Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.86.0
Konten Media Partner
Banyak yang Lebih Memilih Dibilang Indigo daripada Sakit Jiwa
24 Agustus 2023 13:25 WIB
·
waktu baca 9 menitKlaim "sepihak" sebagai indigo atau gifted (berbakat supranatural) telah menghambat penanganan medis bagi orang-orang yang mungkin mengalami gangguan jiwa, kata sejumlah pakar.
Salah satu pemicunya adalah stigma negatif yang masih melekat pada orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Akibatnya, banyak yang lebih rela dianggap “indigo” atau “berbakat” karena "dianggap derajatnya lebih tinggi dibandingkan sakit jiwa".
Pada 2008, Budi Rinoso yang kala itu masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) mulai menyadari ada yang berbeda dari dirinya.
Dia kerap merasa sangat tertekan dan suasana hatinya berubah begitu cepat. Adapun pikirannya serasa tak mampu lagi menyerap pelajaran di sekolah.
Oleh teman-temannya, dia dijuluki sebagai “Budi Magneto”, terinspirasi dari salah satu karakter di komik X-men, yang memiliki helm khusus untuk mencegah serangan psionik telepati.
“Ketika saya merasa ada beban, beban itu seperti membentuk helm seperti itu.
"Ketika pakai helm, enggak bisa ada apa pun yang masuk atau keluar pikiran saya,” kata Budi, yang kini berusia 33 tahun, menggambarkan apa yang dia rasakan kala itu.
Budi sempat mencari tahu soal kondisinya melalui internet.
Namun yang pertama kali dia temukan adalah sebuah komunitas spiritual di Facebook, yang menurut Budi, menganggap dirinya berbakat supranatural.
“Saya dibilang, ‘Budi ini gifted’ oleh orang lain yang lebih mengerti saya. Mungkin dari getaran, vibrasinya mungkin ya."
"Dan maaf ya, saya tuh mainnya bukan yang ‘lihat nomor togel’. Enggak, saya lebih ke arah memaknai kehidupan dengan segala simbolnya,” tutur Budi.
“Tapi itu nggak berlangsung lama. Ketika muncul terus gejala-gejalanya, orang tua saya langsung ke medis,” ujarnya kemudian.
Pada tahun yang sama, Budi berobat kepada almarhum Dokter Tubagus Erwin Kusuma, seorang psikiater yang dikenal fokus menangani anak-anak indigo.
Hasil pemeriksaan dan "foto aura" pada saat itu menunjukkan bahwa Budi memiliki emosi dan energi yang tidak stabil dengan tingkat stres yang tinggi.
Dia kemudian mengikuti sejumlah hipnoterapi, salah satunya menggunakan bandul.
"Kalau bandul itu gerak ke kanan, saya mengikuti ke kanan, kalau ke kiri, saya ikuti ke kiri. Tapi ada masanya saya yang memberi sugesti kepada bandul itu untuk bergerak ke mana," kenangnya.
Ketika Budi duduk di bangku kuliah, gejala-gejala yang muncul kian memburuk.
Kedua orang tuanya membawa Budi mengunjungi sejumlah dokter, mencari opini pertama, opini kedua, dan seterusnya untuk menegakkan diagnosis atas kondisi Budi.
Pada 2014, Budi didiagnosis mengidap skizofrenia.
Sejak saat itu, Budi rutin kontrol ke psikiater dan mengonsumsi obat yang dijamin oleh BPJS Kesehatan.
Bagi Budi, pengobatan yang dia jalani saat ini sangat membantunya untuk bisa menjalani aktivitas sehari-hari.
Meski belum bisa bekerja penuh waktu, Budi terlibat dalam kegiatan-kegiatan di Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KSPI).
Di komunitas ini, anggotanya terdiri dari orang-orang yang telah didiagnosa secara medis mengalami skizofrenia.
“Karena saya ketemu gejalanya di tempat medis, ya saya akhirnya memilih jalan medis.”
“Ada uji klinisnya, ada validitasnya. Untuk orang-orang profesional kesehatan jiwanya saya juga dapat, dapat jembatan, dapat akses. Kalau di pengobatan alternatif yang ada habis duit, waktu juga terbuang,” katanya.
Sampai saat ini, Budi mengaku masih menerima komentar-komentar yang mempertanyakan pilihannya memilih jalan medis karena dia dianggap "berbakat", bukan gangguan jiwa.
Budi sendiri merasa dirinya ada di jalan tengah di antara dua hal itu.
“Ketika saya ada di dua lini itu, gangguan jiwa dan gifted, karena saya mengalami dua-duanya, ya sudah saya di tengah-tengah."
"Konsepnya enggak bisa disatukan. Saya enggak mau menggabungkan dua konsep yang punya wahananya masing-masing,” jelasnya.
Di Indonesia, klaim sebagai indigo bertebaran di media dan internet. Ada pula para figur publik yang dikenal sebagai "indigo".
Konten-konten yang memuat “ramalan anak indigo” atau komentar mereka terhadap suatu peristiwa misalnya, sangat mudah ditemukan di dunia maya, bahkan disaksikan oleh ratusan ribu hingga jutaan pemirsa.
Ramalan-ramalan yang disampaikan umumnya terkait bencana alam, kecelakaan transportasi, skandal dunia hiburan, hingga sosok calon presiden yang diprediksi akan memenangkan pemilu.
Berulang kali pula ramalan-ramalan indigo ini mengundang perdebatan di media sosial. Ada yang percaya dan dibuat cemas oleh ramalan-ramalan itu.
Ada pula yang skeptis karena menilai ramalan-ramalan itu bersifat umum, pasti akan terjadi, serta dapat dijelaskan secara saintifik.
Dokter spesialis kejiwaan sekaligus pengurus Persatuan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Lahargo Kembaren, mengatakan bahwa istilah indigo atau gifted "tidak dikenali secara medis".
Tidak ada prosedur medis yang dapat mengonfirmasi kondisi tersebut, menurut Lahargo.
“Ada kalanya masyarakat punya stereotip dan pelabelan terhadap kondisi tertentu sampai akhirnya muncul istilah indigo, aspek spiritual, atau entitas-entitas yang sifatnya nonmedis,” kata Lahargo kepada BBC News Indonesia.“
‘Lebih memilih dibilang indigo daripada sakit jiwa’
Bagi para dokter jiwa maupun psikolog, menghadapi pasien yang meyakini dirinya atau anaknya sebagai “indigo” atau “berbakat supranatural”, bukanlah suatu hal yang baru.
Psikolog Ratih Ibrahim, misalnya, pernah menangani orang tua yang ngotot bahwa anaknya adalah indigo karena bisa melihat sosok perempuan di atas tumpukan VCD.
“Pas ditelusuri ternyata waktu umur tiga tahun diputarkan VCD sama mbaknya, eh filmnya film horor. Ternyata, ini adalah faktor trauma,” tutur Ratih.
“Ada juga yang bilang, ‘Anak saya bisa meramal’ dan kebetulan ramalannya benar. Ternyata setelah dilakukan asesmen, dia habis nge-mushroom, dan indikasi skizofrenianya besar banget, tapi orang tuanya enggak mau terima,” sambungnya.
Pada kasus-kasus seperti itu, Ratih mengatakan tidak mudah untuk membuat mereka bisa menerima kondisi tersebut.
Ini terkait dengan stigma terhadap gangguan jiwa yang belum bisa diterima oleh sebagian masyarakat.
“Mereka bisa marah banget dengan saya, karena saya menghancurkan belief system yang mereka punya. ‘Saya pikir anak saya indigo terus malah Anda bilang anak saya gangguan jiwa?’ Ya mereka marah lah,” kata Ratih.
“Saya tentu berharapnya setelah konsultasi, mereka tercerahkan. Tapi sayangnya, tidak semudah itu,” sambungnya.
Penyangkalan-penyangkalan serupa juga ditemukan oleh KPSI ketika mengkampanyekan kesadaran soal gangguan jiwa.
“Banyak orang dengan gejala psikosomatik tidak bisa ditolong karena keluarganya lebih memilih dibilang indigo daripada sakit jiwa," kata Ketua KPSI Bagus Utomo.
"Stigma di masyarakat masih sangat kental, kalau konsul ke psikiater distigma sakit jiwa. Jadi lebih memilih ke dukun, guru spiritual karena dianggap lebih tinggi tingkatnya daripada sakit jiwa."
Menurut Bagus, sering kali penyangkalan ini berujung pada perdebatan yang membenturkan antara sains, budaya dan tradisi, hingga keyakinan agama.
KPSI enggan memperdebatkannya karena sering kali justru membuat mereka yang menyangkal semakin antipati dengan pertolongan medis.
Sebagai jalan tengah, mereka mengajak orang-orang yang menyangkal untuk melihat fungsi sosial seseorang yang menunjukkan gejala gangguan jiwa.
"Kami mencoba menghargai budaya itu, tapi jangan lama-lama. Kalau tidak ada perubahan, segera saja ke psikiater."
“Misalnya seseorang merasa dapat wahyu, tapi lama-lama dia enggak merawat diri, enggak mau kontak sosial, atau kemampuan sosialnya menurun sehingga akhirnya kehilangan pekerjaan."
"Kalau seperti itu, kami ajak mereka berpikir logis, meminta bantuan kepada profesional, biar segera mendapat penanganan,” jelas Bagus.
Bagaimana indigo menurut sudut pandang medis?
Istilah Indigo pertama kali dicetuskan oleh seorang parapsikolog asal San Diego, Amerika Serikat, Nancy Ann Tappe pada 1970-an.
Dia memerhatikan bahwa ada anak-anak yang muncul dengan aura indigo, yakni warna vibrasi yang belum pernah dia lihat sebelumnya.
Penulis Lee Carroll dan Jan Tober kemudian menerbitkan buku berjudul The Indigo Children: The New Kids Have Arrived pada 1999, yang menggambarkan ciri-ciri mereka berupa memiliki IQ tinggi, intuisi kuat, percaya diri, rasional, hingga berjiwa tua (old soul).
Mengutip laporan The New York Times , profesor riset psikiatri di State University of New York Upstate Medical University di Syarcuse, Russell Barkley mengatakan, “Tidak ada sains di balik ini. Tidak ada penelitian terkait ini.”
Dari sisi psikiatri, Dokter Lahargo Kembaren mengatakan istilah indigo atau berbakat supranatural itu tidak bisa dibuktikan secara medis.
Lahargo tidak mengatakan bahwa semua orang yang mengklaim dirinya indigo atau terberi sudah pasti gangguan jiwa. Tetapi dari beberapa kasus yang diteliti, dia menyebut ada kemiripan gejala.
“Yang dikatakan kerasukan, kesurupan, indigo, gifted, pada waktu diperiksa psikiatri yang terstruktur, itu didapatkan ada gangguan jiwa. Ada skizofrenia, depresi, bipolar, skizoafektif, dan ada juga yang epilepsi,” jelas Lahargo.
Anggapan indigo atau berbakat supranatural itu, menurut dia, muncul berdasarkan pelabelan masyarakat terhadap kondisi-kondisi tertentu yang turut dipengaruhi oleh faktor budaya dan agama.
"Banyak yang mengira orang tiba-tiba kacau, menari-nari, keluar kata-kata aneh, wah dia kemasukan roh, jin, meringkik seperti kuda, mendesis seperti ular, tapi ketika diperiksa ternyata epilepsi dan ketika diobati ternyata gejala-gejala itu hilang," tuturnya.
Padahal, derajat kesehatan jiwa setiap oranglah yang menurut dia berbeda-beda. Semua itu dipengaruhi oleh beragam faktor; mulai dari genetik, pengalaman hidup, asupan nutrisi, pengalaman psikologis atau traumatis, dan lain-lain.
"Mungkin yang dianggap gifted memang punya bakat atau intelijen tinggi di bidang tertentu. Seharusnya ini bisa dioptimalisasi [dengan penanganan medis yang tepat]," tuturnya.
Diwawancara secara terpisah, Psikolog Ratih Ibrahim mengatakan bahwa anak-anak dengan kemampuan spesial ini, "mungkin saja ada".
Ciri-cirinya antara lain memiliki kecerdasan tinggi, bakat yang super, dan mampu merasakan energi.
“Tapi satu dari sekian banyak. Kayak menemukan berlian di antara bebatuan,” kata dia.
Persoalannya, banyak yang kemudian merasa dirinya adalah "indigo" atau memiliki bakat supranatural itu hanya berdasarkan karakteristik yang mereka pahami secara awam.
"Itu adalah self claim [klaim sepihak]," tutur Ratih.
“Ini kan ada trennya. Tren awal-awal 2000an. Diklaim aja anaknya indigo, dia bisa melihat hantu, dia bisa melihat roh, dia bisa ngomong sesuatu dan ramalannya benar. Karena emang keturunan dari nenek moyangnya memiliki bakat itu. Benar atau tidaknya itu harus di-assess."
Menurut Ratih, para psikolog klinis harus melakukan asesmen secara hati-hati dan teliti untuk bisa mencapai kesimpulan bahwa seseorang memiliki bakat super tersebut.
Mulai dari tes IQ untuk mengetahui tingkat kecerdasannya, menggali faktor trauma, halusinasi, atau delusi yang memengaruhi, dan lain-lain.
“Jangan sampai itu sebetulnya adalah gangguan kesehatan mental atau gangguan jiwa yang kita kegeeran, ‘Oh iya nih indigo’, padahal bukan,” sambungnya.
Menghambat deteksi dini gangguan jiwa
Indonesia merupakan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) Berat.
Tetapi kasus yang terdata saat ini, kata Lahargo, “hanya puncak gunung es” dari kondisi yang sesungguhnya.
“Penyebabnya karena orang mencari pertolongan medis itu nomor sekian. Awal mulanya menganggap ini sifatnya spiritual, gifted, akhirnya mereka datang ke pengobatan alternatif, rohaniawan, yang membuat penyakit ini terlambat ditangani. Padahal setelah didalami dalam penelitian ini, ini adalah gangguan kejiwaan,” kata dia.
Penyangkalan dan klaim sepihak itu, menurut Dokter Lahargo, pada akhirnya membuat orang-orang yang mungkin mengidap gangguan jiwa menjadi sulit dideteksi dan tidak tertangani.
Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018 , sekitar 450.000 masyarakat
Keterlambatan penanganan medis itu kemudian menimbulkan risiko hilangnya fungsi dan produktivitas seseorang, rusaknya relasi sosial, bahkan dapat memicu tindak kriminal.
Riskesdas juga menunjukkan masih ada gap di atas 50% antara orang-orang yang membutuhkan terapi dengan orang-orang yang benar-benar menjalani terapi.
Penyebabnya lagi-lagi karena mitos dan anggapan di tengah masyarakat, pengabaian masalah gangguan jiwa, hingga klaim dan diagnosis sepihak.
"Saya tidak mengklaim bahwa semua yang indigo dan gifted itu gangguan jiwa, tapi setidaknya kan bisa deteksi dini. Alat untuk mendeteksinya kan ada, dan kalau itu sudah dilakukan, berarti kita sudah melakukan self awareness yang bisa mendorong seseorang mendapatkan pengobatan medis," jelas dia.
Oleh sebab itu, Lahargo mengatakan edukasi terhadap masyarakat mengenai pentingnya kesehatan jiwa perlu lebih digencarkan.
Begitu pula dengan penyediaan akses layanan kesehatan mental yang lebih mudah dijangkau dan merata.