Konten Media Partner

Afghanistan: Ekonomi Ambruk, Keluarga Miskin Kesulitan untuk Bertahan Hidup

26 April 2022 11:59 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Bangsal rumah sakit kanker di Kabul penuh sesak. Ini adalah satu dari tiga pusat perawatan kanker yang masih beroperasi.
zoom-in-whitePerbesar
Bangsal rumah sakit kanker di Kabul penuh sesak. Ini adalah satu dari tiga pusat perawatan kanker yang masih beroperasi.
Fazlur Rahman, bocah berusia lima tahun, menderita tumor tahap empat di lehernya. Tergeletak lemah di rumah sakit Jamhuriat, Kabul, yang penuh sesak, dokter berusaha sekuat tenaga menyambung hidupnya dengan kemoterapi.
Di Afghanistan, Jamhuriat adalah satu dari hanya tiga pusat perawatan kanker yang masih beroperasi.
Perawatan kesehatan di sini gratis berkat bantuan dana dari Komite Palang Merah Internasional (ICRC), namun beberapa obat harus dibeli sendiri oleh pasien.
Ekonomi Afghanistan hancur setelah kelompok Taliban kembali berkuasa.
Bagi Abdul Bari, ayah Fazlur Rahman, mencari uang $100 bukan perkara mudah.
"Saya pinjam uang sana-sini agar bisa menengok anak saya di rumah sakit dan untuk membeli obat," ujar Bari, petani yang tinggal di kawasan pedalaman di Afghanistan barat.
Sebelum Taliban berkuasa pada pertengahan 2022, sekitar 75% anggaran negara berasal dari bantuan asing.
Bantuan dihentikan sejak Taliban mengambil alih kekuasaan, meski bantuan kemanusiaan tetap berlanjut, dan sekitar US$9 miliar cadangan devisa Afghanistan di luar negeri dibekukan, memicu kelangkaan dana dan uang kontan di negara tersebut.
Mazaria, seorang buruh kasar, tak bisa membeli obat-obatan yang di masa lalu tersedia secara cuma-cuma.
Laporan Bank Dunia pekan lalu memperingatkan, lebih sepertiga rakyat Afghanistan tak bisa memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
Pasien di bangsal kanker seperti Mazaria, 50 tahun, dari Provinsi Takhar di utara, menjual semua yang ia punya untuk membiayai obat, yang tersedia cuma-cuma di masa lalu.
"Tak ada hal lain yang bisa kami lakukan ... kami buruh kasar, hanya punya sapi dan keledai, jadi kami jual hewan ini. Sekarang tak ada yang tersisa," ungkap Mazaria.
"Kami pinjam uang dari saudara, dari kerabat suami, dan juga dari tetangga," imbuhnya.

'Talangan' organisasi internasional

Dr Manucher, yang memegang tanggung jawab di bangsal kanker, mengatakan kadang para staf rumah sakit iuran untuk membeli kebutuhan obat para pasien miskin.
"Kami memang kekurangan anggaran," katanya.
Yang sebenarnya terjadi adalah, anggarannya nol. Departemennya tetap bisa beroperasi karena ICRC membayar gaji karyawan dan mendanai pembelian obat-obat tertentu.
Dulu Dr Manucher menerima anggaran sekitar US$1 juta dari pemerintah. Sekarang ia tak menerima anggaran sama sekali.
Sebagai perbandingan, tahun lalu ia menerima anggaran US$1 juta dari Kementerian Kesehatan.
PBB sudah menyerukan pengumpulan dana lebih US$4 miliar untuk mengatasi krisis kemanusiaan di Afghanistan.
Bulan lalu, digelar konferensi internasional dengan tujuan mendapatkan US$4,4 miliar dana kemanusiaan, namun hanya terkumpul komitmen sebesar US$2,4 miliar.
Ada kebutuhan mendesak untuk menyelamatkan nyawa karena bertambahnya jumlah anak-anak yang kekurangan gizi dan keluarga-keluarga yang kesulitan terpaksa menikahkan anak perempuan mereka lebih cepat.
Para pekerja kemanusiaan dan para diplomat mengakui pentingnya mengatasi persoalan Afghanistan, tak hanya dalam waktu dekat tapi juga dalam jangka panjang.
Tetapi mencairkan kembali dana pembangunan dan cadangan devisa Afghanistan masih menjadi masalah bagi komunitas internasional, terutama karena Taliban makin sering mengambil posisi garis keras.
Banyak yang khawatir, keputusan Taliban tidak mengizinkan anak-anak perempuan kembali bersekolah hanya akan membuat masyarakat internasional makin enggan menyediakan dana yang sangat diperlukan oleh Afghanistan.
Parwana (kanan) mengatakan tak bisa pergi ke sekolah pemerintah karena keluarganya tak punya uang untuk membeli seragam.
Untuk sementara ini, yang paling terdampak adalah mereka yang rentan.
Di pinggiran Kabul timur kami mengunjungi kamp untuk para pengungsi.
Pertempuran yang menjadi penyebab utama untuk mengungsi sudah selesai tetapi mereka mengeklaim tak bisa pulang ataupun membangun kembali rumah mereka yang rusak.
Ada ruang kelas yang penuh sesak. Ada sekolah gratis yang didirikan pemerintah, namun Parwana, 12 tahun, mengatakan tak bisa bersekolah di sana karena tak bisa membeli seragam.
"Kehidupan makin susah. Ibu saya menjadi tukang cuci, namun uang yang didapat tidak mencukupi untuk membeli makanan. Dan sekarang ia sakit," katanya.
Saat hari beranjak malam, di satu jalan, organisasi bantuan setempat membagikan roti. Tak kurang dari 100 orang berkumpul.
Beberapa di antaranya mengira kami sebagai staf organisasi bantuan dan menunjukkan kartu identitas dengan harapan nama mereka bisa masuk daftar penerima.
Ada rasa putus asa.
Seseorang di antaranya berujar, "Kadang anak saya bisa makan, kadang juga tidak."