Konten Media Partner

Gunung Guntur: Dilema antara Konservasi dan Kegiatan Ekonomi

6 Desember 2021 12:09 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Seorang pria mengayuh rakit bambu di Situ Bagendit dengan latar belakang pemandangan Gunung Guntur.
zoom-in-whitePerbesar
Seorang pria mengayuh rakit bambu di Situ Bagendit dengan latar belakang pemandangan Gunung Guntur.
Pertengahan September lalu, hilangnya seorang remaja di jalur pendakian Gunung Guntur, Kabupaten Garut, Jawa Barat, menjadi sorotan. Di area yang ditetapkan sebagai cagar alam, pendaki gunung amatir, penjual makanan, sewa motor trail, hingga penambang pasir beraktivitas tanpa sanksi.
Ketika Muhammad Gibran Arrasyid, 14 tahun, dilaporkan terpisah dari 13 orang temannya dan hilang pada September 2021 lalu, ratusan orang dikerahkan untuk mencarinya selama berhari-hari.
Tim SAR, TNI, Polri, relawan, dan masyarakat lokal yang terlibat dalam operasi pencarian pelajar sekolah menengah pertama itu menjelajahi setiap jengkal Gunung Guntur, hingga Gibran ditemukan enam hari berselang.
Gibran bukan pendaki pertama yang dilaporkan hilang di gunung yang berstatus aktif ini. Pada tahun 2020, seorang remaja lain juga menghilang dari tempatnya berkemah di Pos Tiga Gunung Guntur — tempat yang sama terakhir kali Gibran terlihat.
Area ini sedianya masuk dalam kawasan cagar alam bila merujuk pada Peta Batas Kawasan Cagar Alam Kamojang Timur.
Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990, di dalam kawasan cagar alam dapat dilakukan kegiatan untuk kepentingan penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahun, pendidikan, dan kegiatan lainnya yang menunjang budidaya.
Wisata pendakian tidak masuk di dalamnya.
Menurut Ade Leji, warga asli Desa Pasawahan yang berlokasi di kaki Gunung Guntur, aktivitas pendakian di gunung ini dimulai sejak 1980-an. Namun saat itu, kata dia, wisatawan belum mendaki hingga puncak.
Baru di 1995-an, lanjut Ade, mulai banyak orang yang mendaki dan berkemah hingga Curug Citiis. Para wisatawan mulai merambah Pos Tiga di sekitar tahun 2014.
"Pada kemping di sana. Subuh, baru mereka naik ke puncak satu, dua sampai empat untuk melihat matahari terbit. Foto-foto," tutur Ade yang lahir dan hidup di Desa Pasawahan hingga kini umurnya 71 tahun.

'Seharusnya tidak boleh ada pendaki'

Dengan luas kompleks 1400-1500 hektare, Gunung Guntur menjadi bagian dari Kawasan Cagar Alam Blok Kamojang Timur yang luasnya 5426,19 hektare. Berdekatan dengan Gunung Guntur, dibuka Taman Wisata Alam Gunung Guntur yang luasnya 250 hektare.
Sejak itulah, Gunung Guntur ramai dikunjungi pendaki. Guntur dianggap sebagai ikon pendakian di Garut, Jawa Barat, selain Papandayan dan Cikuray.
Ada dua jalur pendakian menuju puncak Gunung Guntur yang terletak di Kelurahan Pananjung dan Desa Pasawahan, yakni jalur Citiis dan Cikahuripan.
Selama masa pandemi Covid-19, wisata pendakian sempat ditutup selama dua pekan. Setelah kejadian hilangnya Gibran, jumlah pendaki juga berkurang.
"Tapi tiga minggu setelah Gibran ditemukan, ramai lagi," ujar Ade, yang merupakan orang pertama yang menemukan Gibran.
Pada bulan November lalu, kata Ade, dia menghitung ada 30 kelompok pendaki yang datang ke basecamp miliknya. Setiap kelompok berjumlah enam hingga 12 orang. Mereka datang dari berbagai kota — Jakarta, Bandung, Bekasi, juga Garut sendiri.
Basecamp milik Ade merupakan satu dari sembilan tempat serupa yang ada di PLP Kampung Citiis, Desa Pasawahan. Semakin banyak yang mendaki Guntur, berarti usaha masyarakat sekitar semakin menghasilkan.
"Bahagia lah, kita saling bantu. Kalau banyak yang naik [Gunung Guntur], warga di sini banyak yang terbantu. Yang dagang, dagangannya dibeli, yang [usaha] tempat parkir, ada yang cari jasanya," kata Anang Rohyan, rekan Ade.
Warga, kata Anang, sebenarnya sudah mengetahui status cagar alam Gunung Guntur yang berarti tak boleh didaki. Tapi di mana tepatnya batas-batas yang memisahkan area cagar alam dan taman wisata, ia mengaku tak tahu.
"Iya, katanya cagar alam itu tidak boleh dimasuki, tapi masih ada juga yang naik ke cagar alam. [Pendaki] sudah diberikan arahan dari basecamp harus ke taman wisata, tapi dilanggar," ungkap Anang.
Kepada para pelanggar pun tidak pernah ada sanksi dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat, imbuh Anang.
Maraknya pendakian di Gunung Guntur menimbulkan kekhawatiran pada diri Pepep, aktivis lingkungan yang sejak lama memantau kondisi gunung tersebut.
Tidak hanya pendakian, Pepep juga menyoroti kegiatan motor trail dan penambangan pasir ilegal yang terbukti merusak Gunung Guntur.
"Ada dua intervensi kawasan berkaitan dengan wisata di luar batasnya. Yang pertama, pendakian, yang kedua motor trail. Kalau motor trail jelas sekali kerusakan yang ditimbulkannya," sebut dia.
Di area belakang Gunung Guntur, kata dia, gerusan pada tanah yang disebabkan oleh motor trail menyebabkan demarkasi lahan atau perubahan kawasan.
"Panjangnya signifikan, tetapi lebar maksimalnya 15 meter. Sementara, gerusan yang diakibatkan pendaki gunung sampai 25 meter. Jadi kalau bicara kerusakan, sama saja merusaknya," papar Pepep, saat dihubungi oleh wartawan Yuli Saputra yang melaporkan untuk BBC Indonesia di awal November lalu.
Ia pun mengingatkan tentang Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1998, yang menjadi turunan dari UU Nomor 5 Tahun 1990. Hanya ada tiga aktivitas manusia yang diperbolehkan di kawasan cagar alam, yaitu penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, dan kegiatan penunjang budidaya.
Aktivitas pendakian selama ini, dinilai Pepep melanggar peraturan yang ada sehingga dianggap ilegal. Menurutnya, pihak yang harus bertanggung jawab ialah Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Barat.
"Kalau kita melihat kasus Gibran kemarin, kalau ada orang yang berniat memidanakan BKSDA, bisa itu. Karena Gibran hilang di kawasan cagar alam yang seharusnya netral, tidak ada kegiatan semacam itu," tuturnya.
Kepala Seksi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Wilayah V Garut, Dodi Arisandi mengamini pendakian ke Gunung Guntur disebut ilegal atau melanggar aturan.
"Boleh untuk kepentingan pendidikan dan penelitian. Pendakian masuk cagar alam tidak boleh," kata Dodi.
Dodi tidak menampik aktivitas pendakian hingga kini masih terus berlangsung, kendati pihaknya telah berupaya mencegahnya dengan cara menutup jalur pendakian, mengimbau warga dan wisatawan agar tidak melintasi kawasan cagar alam, dan menyarankan mengunjungi taman wisata.
Namun usahanya tidak membuahkan hasil. Puncak Gunung Guntur seakan mengandung magnet bagi para pendaki untuk ditaklukkan.
Apalagi bagi para pendaki, menjajal Gunung Guntur berarti melengkapi petualangan pendakian di Gunung Papandayan dan Cikuray, yang dikenal dengan Trio Paguci (Papandayan, Guntur, Cikuray).
Dodi juga menyebutkan, beberapa desa masih membuka jalur pendakian bagi wisatawan, yaitu Desa Panjiwangi, Tanjungkarya, Rancabango, dan Pananjung.
"Kami juga sudah memperingatkan agar mereka tidak membuka jalur pendakian secara masif," tutur Dodi yang mengaku tidak memiliki kewenangan memberi sanksi bagi pelanggar.
Di sisi lain, Dodi mengaku "kesusahan" melakukan upaya pencegahan lantaran menghadapi situasi yang dilematis. Pasalnya, ia harus berhadapan dengan warga yang mencari nafkah dari wisata pendakian.
Selain usaha basecamp, ada ojek, warung dan parkiran yang berada di sepanjang jalur pendakian.
Jika wisata pendakian ditutup, warga terancam kehilangan mata pencaharian. Sementara, sejak penambangan pasir ditutup pada 2014, sebagian warga beralih usaha ke wisata pendakian.

Rusak karena penambangan pasir

Dodi mengungkapkan, kerusakan Gunung Guntur akibat penambangan pasir sudah sedemikian parah. Salah satunya, di Desa Cilopang.
Di desa itu, setiap harinya sebanyak 500 hingga 1000 truk lalu lalang mengangkut pasir.
Dodi mengungkapkan, galian pasir ketinggiannya sudah mencapai 1200 mdpl. Sedangkan tinggi Gunung Guntur, menurut Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), mencapai 1800 mdpl.
"Kalau dibandingkan dengan aktivitas, misalkan, orang jalan kaki di atas dengan beberapa kriteria yang dilakukan. Kalau kita mengukur kerusakan aktivitas penggalian [pasir] yang sama-sama ilegal, paling besar kerusakannya adalah pengambilan tambang pasir yang harus segera ditangani," terang Dodi.
Pendapat Dodi tersebut ditentang Pepep. Penulis buku Sadar Kawasan — yang mengulas kampanye cagar alam — ini menilai alasan Dodi tidak logis.
"Tidak masuk akal dalam pendekatan hukum maupun pendekatan keselamatan manusia di sana.
"Tidak bisa kita membenarkan pelanggaran dengan cara membandingkan dengan pelanggaran lain yang dianggap lebih besar," tampik Pepep.
Pada 2016, banjir bandang dan longsor menghantam sejumlah area di Garut.
Pepep menegaskan, dirinya bukan antipendakian, sepanjang dilakukan di kawasan yang sesuai aturan. Dengan membiarkan berbagai aktivitas manusia di Gunung Guntur, Pepep mengaku khawatir bakal memicu bencana alam, seperti longsor.
"Risiko pembukaan kawasan cagar alam Gunung Guntur dijadikan rekreasi itu, secara hukum ada ribuan orang di sana tanpa perlindungan hukum dan mereka berisiko 'terancam nyawanya'.
"Gunung Guntur kan gunung aktif yang sewaktu-waktu bisa saja erupsi," sebut Pepep.
Mengenai itu, Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhanul Ulum meminta agar aktivitas pendakian, motor trail, dan penggalian pasir dihentikan demi terjaganya lingkungan di kawasan Gunung Guntur.
"Kalau terus-terusan aturan Gunung Guntur dilanggar oleh masyarakat dengan kegiatan adventure, pendakian, ataupun yang lain, kami khawatir ada dampak yang ke masyarakat," ujar Uu.
Namun ketika ditanya solusi apa yang ditawarkan bagi warga yang tidak bisa lagi mencari nafkah jika wisata pendakian ditutup, Uu tidak memberikan jawaban yang memuaskan.
Ia hanya menyatakan harapannya agar masyarakat bisa mencari nafkah yang tidak melanggar aturan.
"Tolong di saat mencari nafkah ini, jangan yang melanggar aturan. Kalau memang aturannya tidak boleh, ya sudah, tidak boleh," tegasnya.

Gunung 'tidur' dengan bahaya mengintai

Gunung Guntur merupakan gunung api aktif yang "tidur" sejak erupsi terakhirnya di 1847.
Sejak akhir abad ke-17, yaitu dari tahun 1690 hingga 1847, setidaknya tercatat ada 19 letusan. Semenjak itu, Gunung Guntur belum pernah meletus.
Akan tetapi aktivitas seismik Gunung Guntur terpantau cukup tinggi. Kondisi itu menjadi alasan pengembangan sistem pemantauan di gunung tersebut.
Di samping itu, keberadaannya dekat dengan Kota Garut dan beberapa obyek wisata dengan aktivitas warga serta jumlah kunjungan wisatawan yang cukup tinggi.
"Gunung Guntur ini, kami pantau sejak tahun 1980-an dengan dipasang peralatan di sana. Secara aktifitas, gempanya memang banyak sebenarnya," papar Hetty Triastuty, Penyelidik Bumi Madya PVMBG.
Kawasan Gunung Guntur juga telah dipetakan dalam tiga Kawasan Rawan Bencana (KRB).
Dalam "Penyempurnaan Masterplan Kawasan Rawan Bencana Perkotaan Garut 2019" yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Garut, total penduduk yang masuk kawasan rawan letusan Gunung Guntur berjumlah 207.368 jiwa.
Namun bencana yang bisa terjadi sewaktu-waktu, apalagi di musim penghujan, menurut Hetty, adalah longsor.
Beberapa titik di Garut merupakan area rawan longsor, seperti di Kawasan Wisata Darajat Pass, yang longsor pada November 2021.
Terlebih lagi, permukaan Gunung Guntur diselimuti material yang tidak solid, seperti pasir dan bebatuan lepasan yang rawan longsor.
"Banyak batuan lepas itu akibatnya longsor. Bisa jadi juga karena vegetasinya tidak lebat dan banyaknya semak-semak belukar.
"Jadi aktivitas manusia di sana harus hati-hati, termasuk para pendaki. Terutama saat musim hujan yang tinggi," ucap Hetty.
Pihaknya, lanjut Hetty, juga telah merekomendasikan agar para pendaki tidak berada atau kemping di kawasan kawah pada saat mendung ataupun hujan. Pasalnya, dikhawatirkan muncul gas-gas beracun yang keluar dari dalam kawah.
Kondisi Gunung Guntur yang tanahnya "rapuh" ini dirasakan oleh Nadin Anjani, salah satu relawan tim SAR yang ikut dalam operasi pencarian Gibran.
"Jalurnya terjal serta tanahnya itu rapuh jadi gampang sekali longsornya," kata Nadin.
Relawan tim SAR lainnya, Shifa Fatina Hasim pun merasakan kendala yang sama. Menurutnya, Gunung Guntur bukan kawasan yang aman, terutama bagi pendaki awam.
"Kami para relawan pun kalau tidak hati-hati sering tergelincir karena bebatuan dan pasir. Bagi kita yang sudah berlatih pun itu sedikit tricky, harus memperhatikan jalan, apalagi bagi masyarakat umum yang hanya ingin menyalurkan hobi untuk naik gunung," ungkap Shifa.
---
Wartawan Yuli Saputra di Jawa Barat berkontribusi pada liputan ini.