Konten Media Partner

Apa Ancaman dan Peluang di Balik Tarif 'Timbal Balik' Trump bagi Indonesia?

4 April 2025 15:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical

Apa Ancaman dan Peluang di Balik Tarif 'Timbal Balik' Trump bagi Indonesia?

Apa Ancaman dan Peluang di Balik Tarif 'Timbal Balik' Trump bagi Indonesia?
zoom-in-whitePerbesar
Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga melonjaknya tingkat kemiskinan adalah beberapa ancaman yang disebut ekonom berpotensi menghantam Indonesia, akibat pengenaan tarif resiprokal atau timbal balik Presiden Amerika Serikat, Donald Trump.
Pemerintah Indonesia pun menyadari dampak signifikan dari kebijakan Trump itu, terhadap daya saing ekspor Indonesia ke AS.
"Sejak awal tahun ini, pemerintah telah mempersiapkan berbagai strategi dan langkah untuk menghadapi penerapan tarif resiprokal AS dan melakukan negosiasi dengan Pemerintah AS," kata keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri Indonesia, Kamis (03/04).
Namun di balik ancaman itu, ekonom menyebut terdapat peluang yang bisa dimanfaatkan, yakni meniru siasat Vietnam, yang menjadi "pemenang" perang dagang jilid pertama Trump, antara AS dan China pada 2019 lalu.
Apalagi, catatan Kementerian Perdagangan RI menunjukkan AS adalah salah satu negara penyumbang surplus perdagangan nonmigas pada 2024 lalu. Kontribusi AS mencapai US$16,08 miliar dari total surplus perdagangan migas sebesar US$31,04 miliar.
Berikut beberapa ancaman dan peluang yang akan dihadapi Indonesia akibat dari kebijakan tarif Trump.

'Resesi ekonomi hingga industri diunjung tanduk'

Donald Trump, beberapa hari lalu, mengumumkan pengenaan tarif dasar dan bea masuk atas barang-barang dari lebih 180 negara, termasuk Indonesia.
Barang Indonesia yang masuk ke AS dikenakan tarif sebesar 32%. Tarif itu disebut sebagai timbal balik atas tarif yang diberlakukan Indonesia terhadap barang dari AS, yang diklaim mencapai 64%.
Angka tarif yang dikenakan ke Indonesia hanya berbeda 2% dari China, yang berjumlah 34%, dan juga lebih kecil dibanding Thailand sebesar 36%, Sri Lanka 44%, Vietnam 46%, bahkan Kamboja 49%.
Kenaikan tarif resiprokal Trump berpotensi memicu resesi ekonomi Indonesia di kuartal IV pada 2025, kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.
"Resesi itu karena potensi ekspor menurun, harga komoditas makin rendah, penerimaan pajak melemah, fiskal pemerintah tidak mampu berikan stimulus tambahan, sisi konsumsi rumah tangga melemah. Perfect storm," kata Bhima saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis (03/04).
Bhima menjelaskan resesi ekonomi adalah kondisi ketika dua atau tiga kuartal ekonomi mengalami pelambatan. "Resesi berbeda dari krisis ekonomi di mana pertumbuhan minus. Dalam resesi tidak harus minus, growth melambat saja sudah bisa disebut resesi ekonomi," jelasnya.
"Korelasi ekonomi Indonesia dengan AS, setiap 1% penurunan pertumbuhan ekonomi AS maka ekonomi Indonesia turun 0,08%," tambahnya.
Kemudian, kata Bhima, tarif ini secara khusus akan menghantam dan membuat sektor-sektor yang bergantung pada ekspor ke AS berada "diujung tanduk", seperti otomotif serta elektrik.
"Imbasnya layoff [PHK] dan penurunan kapasitas produksi semua industri otomotif dan elektrik di dalam negeri," kata Bhima.
Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, ekspor mesin dan perlengkapan elektrik Indonesia ke AS pada 2024 mencapai US$4,1 miliar.
Kemudian, sektor padat karya seperti pakaian jadi dan tekstil juga diperkirakan Bhima akan semakin terpuruk.
"Sebagian besar brand internasional di Indonesia punya pasar besar di AS. Begitu kena tarif yang lebih tinggi, brand itu akan turunkan jumlah pemesanan ke pabrik Indonesia. Sementara di dalam negeri, kita bakal dibanjiri produk Vietnam, Kamboja dan China karena mereka incar pasar alternatif."
Tercatat ekspor produk pakaian dan aksesoris (rajutan) Indonesia ke AS berkontribusi hingga US$2,4 miliar. Sedangkan, produk pakaian dan aksesoris (bukan rajutan) mencapai US$2,1 miliar.
"Ditambah lagi Permendag 8/2024 [tentang impor] belum juga direvisi. Jadi ekspor sulit, sementara barang impor menekan pemain tekstil pakaian jadi di domestik," katanya.
Senada, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyebut separuh produk tekstil Indonesia diekspor ke Amerika.
Dia memandang, tarif yang lebih tinggi itu akan memperlemah penetrasi produk Indonesia ke AS.
"Saat ini kondisi tekstil sedang berdarah-darah. Banyak industri yang sudah menutup pabriknya, menghentikan karyawannya, ada relokasi. Dengan tarif AS ini tentu semakin menekan tingkat penjualan dan juga profitabilitas industri ini," ujar Faisal.

Potensi Indonesia 'kebanjiran' barang impor

Tarif yang tinggi itu, menurut Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Jemmy Kartiwa Sastraatmaja, akan membuat "penurunan demand dan oversupply pakaian jadi makin besar lagi. Terutama bagi negara produsen pakaian jadi, seperti China, Bangladesh dan Vietnam."
Sudah sulit ekspor, Jemmy khawatir, Indonesia akan menjadi tujuan dari negara-negara yang kelebihan pasokan tekstil akibat perang tarif itu.
Padahal, katanya, pasar dalam negeri menjadi salah satu tumpuan industri tekstil Indonesia saat pasar dunia bergejolak.
"Kelebihan produksi ini jangan sampai membanjiri market Indonesia yang sudah banjir barang impor, yang makin membuat Industri dan IKM [industri kecil-menengah] dalam negeri tertekan," kata Jemmy.
Dia pun berharap pemerintah harus segera membuat aturan non-tariff barrier untuk "membentengi Indonesia dan melindungi IKM dan industri TPT [tekstil dan produk tekstil] dari serbuan barang impor, terutama pakaian jadi."
Indonesia kehilangan sekitar seperempat juta pekerjaan di industri tekstil dan pakaian jadi selama dua tahun terakhir, menurut Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani melihat industri berorientasi ekspor—yang saat ini kondisinya rentan dan memiliki permintaan yang besar dari pasar AS—kemungkinan akan lebih sulit bertahan dalam kondisi ini.
"Dalam perkiraan sementara kami, sektor garmen, sepatu, karet, perikanan, dan furnitur akan sangat terdampak karena share ekspornya yang besar ke AS dan kondisi industrinya masing-masing yang memiliki korelasi supply chain dengan UMKM atau karena kurangnya fleksibilitas untuk menciptakan diversifikasi ekspor secara segera," kata CEO Sintesa Group ini.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
"Kekhawatiran kami yang terbesar adalah tekanan layoff [PHK] yang lebih besar di sektor padat karya [garmen terutama] pascakebijakan ini karena industrinya sendiri sudah lama struggling untuk mempertahankan kinerja usaha, kinerja ekspor dan lapangan kerja."
Sementara untuk sektor lain seperti CPO, biofuel, komponen produk elektrik, permesinan atau kendaraan juga disebut akan terdampak negatif.
Tetapi, kata Shinta, sektor-sektor itu diperkirakan bisa lebih tangguh bertahan karena dapat mendiversifikasi produksinya ke negara tujuan lain atau mengandalkan permintaan dari pasar dalam negeri.

'Meningkatkan pengangguran dan kemiskinan di Indonesia'

Seorang pekerja pabrik tekstil menangis saat mendengarkan pidato perpisahan saat PHK massal, di Sukoharjo, Jawa Tengah, (28/02).
Kebijakan Trump ini berpotensi meningkatkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga melonjaknya tingkat kemiskinan di Indonesia, kata guru besar ekonomi dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Didin S. Damanhuri.
Didin melihat tarif timbal balik Trump akan membuat pelemahan nilai tukar rupiah. Dia memprediksi dalam jangka dekat, kurs rupiah akan melewati Rp17.000 terhadap dollar Amerika.
"Kalau kurs sudah di atas Rp17.000 dan ini batas psikologis seperti pada 1998. Padahal pemerintah punya utang besar yang berdenominasi dolar. Itu akan menaikan belanja bunga utang," kata Didin.
Baca juga:
Berdasarkan data BI, utang luar negeri Indonesia tembus US$427,5 miliar atau Rp6.997 triliun per Januari 2025. Jumlah itu dengan asumsi kurs US$1 senilai Rp16.370.
Pelemahan rupiah, kata Didin, akan menciptakan sentiment negatif di pasar modal. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) akan terdampak langsung dan bisa anjlok.
Tercatat sepanjang Januari hingga 6 Maret 2025, aliran modal asing yang keluar (capital outlow) sebesar Rp20,12 triliun. Angka ini belum termasuk potensi dampak dari kebijakan tarif Trump.
Selain itu, korporasi besar di Indonesia yang memiliki utang dalam denominasi dolar juga terancam goyang, bahkan bisa berpotensi pailit.
"Oleh karena itu antisipasi mereka memilih PHK, daripada mengkonversi utang-utangnya. Jadi PHK yang sudah masif akan semakin masif," ujarnya.
Apindo mencatat jumlah tenaga kerja yang terkena PHK mencapai 40.000 orang pada Januari-Februari 2025, ditambah tahun lalu ada 250.000 orang yang dirumahkan.
BPS mencatat, per Agustus 2024, tercatat ada 7,47 juta orang menganggur.
Meningkatnya pengangguran akan berdampak langsung pada melonjaknya angka kemiskinan di Indonesia, kata Didin, yang menciptakan situasi berbahaya pada sisi sosial, politik dan keamanan.
Pada 2024, tercatat 67,69 juta orang (24,23% dari total penduduk) masuk kategori masyarakat rentan miskin. Angka ini belum termasuk kelompok miskin yang berjumlah 25,22 juta orang (9,03%).
"Jadi jangan dianggap oleh pemerintah maupun oleh elite business bahwa ini seolah-olah hanya berdampak di pusaran modal pasar uang, enggak menurut saya, tapi bisa hingga menyentuh seluruh lapisan masyarakat," katanya.

Apa peluang dari pengenaan tarif AS ini yang bisa dimanfaatkan Indonesia?

Sebuah tanda tentang 'Perang Dagang Trump'.
Di tengah beragam potensi ancaman itu, ternyata ada peluang yang bisa dimanfaatkan Indonesia yang dikenakan tarif 32% itu, kata Direktur Eksekutif CORE, Mohammad Faisal.
Faisal melihat, target utama dari tarif impor AS itu sebenarnya adalah China sebesar 34%, Vietnam 46%, Thailand 36%, Kamboja 49%, Bangladesh 37%, dan Sri Lanka 44%.
"Artinya, Indonesia bukan sasaran utama, tapi yang disasar adalah negara-negara kompetitor kita. Jadi kalau Indonesia jeli untuk melihat peluang ini, bisa mengambil pasar yang mereka justru kalah di situ. Tapi tentu saja itu bukan sesuatu yang given, tapi harus diusahakan dengan strategi-strategi yang tepat," katanya.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia, Redma Gita Wirawasta pun melihat peluang tersebut.
"Hampir semua negara eksporter ke AS itu kan kena. Artinya ini kan kayak kocok ulang. Negara yang defisit perdagangannya kecil bisa menaikkan pangsa pasar eksportnya ke AS yang ditinggalkan oleh negara yang defisitnya besar, seperti Vietnam, China dan Sri Lanka," kata Redma.
"Jadi sebenarnya pesaing yang paling utama adalah dari industri dalam negeri Amerika. Karena dia kan tidak kena tarif, kita kena tarif, tapi produksi di dalam AS pasti mahal. Peluang ini yang harus dimanfaatkan."

Belajar dari Vietnam

Pengenaan tarif timbal balik AS ini bukan kali pertama bagi Trump. Pada 2019, dia melakukan kebijakan sama, yang menciptakan perang dagang antara China dan AS.
Di balik perang itu, ada satu negara yang berhasil mengambil manfaat, yaitu Vietnam, kata Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti.
Saat itu, kata Esther, Vietnam secara cerdik mensubtitusi produk China di AS dan memudahkan investasi asing masuk ke negaranya.
Esther berkata, Vietnam memiliki kemiripan produk ekspor yang cukup tinggi dengan China sehingga dia mampu mengantikan ruang kosong yang ditinggalkan China di AS.
"Vietnam juga mempunyai fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) dan Bilateral Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) dengan AS sejak 1994. Adapula potensi pelabelan ulang produk China di Vietnam," kata Esther.
Pekerja pabrik garmen Vietnam menjahit pakaian di sebuah pabrik di Kota Ho Chi Minh pada 3 April 2025, setelah Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif baru yang luas pada mitra dagangnya.
Kemudian, Vietnam juga piawai menangkap peluang investasi, kata Esther.
Kedekatan geografisnya dengan China, ujarnya, dimanfaatkan dengan optimal oleh Vietnam sehingga beberapa perusahaan manufaktur di China memindahkan basis produksinya ke negara di Asia Tenggara itu.
"Sekitar 23 perusahaan AS relokasi investasi dari China ke Vietnam. Faktor kuncinya kemudahan investasi, investor hanya butuh waktu dua bulan untuk mendapatkan izin investasi," katanya.
Walaupun tingkat kesamaan ekspor Indonesia dengan China ke AS relatif sedikit, kata Esther, ada beberapa produk yang bisa dimanfaatkan.
"AS masih membutuhkan produk lain seperti mineral, logam, dan barang konsumen. Indonesia mempunyai 10 komoditas utama ekspor seperti batubara, besi/baja, minyak kelapa sawit, bijih tembaga, nikel," katanya.
Selain itu, perkembangan global menuju transisi hijau, katanya, membuka peluang besar bagi Indonesia sebagai negara penghasil mineral kritis untuk mendukung teknologi ramah lingkungan.
"Indonesia dapat memperkuat posisinya sebagai penyedia bahan baku teknologi ramah lingkungan sekaligus menciptakan ekonomi yang inklusif," katanya.

Solusi apa lagi yang bisa dilakukan pemerintah?

Bhima dari Celios mengatakan pemerintah Indonesia harus berlomba untuk memikat investor asing guna membangun pabrik mereka di dalam negeri. Hal ini dikarenakan para investor berpotensi memindahkan pabrik mereka dari negara yang terkena tarif resiprokal besar AS.
"Kuncinya di regulasi yang konsisten, efisiensi perizinan, tidak ada RUU yang buat gaduh, seperti RUU Polri dan RUU KUHAP ditunda dulu, kesiapan infrastruktur pendukung kawasan industri, sumber energi terbarukan yang memadai untuk pasok listrik ke industri, dan kesiapan sumber daya manusia."
"Faktor-faktor tadi jauh lebih penting karena Indonesia sudah tidak bisa guyur insentif fiskal berlebihan dengan adanya Global Minimum Tax. Kalau sebelumnya tarik investor dengan tax holiday dan tax allowances, sekarang saatnya perbaiki daya saing yang fundamental," kata Bhima.
Selain memperbaiki kondisi dalam negeri, kata Bhima, pemerintah perlu mencari alternatif negara ekspor, seperti di Timur Tengah yang pertumbuhan relatif stabil.
Kemudian, Indonesia juga bisa mempererat hubungan dengan negara-negara yang tergabung dalam BRICS, "untuk memperbesar porsi intratrade dan kerjasama investasi serta moneter."
Spanduk permohonan dari para pekerja di gerbang pabrik garmen yang tutup, di Karanganyar, Jawa Tengah, Indonesia pada Rabu, (12/02).
Upaya lain yang perlu dilakukan, kata Didin dari IPB, adalah pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh atas program-program jangka pendek, menengah dan panjang.
"Anggaran-anggaran yang tidak berdampak untuk menghadapi jangka pendek ditunda dan dilakukan shifting untuk menciptakan stimulus ekonomi, bukan pengetatan, ke kalangan pelaku usaha, lebih khusus ke UMKM dan daerah," katanya.
Didin mengatakan, penyelamat ekonomi Indonesia pada krisis ekonomi 1998 dan 2008 adalah sektor UMKM, pertanian, dan ekonomi keluarga. Pemerintah harus melakukan stimulus ke sektor ini agar menjadi penopang ekonomi Indonesia di kala situasi internasional sedang goyang.
Didin lalu menyoroti program Makan Bergizi Gratis (MBG), yang lebih bertujuan pada jangka menengah dan panjang, yaitu mengatasi stunting dan gizi buruk.
"MBG ini, masyarakat sudah bisa memaafkan. Yang sudah dilaksanakan Rp71 triliun, yang Rp100 triliun sebaiknya ditunda dulu dan dialihkan ke stimulus perekonomian untuk kalangan UMKM, daerah, pertanian, itu menjadi lebih prioritas," katanya.
Cara selanjutnya, kata Shinta dari Apindo, pemerintah perlu segera melakukan diplomasi bilateral dengan AS untuk menciptakan pemisahan bagi produk ekspor Indonesia.
"Bila memungkinkan kami ingin agar Indonesia dan AS menciptakan kesepakatan dagang bilateral agar tarif bisa dieliminasi sepenuhnya dan Indonesia bisa menciptakan supply chain perdagangan yang efisien dengan industri di AS," katanya.

Apa respon pemerintah Indonesia atas kebijakan Trump?

Kementerian Luar Negeri Indonesia mengatakan kebijakan tarif Trump memberikan dampak signifikan terhadap daya saing ekspor Indonesia ke AS.
Untuk itu, pemerintah Indonesia disebut tengah menghitung pengenaan tarif AS terhadap sektor-sektor yang terdampak dan akan mengambil langkah strategis untuk memitigasi dampak negatif terhadap perekonomian .
"Pemerintah Indonesia berkomitmen menjaga stabilitas yield Surat Berharga Negara (SBN) di tengah gejolak pasar keuangan global pasca pengumuman tarif resiprokal AS," bunyi keterangan tertulis Kementerian Luar Negeri RI, Kamis (03/04).
Selain itu, pemerintah bersama Bank Indonesia terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, buntut tarif AS itu.
Indonesia juga terus melakukan komunikasi dengan pemerintah AS, termasuk mengirimkan delegasi tingkat tinggi ke Washington DC untuk melakukan negosiasi langsung.
Kemlu mengatakan, Presiden RI Prabowo Subianto juga telah menginstruksikan menteri Kabinet Merah Putih untuk melakukan perbaikan struktural, seperti penyederhanaan regulasi dan penghapusan regulasi yang menghambat, khususnya terkait dengan non-tariff barrier.
Di lingkup internasional, kata Kemlu, Indonesia juga telah berkomunikasi dengan Malaysia selaku pemegang Keketuaan ASEAN untuk mengambil langkah bersama, mengingat 10 negara ASEAN seluruhnya terdampak pengenaan tarif AS.