partai oposisi di gembosi dan suara kritis masyarakat di bungkam. Bahkan Soeharto dapat melenggang menjadi Presiden selama enam periode tanpa lawan karena mayoritas parlemen dikuasai oleh Golkar. Proses pemilihan kepala daerah di masa orde baru ditunjuk oleh DPRD tanpa melalui proses yang demokratis sehingga masyarakat hanya diberikan barang jadi tanpa terlibat dalam proses kandidasi dan pemilihannya.
Praktek yang demikian justru sangat berbahaya lantaran akan terjadi intervensi penguasa yang sangat besar. Sebab, penguasa yang sedang menjabat akan memilih kaki tangan di daerah yang se visi dan bisa di kendalikan, sehingga muncul berbagai manuver melalui konsolidasi terbatas di parlemen. Hal ini tentu membuat masyarakat hanya akan menjadi penonton dan proses transaksi politik akan sangat tersentralisasi terhadap kepentingan elit partai dan penguasa saja dalam hal ini Presiden.
ADVERTISEMENT
Pergantian sistem tersebut juga akan mengkhianati maklumat reformasi yang berkeinginan untuk menciptakan proses pemilu yang partisipatif serta terbuka sehingga memaksimalkan proses keterlibatan masyarakat. Sebab, sejatinya demokrasi itu bermakna untuk rakyat, oleh rakyat dan dari rakyat sehingga pemaknaan tersebut tidak dapat dicabut dengan bentuk apapun karena hal tersebut merupakan bagian dari hak asasi manusia.
Tepatkah Prabowo Membadingkan Sistem Pemilu Indonesia dengan Malaysia dan Singapura?
Hal yang paling fatal dalam pidato Prabowo adalah dengan membandingkan proses demokrasi di Indonesia dengan Malaysia dan Singapura. Kenapa itu menjadi sangat keliru?. Ini hanya menyingkap bahwa kegagalan Prabowo dalam memahami bentuk pemerintahan negara yang dia pimpin sendiri. Seperti yang kita ketahui, bentuk pemerintahan Singapura dan Malaysia adalah parlementer dimana kepala pemerintahannya adalah Perdana Menteri. Indonesia tidak mengenal konsep demokrasi parlementer sebab tidak ada pembagian antara kepala negara dan kepala pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Indonesia menganut sistem presidensiil di mana Presiden menjabat kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Malaysia dan Singapura, kabinet bertanggungjawab kepada parlemen. Sedangkan di Indonesi, Presiden tidak bertanggungjawab kepada siapapun. Sehingga perbandingan yang dilakukan Prabowo sangat keliru dan tidak sesuai dengan konsep yang dianut oleh Indonesia.
Namun, satu hal yang pasti keinginan Prabowo tersebut sangat masuk akal karena koalisi jumbonya yaitu KIM-Plus menang di banyak Provinsi bahkan di Jawa saja yang merupakan lumbung suara nasional, KIM-Plus hanya kalah di DKJ. Hal ini seakan berkorelasi terhadap persiapan Prabowo melakukan pengamanan suara di daerah terutama di wilayah dengan elektoral terbanyak sehingga dapat digunakan untuk melakukan konsolidasi dan pengamanan wilayah guna kepentingan kandidasi dirinya di tahun 2029.
ADVERTISEMENT
Bahwa perbandigan yang dilakukan dirinya tidak apple to apple itu menjadi soal lain mengingat Prabowo masih punya ambisi kuat untuk maju kembali di tahun 2029 sehinga alat kelengkapan politik yang bisa mendukungnya wajib dipersiapkan mulai dari sekarang, apalagi santer Gibran yang merupakan wakilnya saat ini akan didorong oleh Jokowi untuk maju sendiri di Pemilu 2029. Tentu apabila tidak diantisipasi secara cermat oleh Prabowo akan berakibat fatal.
Kesimpulan
Usulan Prabowo terkait perubahan proses Pilkada di Indonesia jelas merupakan kesesatan berpikir. Prabowo hanya memandang demokrasi langsung sebatas pada anggaran alih-alih transparansi dan keterlibatan masyarakat. Hal ini tentu berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi Indonesia yang masih seumur jagung apalagi jika melihat proses pemilihan langsung di Pilkada baru terjadi pasca reformasi.
ADVERTISEMENT
Namun, dalam pandangan politik praktis, usulan Prabowo dapat dimaknai sebagai persiapan dirinya untuk menyusun kekuatan menuju pemilu 2029. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi jelas mempunyai alat kelengkapan untuk melakukan orkestrasi perubahan tersebut. Terlebih, apabila usulan perubahan tersebut sampai DPR RI dengan mudahnya pasti akan goal karena koalisi mayoritas di parlemen dikuasi oleh KIM-Plus.
Tentu, ini akan menjadi perdebatan yang panas sekaligus memicu friksi yang cukup keras di masyarakat apabila usulan tersebut sampai dibahas dan disahkan oleh DPR RI. Lantaran dapat mengeliminasi keterlibatan masyarakat dalam proses pemilihan calon kepala daerah yang akan memimpin mereka. Permasalahan fundamental seperti praktik money politic yang menjadi biang masalah justru terabaikan. Perubahan sistem yang demikian tidak menjawab permasalahan demokrasi di Indonesia melainkan justru memindahkan masalah hanya kepada segelintir elit pengusa dan partai.
ADVERTISEMENT