Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 ยฉ PT Dynamo Media Network
Version 1.93.2
Konten Media Partner
Gempa Maroko: Kisah Guru yang Kehilangan Seluruh 32 Muridnya
16 September 2023 8:00 WIB
ยท
waktu baca 3 menitKetika Nesreen Abu ElFadel merasakan guncangan gempa terbesar yang pernah terjadi di Maroko pada Jumat (8/9) lalu, dia langsung teringat pada murid-muridnya dari sekolah terpencil tempat dia mengajar. Kecemasannya terbukti menjadi kenyataan.
"Saya membayangkan memegang lembar absen kelas dan mencoret nama siswa satu demi satu, hingga saya mencoret 32 nama; kini semuanya sudah meninggal dunia."
Nesreen Abu ElFadel, seorang guru bahasa Arab dan Prancis di Marrakesh, menceritakan hari ketika gempa berkekuatan 6,8 melanda Maroko.
Nesreen dan ibunya sedang bermalam di jalan demi keamanan karena guncangan gempa bumi begitu dahsyat. Saat itu, dia mendengar berita bahwa gempa tersebut juga berdampak terhadap desa-desa di pegunungan.
Dia langsung teringat tempatnya mengajar, yaitu Sekolah Adaseel, serta murid-muridnya atau yang dia sebut "anak-anak saya".
Dengan langkah cepat, dia bergegas menuju Desa Adaseel di Pegunungan Atlas Tinggi.
"Saya pergi ke desa dan mulai bertanya tentang anak-anak saya: di mana Somaya? Di mana Youssef? Di mana gadis ini? Di mana anak laki-laki itu? Jawabannya muncul beberapa jam kemudian: 'Mereka semua meninggal.'"
Pada 8 September, Maroko dilanda gempa bumi terkuat yang pernah tercatat di negara tersebut. Gempa itu terbukti sebagai gempa paling mematikan dalam enam dekade dengan sekitar 3.000 orang meninggal dunia dan ribuan lainnya hilang.
Daerah yang paling terkena dampaknya adalah daerah selatan Marrakesh. Banyak desa di pegunungan hancur total.
Nesreen menyaksikan salah satu muridnya yang bernama Khadijah dalam keadaan tidak bernyawa.
Tim penyelamat menemukan bocah berusia enam tahun itu terbaring di samping abangnya, Mohamed, dan dua kakak perempuannya, Mena dan Hanan. Mereka semua berada di ranjang mereka saat gempa berlangsung. Keempat anak tersebut merupakan murid di sekolah Nesreen.
"Khadijah adalah favorit saya. Dia sangat baik, pintar, aktif dan suka menyanyi. Dia sering datang ke rumah saya, dan saya suka belajar dan berbicara dengannya".
Nesreen menyebut murid-muridnya sebagai "malaikat", anak-anak penuh hormat yang bersemangat untuk belajar. Meski berjuang melawan kemiskinan dan krisis biaya hidup yang parah, anak-anak dan keluarga mereka menganggap bersekolah sebagai "hal terpenting di dunia".
"Kelas terakhir kami diadakan pada Jumat malam, tepat lima jam sebelum gempa terjadi," kenang Nesreen.
"Kami sedang mempelajari lagu kebangsaan Maroko, dan berencana menyanyikannya di depan seluruh sekolah pada Senin pagi."
'Saya tidak tahu bagaimana saya bisa terus menjalani hidup'
Meski suaranya tenang, Nesreen menderita trauma. Dia masih belum bisa memproses apa yang terjadi pada murid-muridnya dan sekolahnya.
"Saya tidak tidur; saya masih syok," ujarnya. "Orang-orang menganggap saya salah satu yang beruntung, tapi saya tidak tahu bagaimana saya bisa terus menjalani hidup."
Nesreen senang mengajar bahasa Arab dan Prancis kepada anak-anak di Adaseel, sebuah desa yang dihuni oleh kaum Amazigh, penduduk asli Afrika Utara yang sebagian besar berbicara dalam bahasa mereka sendiri, yaitu Tamazight.
"Bahasa Arab dan Prancis sangat sulit dipelajari, namun anak-anak sangat cerdas, dan mereka hampir fasih dalam kedua bahasa tersebut," kenangnya.
Nesreen berencana untuk melanjutkan kariernya sebagai guru - dia berharap pemerintah Maroko akan membangun kembali sekolah Adaseel yang runtuh akibat gempa.
Sebanyak 530 institusi pendidikan mengalami kerusakan dalam berbagai tingkat keparahan. Beberapa di antaranya roboh total atau mengalami kerusakan struktural yang parah, menurut pernyataan resmi.
Pemerintah Maroko untuk sementara waktu menghentikan kegiatan belajar mengajar di daerah yang paling parah terkena dampak gempa, yakni di Al-Houz, Chichaoua dan Taroudant.
"Mungkin suatu hari nanti ketika mereka [pemerintah] membangun kembali sekolah dan kelas-kelas kembali dibuka, kita bisa mengenang 32 anak tersebut dan menceritakan kisah mereka," kata Nesreen dengan nada lirih.