Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Ganja Medis: Perjuangan Santi Warastuti Mencari Pengobatan untuk Anaknya
28 Juni 2022 9:01 WIB
·
waktu baca 7 menitSeorang ibu yang menginginkan minyak CBD (Cannabidiol) untuk mengobati anaknya yang mengidap cerebral palsy pada bagian otak telah menjadi simbol perjuangan untuk melegalkan ganja untuk keperluan medis.
Foto Santi Warastuti memegang papan bertuliskan "Tolong, anakku butuh ganja medis" saat acara car free day di Bundaran HI, Jakarta Pusat, akhir pekan lalu menjadi viral. Santi tampak berdiri di samping putrinya, Pika, yang duduk di kursi roda.
Perempuan tersebut menyeru supaya Mahkamah Konstitusi segera memberikan putusan dalam upaya uji materi UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang dilayangkan olehnya serta sejumlah orang tua pasien cerebral palsy dan lembaga swadaya masyarakat.
Uji materi yang diajukan pada November 2020 itu bertujuan supaya Narkotika Golongan I, termasuk ganja, dapat digunakan untuk kepentingan penelitian dan pelayanan kesehatan atau terapi.
"Tolong angkat kekuatiran saya ... Beri saya kepastian. Beri kami kepastian," tulis Santi dalam surat terbuka kepada MK yang juga tersebar di media sosial.
Meskipun banyak orang melaporkan manfaat ganja sebagai pereda rasa sakit dan kejang, pengetahuan mengenai efek ganja medis pada anak-anak dan remaja dengan kondisi kronis masih terbatas.
Bagaimanapun, sejumlah lembaga swadaya masyarakat mengatakan ganja medis tetap perlu tersedia sebagai pilihan.
'Saya di jalan yang benar'
Dalam wawancara dengan Kompas TV, Senin (27/06), Santi menceritakan putrinya mulai sakit pada awal 2015 ketika usianya enam tahun. Sebelum itu, Pika adalah anak gadis yang sehat dan periang.
Awalnya Pika sering lemas dan muntah-muntah, kata Santi, lalu ia mulai kejang-kejang. Santi membawa putrinya itu ke dokter syaraf, yang mendiagnosis Pika dengan epilepsi.
Namun lama-kelamaan kemampuan motorik Pika mulai menurun. Sampai akhirnya pada 2017, ia dinyatakan mengidap lumpuh otak (cerebral palsy).
Santi mengatakan saat ini ia membawa Pika kontrol ke rumah sakit setiap bulan. Putrinya juga menjalani tiga terapi - fisioterapi, terapi okupasi, dan terapi wicara - dan minum tiga macam obat kejang yang diresepkan oleh dokter - asam valproat, Carbamazepine, dan fenitoin.
Semua itu belum menghentikan kejangnya sama sekali.
"Kalau ada alternatif lain, ada obat lain yang bisa saya berikan untuk memperbaiki kualitas hidup Pika, salah saya apa. Saya di jalan yang benar," kata Pika dalam acara Kompas Petang.
Singgih Tomi Gumilang, pengacara yang mendampingi Santi dalam uji materi di MK, mengatakan kepada BBC News Indonesia bahwa Santi mulai tertarik mencoba ganja medis sebagai obat alternatif setelah bergabung dengan komunitas Wahana Keluarga Cerebral Palsy di Yogyakarta. Komunitas itu beranggotakan 5.000 orang tua yang anaknya mengidap cerebral palsy.
Di komunitas itulah, Santi bertemu dengan Dwi Pertiwi yang pernah memberikan CBD oil yaitu minyak yang diekstrak dari ganja kepada anaknya yang mengidap cerebral palsy sewaktu tinggal di Australia, 2016 silam.
Sekembalinya ke Indonesia, Dwi menghentikan terapi tersebut karena penggunaan ganja untuk keperluan medis ilegal menurut UU Narkotika. Putra Dwi, Musa, akhirnya meninggal dunia dengan kondisi yang dideritanya.
"Pengalaman Musa dijadikan acuan beberapa ibu lain - termasuk Dwi - untuk mengajukan uji materi agar Narkotika Golongan I bisa digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan," kata Tomi kepada BBC News Indonesia.
Ada 'kekosongan hukum'
Sebelum Musa, beberapa warga Indonesia sudah menggunakan ganja untuk mengobati rasa nyeri. Mereka yang ketahuan aparat penegak hukum berakhir di penjara.
Dalam sidang uji materi UU Narkotika di MK, Januari lalu, para pemohon menghadirkan seorang saksi bernama P Ridanto Busono Raharjo, yang menggunakan ekstrak ganja untuk meredakan nyeri neuropatik kronis di tangan kanannya. Ia mengidap kondisi itu sejak mengalami kecelakaan lalu lintas pada 1995.
Ridanto ditangkap polisi pada 2019 karena terbukti membuat ekstrak ganja, dengan alasan untuk pengobatan. Kepada hakim, ia mengaku belajar mengekstraksi ganja dengan menonton tutorial di YouTube.
Cara ekstraksinya sama seperti yang digunakan oleh Fidelis Ari Sudarwoto, seorang PNS di Kalimantan Barat yang divonis 8 bulan penjara karena menanam ganja untuk pengobatan istrinya yang mengidap Syringomyelia - perempuan itu kemudian meninggal dunia.
Ridanto kini menjalani masa hukuman sembilan tahun penjara di Rumah Tahanan kelas IIb Negara, Jembrana, Bali dan tengah mengupayakan Peninjauan Kembali (PK).
Pada sidang uji materi di MK tersebut, Ridanto mengatakan ia mulai menggunakan ekstrak ganja setelah mencoba obat-obat yang diresepkan dokter.
"[Obat] yang bisa membantu saya secara memuaskan, sebagai penderita nyeri, upaya itu sudah saya tempuh. Artinya saya berusaha untuk mencari obat-obat pereda nyeri yang legal, yang diresepkan oleh dokter," kata Ridanto seperti dikutip oleh kanal YouTube resmi Mahkamah Konstitusi, Senin (27/06).
Singgih Tomi Gumilang, yang juga mendampingi upaya PK Ridanto, mengatakan saat ini pria itu menolak obat-obatan yang diresepkan dokter di rutan karena khawatir dengan kondisi ginjalnya.
Tomi mengatakan, tanpa ganja medisnya, Ridanto merasakan sensasi "setruman" di tangannya yang patah setiap tiga detik.
"Jadi ganja medis ini terjadi kekosongan hukum, karena kebutuhannya ada tetapi undang-undang tidak ada yang mengatur. Sedangkan harusnya negara ada di saat ada warganya membutuhkan kesehatan karena dalam hukum kesehatan adalah hukum yang utama," kata Tomi.
Bukti ilmiah ganja medis
Ganja atau kanabis (Cannabis sativa) mengandung lebih dari 600 zat kimia. Di antara mereka, yang paling terkenal adalah Δ9-tetrahydrocannabinol (THC) dan phytocannabinoid cannabidiol (CBD).
THC dikenal karena efek psikotropiknya - zat yang bikin "high". Namun produk yang mengandung THC juga digunakan untuk meredakan rasa sakit, kejang-kejang, dan pusing.
Adapun CBD memiliki sifat anti-inflamasi, anti-epilepsi, anti-psikotik, dan meredakan kegelisahan (anxiety).
Menurut David Casarett, peneliti ganja medis di Universitas Pennsylvania, mayoritas produk ganja medis dan minyak CBD umumnya mengandung konsentrasi CBD yang tinggi dan THC yang sangat rendah sehingga tidak menyebabkan high .
Di Indonesia, ganja termasuk Narkotika Golongan I yang menurut Pasal 8 UU Narkotika dilarang digunakan untuk pelayanan kesehatan. Bagaimanapun, ayat dua pasal tersebut menyebutkan Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk penelitian dalam jumlah terbatas setelah mendapat persetujuan dari Menteri dan BPOM.
Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan izin penelitian ganja pada 2015, melalui surat yang ditandatangani Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan nomor LB.02.01/III.03/885/2015 tentang Izin Penelitian Menggunakan Cannabis. Namun penelitian tersebut belum terlaksana.
Menteri Kesehatan waktu itu, Nila Moeloek, beralasan biaya penelitian ganja besar dan banyak hal lain untuk diteliti dibanding ganja .
Pengetahuan mengenai efek ganja medis pada anak-anak dan remaja dengan kondisi kronis masih terbatas, meski ada bukti ilmiah kuat yang mendukung penggunaannya pada anak-anak dengan gangguan kejang yang langka .
Sebuah studi yang terbit pada 2021 menganalisis data dari 90 pengasuh anak-anak berusia di bawah 18 tahun yang menggunakan perawatan ganja medis di Swiss. Sekitar 66% partisipan studi melaporkan perbaikan kesehatan. Namun 43% pengasuh melaporkan mereka menghentikan perawatan karena kurang efektif atau muncul efek samping .
Studi tersebut menyimpulkan bahwa perlu dilakukan uji klinis acak (randomized control trial, RCT) dengan THC dan CBD yang terstandarisasi untuk menilai kemanjuran ganja medis dalam merawat berbagai penyakit serta efek jangka panjangnya pada anak-anak.
Bagaimanapun, Ma'ruf Bajammal dari LBH Masyarakat, salah satu LSM yang menjadi pemohon dalam uji materi UU Narkotika, mengatakan ganja medis harus tetap tersedia sebagai pilihan.
"Itu pilihan pengobatan harus tidak dilarang... dan walaupun secara efikasi rendah tetapi kita tidak bisa menyanggah bahwa ada orang yang menggunakan dan mendapat kemajuan pada dirinya," kata Ma'ruf, merujuk salah satunya pada kasus Musa.
Menurut Ma'ruf, tidak sepatutnya seseorang yang ingin menggunakan suatu pilihan pengobatan yang tersedia dilarang oleh pemerintah karena otoritas yang berhak menentukan pilihan pengobatan terhadap dirinya adalah orang itu sendiri atau keluarganya.
Ia menerangkan, UU No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika sendiri, pada bagian Menimbang huruf C, mengakui bahwa narkotika dapat bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan kesehatan serta pengembangan ilmu pengetahuan - jadi memang secara regulasi sudah ada pengakuan itu.
"Sayangnya, ada kesalahan pembuat UU dalam merumuskan norma ... Pertimbangan ini ibarat asbabun nuzul, secara internasional juga diakui seperti ini. Pelarangannya ini melarang prinsip ini," kata Ma'ruf kepada BBC News Indonesia.
"Yang sepatutnya diregulasi bukan pelarangan total, tapi terkait peredaran gelapnya," ia menambahkan.
Lebih jauh, kata Ma'ruf, uji materi UU Narkotika bermaksud membuka ruang reformasi kebijakan narkotika yang hari ini berlaku di indonesia - bahwa narkotika harus dilekatkan dengan prinsip kesehatan dan bukan penegakan hukum.
"Semangat itu yang jadi spirit kami dalam mengajukan judicial review ini," ujarnya.