Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Dilema Pasien Gagal Ginjal Kronis di Balik Praktik Ilegal Jual Beli Organ
24 Juli 2023 11:35 WIB
·
waktu baca 8 menitKesulitan mendapatkan donor ginjal membuat beberapa pasien cuci darah terpaksa mencari di luar jalan yang legal, menurut ketua umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI). Situasi ini dimanfaatkan oleh sindikat penjualan organ seperti yang baru-baru ini diciduk polisi di Bekasi, Jawa Barat.
Polisi telah menetapkan 12 tersangka yang disebut terlibat dalam sindikat penjualan ginjal jaringan internasional. Para tersangka menjaring calon donor lewat grup Facebook, kata polisi, kemudian menjual ginjal ke Kamboja.
Ketua KPCDI, Tony Rachmad Samosir, mengatakan di balik kejahatan seperti itu terdapat “dilema” para pasien gagal ginjal kronis yang di satu sisi harus lama mengantre untuk mendapatkan donor secara legal dan di sisi lain hampir putus asa karena nyawa taruhannya.
“Ketika yang legalnya enggak ada, orang mencari yang ilegal. Kenapa? Ini masalah hidup-mati. Kejar-kejaran dengan waktu. Saya rasa semua orang melakukan itu, kecuali dia tidak ada duit dan sudah pasrah,” ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Juru bicara Kementerian Kesehatan menekankan bahwa penjualan organ tubuh manusia adalah ilegal.
Dia mengatakan pemerintah, melalui Komite Transplantasi Nasional, tengah menyusun sistem informasi transplantasi organ berisi data para pendonor dan resipien.
Bagaimanapun, Tony menilai Indonesia belum memiliki sistem transplantasi organ yang baik dan banyak pasien gagal ginjal kronis harus menunggu sangat lama; bahkan, pada beberapa kasus, sampai meninggal dunia.
Menunggu Sampai Mati
Prevalensi gagal ginjal kronis di Indonesia naik dari 0,2% di tahun 2013 menjadi 0,38% di tahun 2018, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018. Adapun menurut laporan Indonesian Renal Registry yang dikeluarkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI), pada 2018 terdapat 132.142 pasien yang aktif melakukan cuci darah (hemodialisis) dan 66.433 pasien baru.
KPCDI memprediksi di antara pasien yang menjalani cuci darah ada sekitar 300 hingga 400 orang yang sedang menunggu transplantasi ginjal.
Tony menyebut transplantasi ginjal sebagai "modalitas utama dan terutama" yang bisa meningkatkan kualitas hidup pasien gagal ginjal kronis menjadi sama seperti orang sehat lainnya.
"Kalau orang mau hidupnya sehat, kalau orang mau hidupnya lebih berkualitas, kalau orang mau bisa berkarier dan beraktivitas layaknya orang sehat, modalitas transplantasi menjadi pilihan utama,” dia menegaskan.
Namun mendapatkan donor ginjal di Indonesia “dari dahulu sulit”, menurut Tony.
Kalau pasien punya anggota keluarga terdekat yang bersedia mendonasikan ginjal, dia bisa segera ditransplantasi; tapi kalau tidak, tidak ada batasan sampai kapan dia harus mengantre.
“Sampai mereka mati. Dan sampai mereka mati pun mereka tidak dapat donor,” ujarnya.
Dengan waktu tunggu yang tidak jelas itu, sementara pasien gagal ginjal kronis tidak tahu berapa banyak lagi sisa waktu mereka, “Mereka hampir kehilangan akal sehat karena cuci darahnya ini,” kata Tony.
Tony bicara dari pengalaman. Didiagnosis gagal ginjal pada 2009, Tony akhirnya menjalani transplantasi pada 2016.
Dia mengenang: “Setiap hari kita itu hanya menghitung: Seberapa lama kami hidup? Apakah habis cuci darah ini saya bisa hidup? Atau saya bisa menyelesaikan pertandingan cuci darah ini dengan baik?”
Tujuh tahun menjalani rutinitas cuci darah yang berat, Tony berpikir keras bagaimana caranya mendapatkan donor. Akhirnya, istri Tony rela melepaskan satu ginjalnya untuk sang suami.
"Kalau Anda tanya, 'Pernah berniat untuk mencari orang lain [untuk donor]?' Pernah lah. Semua orang melakukan begitu. Sebelum datang ke keluarganya dia akan mencari orang lain dulu," kata Tony.
Menurut Tony, kesulitan itu mendorong beberapa pasien untuk mencari jalan selain yang legal. Salah satu caranya adalah mencari donor lewat media sosial.
Investigasi BBC pada bulan Januari menemukan bahwa sejumlah grup publik di Facebook secara terang-terangan menunjukkan tawaran untuk menjual atau membeli ginjal.
Peraturan Pemerintah No. 53 tahun 2021 dengan tegas melarang jual beli organ dan/atau jaringan tubuh dengan alasan apa pun, dan menyatakan bahwa tindakan tersebut “dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan”.
Di seluruh dunia, saat ini hanya Iran yang melegalkan jual-beli organ dengan uang. Namun, pemerintah Iran membatasi siapa yang berhak menerima organ — orang asing dilarang membeli organ dari warga Iran, dan transaksi hanya bisa dilakukan antara warga negara yang sama; jadi warga Iran dilarang membeli organ dari pengungsi dari luar negeri.
Tidak Ada Lembaga yang Menaungi
Menurut Tony, alasan utama yang pencarian donor ginjal di Indonesia sulit ialah tidak ada lembaga yang bisa menaungi orang-orang yang hendak mendonorkan organ tubuhnya secara sukarela.
Akibatnya pasien yang mengalami gagal ginjal kronis, kata Tony, dituntut untuk mencari donor secara mandiri – baik itu dari keluarga (related) atau dari luar keluarga (non-related).
“Kalau Anda mau donor darah, Anda ke mana? Ke PMI. Kalau orang mau mendonorkan, mendonasikannya dia ke mana?” ujarnya.
Kementerian Kesehatan telah membentuk Komite Transplantasi Nasional (KTN) sejak tahun 2016.
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan tahun 2021, tugas komite tersebut antara lain menyiapkan kebijakan transplantasi organ, menyelenggarakan registrasi serta pengelolaan data pendonor dan resipien, mengkaji kelayakan pasangan resipien-pendonor, dan melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk mendonorkan organ.
Namun Tony menilai komite ini “belum bekerja secara optimal”. Pasalnya, sampai saat ini Indonesia belum memiliki registri donor.
Dia berpendapat, praktik jual-beli organ yang “terus berulang” adalah buah dari kelalaian pemerintah yang lamban bekerja dalam membangun sistem transplantasi organ yang mumpuni.
Dia menambahkan bahwa memang susah mencari donor ginjal di hampir semua negara, tetapi banyak negara asing sudah punya sistem yang jauh lebih baik.
"Jadi pemerintah itu jangan hanya melakukan penindakan saja, tapi memang harus bisa memecahkan masalah. Apa sih persoalan yang ada di masyarakat ini tentang transplantasi organ? Kenapa ia berulang?” ujar Tony.
Alasan Belum Banyak Organ Donor
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, menjelaskan bahwa masyarakat yang hendak mendonorkan ginjal mereka dapat mendaftar ke Komite Transplantasi Nasional (KTN) atau rumah sakit yang menyelenggarakan transplantasi. Orang yang mendaftar akan mendapatkan kartu donor.
Bagaimanapun, Nadia mengatakan saat ini belum banyak orang yang mendaftar untuk menjadi donor.
Penyebab utamanya, menurut dia, adalah masyarakat Indonesia belum terbiasa untuk mendonorkan organ.
"Jadi harus dipahami bahwa donor transplantasi organ di Indonesia itu paling mudah [dari] keluarga, dan keluarga itu menjadi donor pertama,” katanya kepada BBC News Indonesia.
"Memang kalau dikatakan enggak tahu kapan waktunya, ya karena kalau kita mengharapkan donor organ dari orang lain ya memang sulit karena kita tidak punya cukup banyak orang yang mendaftarkan diri akan menjadi donor organ kepada orang lain,” dia menambahkan.
Nadia mengatakan pemerintah tengah dalam proses untuk membuat sistem digital pendaftaran donor organ maupun sistem antrean untuk resipien.
Ketua Komite Transplantasi Nasional (KTN), Budi Sampurno mengatakan pembangunan sistem transplantasi nasional yang baik memerlukan waktu lama karena dimulai dari menyusun kebijakannya terlebih dahulu.
“Mudah-mudahan dengan keluarnya UU Kesehatan yang baru, kemudian PP-nya segera menyusul, maka kita punya kekuatan peraturan," kata Budi.
Salah satu tujuan peraturan tersebut, dia menjelaskan, adalah mendorong agar orang-orang yang akan meninggal dan layak menjadi donor bersedia untuk mendonorkan organnya.
“Intinya kita ingin mendorong masyarakat kita bahwa mendonorkan organ itu sebenarnya ibadah,” Budi menjelaskan.
"Kita tidak perlu saat hidup mendonorkan organ kita. Kita tunggu sampai meninggal juga enggak apa-apa kok."
Budi mengonfirmasi bahwa pihaknya tengah membuat registri yang akan diintegrasikan dengan data-data kesehatan lainnya di Kemenkes.
Dia mengatakan, ke depannya pendaftaran donor tidak akan dilakukan di rumah sakit penyelenggara tetapi di Kemenkes supaya datanya dapat diakses secara nasional.
“Prosesnya memang lama. Di Amerika mereka sudah kerja sejak tahun 1950-an,” kata Budi.
Polisi Tangkap Sindikat Penjualan Ginjal
Sebelumnya, Tim gabungan dari Polda Metro Jaya dan Mabes Polri menangkap 12 tersangka sindikat penjualan ginjal jaringan internasional di Bekasi, Jawa Barat.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi mengatakan, 12 orang tersebut menjual ginjal ke Kamboja. Mereka mempunyai peran masing-masing untuk melancarkan aksinya.
"Dari 12 tersangka ini, 10 merupakan bagian daripada sindikat, di mana dari 10 orang, sembilan adalah mantan donor. Kemudian, ini ada koordinator secara keseluruhan, atas nama tersangka H, ini menghubungkan Indonesia dan Kamboja," kata Hengki di Gedung Ditreskrimum Polda Metro Jaya, 20 Juli lalu.
Di antara 12 orang yang ditangkap itu ada seorang anggota polisi dan petugas imigrasi. Hengki menjelaskan, anggota polisi yang disebut sebagai oknum itu membantu para tersangka agar tidak terlacak oleh aparat dengan imbalan sejumlah uang.
"Dia ini anggota yang berusaha mencegah, merintangi, baik langsung atau tidak langsung proses penyidikan yang dilakukan tim gabungan, yaitu dengan cara menyuruh membuang HP, berpindah-pindah tempat, pada intinya adalah menghindari pengejaran dari pihak kepolisian," ujar Hengki.
H, 40 tahun, selaku terduga koordinator jual-beli ginjal mengungkap bahwa orang yang dia sebut "broker" menjaring orang-orang yang berniat menjual ginjalnya secara sukarela melalui beberapa grup media sosial Facebook.
"Dia membuat beberapa grup Facebook, di antaranya Forum Donor Ginjal Indonesia, kemudian Donor Ginjal Luar Negeri juga," ujarnya kepada wartawan, Jumat (21/07).
Orang-orang yang tertarik untuk menjual ginjalnya kemudian secara sadar mengirimkan pesan kepada si broker, imbuhnya.
H juga mengungkap bahwa proses transplantasi ginjal berlangsung di Kamboja, di sebuah rumah sakit milik pemerintah. Menurut dia, pihak RS memfasilitasi para pendonor dan penerima untuk memproses transplantasi ginjal serta pembayarannya.
H mengatakan, pihak RS mentransfer uang ratusan juta kepada rekening broker, yang kemudian membagikannya ke rekening donatur. Ginjal yang sudah didonasikan itu selanjutnya diterima oleh pasien dari berbagai negara.
"Sepengetahuan saya yang atur operasi dari negara China. Kalau dokternya ada yang dari Vietnam, Kamboja, dan China. (Kemudian) penerima ginjalnya dari Malaysia, Indonesia, Jepang, Korea, dan Singapura," kata H.
Di hadapan wartawan, H mengaku dia sendiri adalah mantan donor. Ia mengaku menjual ginjalnya karena alasan ekonomi.
Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi mengatakan, sebagian besar "korban" yang menjual ginjalnya melalui sindikat ini adalah orang yang kehilangan pekerjaan atau di-PHK.
"Hasil pemeriksaan kami bahwa sebagian korban adalah bermotif ekonomi sebagai dampak dari pandemi Covid-19," kata Hengki kepada wartawan, Kamis (20/07).