Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
3 Alasan Kenapa Putin Kini Lebih Kuat dari Sebelumnya
19 Maret 2024 7:30 WIB
·
waktu baca 8 menitVladimir Putin memenangkan pemilu presiden Rusia untuk kelima kalinya sekaligus merintis jalan untuk memimpin negara sampai setidaknya tahun 2030. Dalam pidato kemenangannya, Putin menyebut hasil ini membuat Rusia bisa lebih makmur dengan menjadi "lebih kuat dan efektif".
Putin memenangkan 87% dari total suara. Hasil ini melebihi rekor Putin pada pemilu sebelumnya, yakni 76,7%. Kendati demikian, Putin tidak berhadapan dengan kandidat oposisi yang kredibel mengingat Kremlin secara ketat mengendalikan sistem politik, media, dan pemilu Rusia.
Banyak pemimpin Barat mengecam pemilu yang mereka sebut tidaklah bebas maupun adil, termasuk Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky yang menyebut Putin sebagai "diktator" yang "mabuk kekuasan".
"Tidak ada kejahatan yang tidak akan dilakukan [Putin] guna memperpanjang kekuasaan pribadinya," papar Zelensky.
Putin, 71 tahun, pertama kali terpilih sebagai orang nomor satu Rusia pada 1999. Kini, dia sudah menjadi pemimpin Rusia yang berkuasa paling lama sejak Joseph Stalin. Putin juga bisa melewati rekor diktator Soviet itu.
Meski banyak orang Rusia tewas dalam perang kontra Ukraina yang sudah masuk tahun ketiga dan Barat mengucilkan mereka, berikut tiga alasan kenapa Putin lebih kuat dari yang sudah-sudah.
'Sensor dan penyingkiran mereka yang berbeda pendapat'
"Putin tahu bagaimana cara menekan segala jenis diskusi politik di Rusia," jelas Andrei Soldatov, jurnalis Rusia yang hidup dalam pengasingan di London setelah dipaksa angkat kaki dari Rusia pada 2020.
"Dan karena dia sangat mahir melakukannya, dia juga mampu menyingkirkan lawan-lawan politiknya," imbuh Soldatov.
Hanya tiga kandidat lain yang namanya muncul di kertas suara pada pemilu 2024 di Rusia. Tidak satu pun dari mereka merupakan lawan berarti bagi Putin. Ketiganya secara eksplisit mendukung Putin dan perang di Ukraina.
Mereka yang benar-benar menjadi ancaman bagi Putin kalau tidak dipenjara, mati atau disingkirkan dengan berbagai cara. Kremlin menyangkal punya peran dalam hal ini.
Sebulan sebelum jajak pendapat dibuka, lawan Putin yang paling berapi-api, Alexei Navalny, 47, mati di penjara Rusia di kawasan Arktik. Navalny kala itu tengah menjalani hukuman penjara nan panjang atas tuduhan penipuan, penghinaan pengadilan, dan ekstrimisme.
Tuduhan-tuduhan terhadap Navalny telah dikritik karena sarat motif politik.
"Putin sangat abai terhadap oposisinya," tutur Soldatov.
"Respons dirinya ketika seseorang yang punya peran penting dalam politik adalah bahwa mereka 'tidak signifikan' dan kepada para pendukungnya dia berkata 'buat apa saya membunuh mereka?' Kremlin sangat mahir dalam menyedakan alasan-alasan ini."
Beberapa penantang Putin yang terkenal sudah tamat riwayatnya mulai dari politisi sampai wartawan.
Tahun lalu, Yevgeniy Prigozhin, pemimpin kelompok tentara bayaran Wagner, mati dalam kecelakan pesawat beberapa bulan setelah upaya pemberontakan.
Pada 2015, Boris Nemtsov, kritikus vokal dan politisi, tewas tertembak di sebuah jembatan dekat Kemlin. Pada 2006, Anna Politkovskaya, seorang jurnalis yang sangat kritis atas perang di Chechnya, ditemukan mati ditembak di kediamannya Moskow.
"Ngeri rasanya tinggal di negara di mana para wartawan dibunuh, politisi dan aktivis dibunuh dan dipenjara," ujar Soldatov.
"Sangat tidak nyaman secara psikologis, sehingga orang biasa pun menerima narasi Kremlin bukan karena kami memercayainya, melainkan karena kami berusaha untuk tetap hidup."
Putin juga berupaya mengendalikan perbedaan pendapat individu di masyarakat umum. Sejak 2022, menyusul invasi Ukraina, Kremlin memperkenalkan peraturan perundang-undangan sensor baru yang menyasar sentimen anti pemerintah.
Dalam undang-undang baru ini, "mendiskreditkan militer Rusia" bisa dihukum lima tahun penjara. Presiden menyebut protes-protes selama pemilu "tidak punya dampak" dan "kejahatan" apa pun akan dihukum setelah pemungutan suara.
"Sekarang ini bukanlah tentang laporan BBC atau Radio Free Europe," ujar Soldatov.
"Melainkan tentang orang-orang yang barangkali menyaksikan sesuatu di jalanan lalu segera mengunggahnya secara daring yang kemudian dibagikan ulang oleh jutaan orang.
"Putin punya keyakinan bahwa negara berada dalam kondisi kerapuhan yang ekstrim. Maka dari itu, dia percaya bahwa segala cara harus dilakukannya untuk menekan segala jenis perbedaan pendapat karena revolusi berikutnya bisa jadi dimulai dengan dua atau tiga remaja perempuan protes di jalanan."
Perang di Ukraina
Dalam konfrensi pers pascapemilu, Putin bersumpah akan terus melanjutkan invasi Ukraina.
Perang di Ukraina kini memasuki tahun ketiga. Banyak orang di Rusia awalnya memperkirakan Rusia akan menang telak dan cepat, tetapi ini tidak terjadi dalam Perang Ukraina.
Dr Ekaterina Schulmann, pakar politik Rusia yang berbasis di Berlin, mengatakan Putin menggunakan perang ini untuk keuntungannya.
"Saat [Perang Ukraina] dimulai, awalnya direncanakan seperti model Krimea, tapi dalam skala lebih besar," ujar Dr Schulmann.
"Jelas-jelas yang terjadi adalah [perang] yang tidak pendek ataupun tanpa tumpah darah [Rusia]. Ini mempengaruhi cara orang Rusia melihat diri mereka sendiri, dunia luar, dan pemimpin mereka."
Dr Schulmann meyakini invasi pada 24 Februari 2022 bukanlah hal yang besar bagi Rusia dibandingkan dunia luar.
"Terjadi semacam bulan madu pada musim semi dan musim panas ketika orang-orang di Rusia mendukung perang."
"Namun ketika mobilisasi terjadi pada September 2022, rasa cemas melambung, orang-orang sangat takut dan dukungan terhadap perang berkurang," ujarnya.
Soldatov menyepakati hal ini. Dia yakin Putin mengubah narasinya seiring dukungan terhadap perang yang menurun.
"Kini namanya bukan lagi perang melawan Ukraina," tuturnya, "melainkan perang melawan Barat, dan ini membuat banyak orang Rusia merasa bangga karena pasukan tidak lagi berhadapan dengan negara kecil, tetapi menantang lawan yang jauh lebih besar."
Dalam pidato tahunannya pada 29 Februari silam, Putin memperingatkan Barat untuk tidak mengirim pasukan ke Ukraina. Dia juga mengatakan Rusia perlu memperkuat pertahanannya setelah Swedia dan Finlandia bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
"Semua di negara kami, termasuk saya, diajarkan di sekolah-sekolah bahwa Kekaisaran Rusia adalah satu-satunya kekaisaran di dunia yang dibangun oleh orang-orang yang damai," ucap Soldatov.
"Semuanya mau menyerang kami jadi ketika Anda menjual narasi bahwa NATO mendekati perbatasan Anda, orang-orang akan siap untuk mempercayai narasi ini."
Lebih lanjut, Soldatov meyakini bahwa Barat tidak cukup berusaha untuk menjelaskan kepada dunia kenapa perang di Ukraina memiliki makna.
"Orang-orang di Afrika, di Amerika Selatan, misalnya, tidak paham kenapa mereka harus peduli. Ini adalah celah yang dimanfaatkan Putin," jelas Soldatov.
"Putin sangat pintar dalam memainkan kartu warisan Soviet dan itulah kenapa benua Afrika menjadi semakin penting dan beberapa negara ini menawarkan bantuan infrastruktur dan militer."
Tumbuhnya ekonomi Rusia
Kendati level sanksi yang dijatuhkan terhadap Rusia menyusul invasi Ukraina lebih tinggi dari yang sudah-sudah, Rusia tetap menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Eropa – sesuatu yang mengejutkan banyak ekonom.
"Ekonomi berfungsi dengan baik mengingat faktor-faktor yang ada. Ini membuat Putin populer karena dia lagi-lagi menempatkan dirinya sebagai seseorang yang mampu melawan Barat dan serangan mereka terhadap ekonomi Rusia," ujar koresponden bisnis BBC Rusia, Alexey Kalmykov.
Alih-alih menyusut seperti dugaan banyak orang, ekonomi Rusia meningkat sebanyak 2.6%, menurut perkiraan Dana Moneter Internasional (IMF).
Angka ini diraih Rusia kendati dihajar sanksi Barat, termasuk pembekuan aset senilai 300 milliar dollar AS (sekitar Rp4.714,8 triliun).
Namun, sanksi-sanksi ini tidak diterapkan secara unilateral dari penjuru global. Ini membuat Rusia bisa berdagang bebas dengan negara-negara seperti China, India, dan Brasil, sementara negara tetangga termasuk Kazakhstan dan Armenia membantu Rusia memotong sanksi Barat.
"Rusia adalah ekonomi yang besar," ujar Kalmykov.
"Butuh sanksi demi sanksi selama beberapa dekade dan juga kesalahan manajemen untuk membuat Rusia jatuh dan hingga kini itu tidak terjadi."
"Rusia meraup uang dengan mengekspor komoditas dan mereka pada dasarnya bebas menjual apa yang mereka mau," jelas Kalmykov.
"Sanksi minyak bersifat dekoratif, dan gas alam, padi-padian, dan bahan bakar nuklir sama sekali tidak disanksi oleh Uni Eropa – pembeli utama Rusia."
Dr Schulmann mengatakan walaupun barang-barang "harganya empat kali lipat" dari sebelumnya, persediannya selalu ada. Menurut dia, ini lebih penting.
"Orang-orang Rusia terbiasa dengan harga naik. Ketakutan nasional utama kami bukanlah inflasi, melainkan defisit. Kurangnya bahan-bahan di rak-rak - itu adalah horor masa lalu Soviet."
Kalmykov sepakat: "Semuanya tentang sudut pandang, dan mesin propaganda Putin lihai dalam memainkan ini."
Tapi ini tidak bisa berlangsung selamanya...
Walaupun Putin terlihat lebih kuat dari yang sudah-sudah, Dr Schulmann memperingatkan ini suatu saat akan berakhir.
Berkat amandemen konstitusi Rusia tahun 2020 dalam referendum nasional, Putin kini dapat memimpin dua kali lagi – masing-masing dalam jangka enam tahun – di Kremlin.
Ini artinya dia bisa jadi presiden hingga 2036 – ketika dia berusia 83 tahun.
"Saya tidak melihat kemungkinan dia pensiun," ucap Dr Schulmann.
"Idealnya, dia harus mati saat memimpin dan digantikan oleh orang-orang yang punya pola pikir otokratis yang sama."
Tetapi Dr Schulmann berpendapat ini mungkin tidak akan terjadi.
Menurutnya, sistem Rusia "menua" dan sekarang "dipimpin oleh seseorang yang tidak lagi muda, kuat, atau lebih tangguh."
Kesimpulan Dr Schulmann? Seluruh "stabilitas terkonsentrasi pada satu orang" yang "tidak bisa hidup selamanya."