Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Apa Saja Tantangan Terberat Raja Charles III Memimpin Inggris?
20 September 2022 9:10 WIB
·
waktu baca 8 menitDi atas kertas, beberapa transisi berjalan mulus seperti suksesi monarki Inggris: kurang dari 48 jam setelah kematian Ratu Elizabeth II, Raja Charles III secara resmi dinyatakan sebagai pemimpin baru Inggris.
Namun, ada sejumlah hal yang tidak sesederhana seperti yang terlihat: Charles naik takhta di waktu yang menantang bagi Inggris dan Keluarga Kerajaan.
Sejarawan yang diwawancarai oleh BBC meyakini bahwa Raja baru akan menghadapi "tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya" dan akan menentukan - baik atau buruk - pemerintahannya dan generasi akan datang.
Dari menghadapi dampak krisis meroketnya harga energi di negara itu, hingga perubahan persepsi masyarakat atas sistem monarki di Inggris, terdapat beragam ujian yang menanti Charles III.
Ini adalah beberapa masalah utama yang mungkin perlu menjadi perhatian Raja yang baru.
Monarki 'yang merakyat'?
Jutaan keluarga di Inggris berpotensi kesulitan membayar tagihan listrik dan gas untuk musim dingin ini karena melonjaknya harga energi yang dipicu oleh perang di Ukraina.
Perkiraan yang paling pesimistis menyebut, hingga 45 juta orang akan berjuang untuk membayar tagihan mereka - sekitar dua pertiga dari populasi negara itu.
Skenario seperti itu kemungkinan akan membuat keuangan kerajaan berada di dalam pengawasan yang lebih ketat dari biasanya.
Bahkan, sebelum perang di Ukraina, ada desas-desus di pers Inggris saat itu bahwa Pangeran Wales bersedia untuk membatasi kemegahan acara formal kerajaan, yaitu upacara penobatannya.
Surat kabar Daily Telegraph berspekulasi pada 13 September bahwa acara tersebut akan menjadi titik tolak penghematan, jauh berbeda dari upacara naik takhta mewah mendiang Ratu pada 1953.
Mengutip sumber kerajaan, surat kabar itu mengatakan bahwa penobatan Charles III, yang diperkirakan tidak akan terjadi sebelum Juni tahun depan, akan lebih pendek, "lebih murah" dan, yang terpenting, lebih multikultural untuk mencerminkan keragaman dalam masyarakat Inggris.
Charles sebelumnya telah mengungkapkan keinginannya untuk memiliki monarki yang lebih ramping - yang kemungkinan akan diterjemahkan ke dalam kelompok bangsawan inti yang lebih kecil, dengan Raja dan Permaisuri Camilla serta Pangeran William dan istrinya, Catherine, sebagai pusat.
"Sangat mungkin bahwa kita akan melihat hal-hal diperkecil, terutama acara naik takhta," kata sejarawan kerajaan, Kelly Swab, kepada BBC.
"Keluarga kerajaan harus terlihat peduli atas apa yang terjadi di negara ini, pada masa-masa sulit ini," tambahnya.
Keuangan Keluarga Kerajaan adalah masalah kompleks yang sering menjadi inti penolakan dari kelompok anti-monarki: terutama dana yang berasal dari pembayaran tahunan pajak masyarakat, yang dikenal sebagai Sovereign Grant.
Pada tahun 2021-2022, hibah untuk kerajaan ditetapkan sebesar lebih dari Rp1,7 triliun- setara dengan Rp25.000 per orang di Inggris Raya, tetapi ini tidak termasuk biaya keamanan substantif untuk anggota keluarga kerajaan.
Reputasi yang menurun
Dukungan untuk monarki berada pada titik terendah dalam lebih dari 30 tahun, setidaknya menurut Survei Sikap Sosial Inggris (British Social Attitudes Survey), yang secara rutin mengukur penilaian masyarakat terhadap bangsawan.
Hasil terbaru dari survei tersebut, yang diterbitkan pada tahun 2021, menunjukkan bahwa hanya 55% orang Inggris yang menganggap monarki "sangat penting" atau "cukup penting".
Dalam beberapa dekade terakhir, dukungan itu berkisar antara 60% dan 70%.
Pada Mei tahun ini, Charles berada di peringkat ketiga dalam daftar bangsawan favorit rakyat, di belakang Ratu dan putra sulungnya, Pangeran William.
Meskipun, jajak pendapat yang dilakukan setelah kematian Elizabeth II menunjukkan peningkatan dukungan untuk Raja baru, terdapat tanda-tanda bahwa Charles III memiliki pekerjaan yang harus dilakukan untuk meningkatkan reputasi kerajaan.
"Salah satu tantangan bagi Raja Charles III adalah membuat monarki menarik bagi generasi muda," kata sejarawan kerajaan, Richard Fitzwilliams.
Pendapat Fitzwilliams didukung oleh Survei Sikap Sosial Inggris.
Survei itu menunjukkan bahwa pada tahun 2021 hanya 14% dari orang berusia 18-34 menganggap "sangat penting" bagi Inggris untuk memiliki monarki, sedangkan proporsi di antara mereka yang berusia di atas 55 tahun adalah 44%.
Dan menurut jajak pendapat YouGov, yang dilakukan untuk kelompok anti-monarki Republik pada Mei, 27% dari populasi mendukung penghapusan monarki.
Angka itu menunjukkan peningkatan penting dari rata-rata 15% pada abad ini. Dan ketidakpuasan yang jauh lebih tinggi tercatat di kalangan generasi muda.
Kelly Swab juga menunjukkan bahwa "banyak hal telah berubah sejak 1952" (tahun Elizabeth II menjadi Ratu). Dia merujuk secara khusus pada protes anti-monarki sporadis yang terjadi dalam beberapa hari terakhir.
"Ada sedikit rasa hormat terhadap monarki akhir-akhir ini dan lebih banyak pengawasan yang teliti terhadap keluarga kerajaan," katanya.
"Ini adalah sesuatu yang perlu dipikirkan oleh Raja Charles."
'Tidak pernah ajukan keberatan, tidak pernah menjelaskan'
Raja Charles III adalah kepala negara Inggris. Tetapi, di bawah model monarki konstitusional Inggris, kekuasaannya sebagian besar bersifat simbolis dan seremonial.
Dengan demikian, anggota keluarga kerajaan diharapkan untuk tetap berpolitik secara netral.
Pembatasan keterlibatan mendiang Ratu dilihat oleh banyak orang sebagai akibat dari keyakinannya pada pepatah "tidak pernah ajukan keberatan, tidak pernah menjelaskan".
Namun sebaliknya, Charles di masa lalu biasa berbicara tentang berbagai masalah yang penting baginya.
Pada tahun 2015 terungkap bahwa ia telah menulis puluhan surat kepada para menteri pemerintah yang berisi tentang keprihatinannya mulai dari masalah keuangan, Angkatan Bersenjata, hingga pengobatan tradisional.
Apakah sikapnya akan berubah? Pakar konstitusi terkemuka Profesor Vernon Bogdanor percaya demikian.
"Dia telah mengetahui sejak awal bahwa gayanya harus berubah. Publik tidak akan menginginkan seorang Raja yang berkampanye," kata Prof Bogdanor.
Pada 12 September, saat berbicara dengan Anggota Parlemen, Raja yang baru diproklamirkan itu telah memberikan tanda-tanda pendekatan yang disesuaikan.
Selain mengakui bahwa ada kepentingan yang tidak bisa dia kejar lagi, Charles III mengatakan bahwa Parlemen adalah "instrumen yang hidup dan bernapas" dalam demokrasi Inggris.
Persemakmuran dan warisan kolonial
Setelah ibunya wafat, Raja Charles III telah menjadi Kepala Persemakmuran, sebuah asosiasi politik yang terdiri dari 56 negara, sebagian besar bekas koloni Inggris.
Dia juga kepala negara dari 14 negara di samping Inggris - daftar yang mencakup Australia, Kanada, Jamaika, dan Selandia Baru.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, beberapa negara Persemakmuran mulai memperdebatkan hubungan mereka dengan Kerajaan Inggris.
Barbados, negara di kepulauan Karibia, membuat keputusan untuk menjadi republik pada akhir tahun 2021.
Negara ini menghapus Ratu sebagai kepala negara dan mengakhiri pengaruh Inggris selama berabad-abad atas pulau itu, yang merupakan pusat perdagangan budak transatlantik selama lebih dari 200 tahun.
Kunjungan Pangeran William ke Karibia pada awal 2022 memicu protes anti-kolonial dan seruan untuk pemulihan perbudakan. Perdana Menteri Jamaika Andrew Holness secara terbuka mengatakan kepada kerajaan bahwa negara itu akan "pindah".
Sean Coughlan, wartawan BBC untuk urusan kerajaan, percaya bahwa mendefinisikan kembali hubungan yang lebih modern dengan Persemakmuran akan menjadi "tantangan utama" bagi Raja Charles.
"Sebagai pemimpin baru negara-negara Persemakmuran, bagaimana kunjungannya ke negara-negara itu dapat menavigasi warisan sulit kolonialisme dan isu-isu seperti perbudakan?"
Raja "veteran"
Pada usia 73 tahun, Charles III adalah bangsawan tertua yang pernah dinobatkan sebagai Raja di Inggris.
Salah satu pertanyaan tentang hari-hari pemerintahannya adalah seberapa banyak daftar tugas kerajaan yang harus dia laksanakan sendiri.
Ada banyak spekulasi bahwa putranya dan ahli waris mahkota, Pangeran William, akan turun tangan untuk berbagi beban tugas kerajaan, terutama tur ke luar negeri.
Ratu Elizabeth II sendiri berhenti bepergian ke luar negeri pada usia delapan puluhan.
"Charles adalah raja tua. Dia tidak bisa melakukan semuanya," kata sejarawan Kelly Swab.
"Saya berharap kita akan melihat lebih banyak Pangeran William sebagai hasilnya."
Sejarawan Peter Carey: 'Tantangan terbesar membangun cara diplomasi sendiri'
Semasa masih bergelar Pangeran Wales, Raja Charles dikenal vokal menyuarakan berbagai isu hangat, seperti masalah lingkungan dan pembangunan. Namun sebagai penguasa, kini raja terikat dengan protokol-protokol. Pendahulunya, mendiang ibunda Ratu Elizabeth II dikenal sebagai diplomat ulung.
Kepada wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir, sejarawan asal Inggris, Peter Carey berpendapat salah satu tantangan terbesar raja baru adalah membangun cara diplomasi sendiri.
"Tantangan bagi Charles adalah untuk bisa dengan halus dan cukup tegas membuat salah satu sistem yang berhasil tanpa ada kesan bahwa dia campur tangan dengan isu dari partai politik. Sebab, dia terkenal dengan penuh semangat berkampanye untuk lingkungan, ekologi, pemanasan global, masa depan dari bumi manusia. Tapi waktu dia menjadi raja, sistem yang dia harus pakai adalah jauh hati-hati tapi juga tegas. Dan itu suatu keseimbangan, suatu kebijakan yang harus dia kembangkan.
Tantangan kedua adalah bahwa dia sebenarnya dari generasi yang sudah agak tua. Apakah dia akan ada respons yang betul-betul hangat dan mendukung dari garis rakyat atau lapis dari rakyat yang jauh lebih muda? Saya kira, kalau saya menjadi penasihat untuk Charles, saya merasa bahwa dia sebenarnya harus bertakhta sebentar lantas mengundurkan diri supaya William (Pangeran William) bisa menjadi raja."
Peran besar untuk diisi
Sebagaimana dibuktikan oleh curahan kesedihan di seluruh negeri setelah kematiannya, Elizabeth II adalah seorang ratu yang sangat populer.
Itu merupakan tantangan bagi Raja baru - tetapi bukan tantangan yang tidak dapat diatasi, menurut sejarawan kerajaan Evaline Brueton.
Dia mengacu pada keadaan di mana Edward VII mewarisi mahkota pada tahun 1901 setelah kematian Ratu Victoria, pemimpin yang sangat dicintai rakyat.
"Ada kesamaan yang menarik antara saat kita hidup sekarang dan akhir Era Victoria," kata Brueton.
"Baik Edward VII dan Charles III mengambil alih periode perubahan sosial di Inggris. Dan keduanya tidak sepopuler ibu mereka."
Edward VII berkuasa hanya selama sembilan tahun (1901-1910).
Tetapi, dia dikenang sebagai raja yang terlibat dalam upaya diplomatik yang meletakkan dasar untuk Entente Cordiale yang terkenal, serangkaian perjanjian terobosan antara Inggris dan Prancis yang ditandatangani di 1904.
"Edward VII melakukannya dengan sangat baik dan tidak ada yang menganggap Charles tidak akan diingat sebagai Raja yang penting juga," percaya Brueton.
"Dia memiliki Ratu Elizabeth II sebagai panutan yang hebat dan memiliki waktu untuk mempersiapkan tugas itu."